“Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesan ke Kakak. Coba kalo ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?” sentak Mita yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bian kenapa-napa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya.
“Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi lagi,” janji Bian dengan wajah tertunduk.
Mita mendesah lelah. “Lagian kenapa sih berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bian. Enggak ada siapa-siapa yang perhatikan kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah.”
“Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kak Mita dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!”
Mita terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan Bian. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan sang adik supaya tidak terpancing dengan ucapan temannya yang sama sekali tidak benar.
“Kalo Kakak jadi aku, apa Kakak bakal diam aja? Enggak, kan?” seru Bian.
“Udahlah, Bian. Kita enggak perlu mempersulit hidup dengan dengerin cemoohan orang yang sama sekali enggak benar tentang kita.” Mita berusaha tetap kuat demi sang adik, meskipun sebenarnya dia tidak sekuat itu.
Bian terdiam. Dia merasa kesal dengan temannya, tapi juga merasa bersalah karena ulahnya membuat Mita bolos dari sekolah demi memenuhi panggilan guru BK.
***
“Jadi kenapa kemarin kamu bolos, Mita? Apa kamu tidak tahu, para guru sangat menyayangkan hal itu? Karena ... kamu di sini sudah dicap sebagai siswi teladan. Tapi kenapa kemarin kamu tiba-tiba bolos sekolah?” cecar sang guru petugas bimbingan konseling, Bu Milna.
Mita sedikit menundukkan wajah. “Mmm ... saya ....”
“Ayo, tidak apa-apa kalo kamu mau ceritakan yang sebenarnya. Saya sebagai guru bimbingan konseling di sini, siap mendengar keluh kesah kamu. Jangan sampai beasiswa kamu dicabut karena kamu melakukan satu kesalahan di sekolah, Mita. Sayang banget, kan? Banyak loh, mereka yang ingin dapat beasiswa tapi tidak seberuntung kamu,” tutur Bu Milna panjang lebar.
Mita menghela napas panjang lalu kembali mendongak, menatap wajah Bu Milna yang pandangannya masih tertuju pada Mita.
“Kemarin ... ada sedikit masalah aja, Bu. Tapi saya pastikan kalo hal seperti kemarin enggak akan terjadi lagi,” janji Mita pada Bu Milna.
Guru bimbingan konseling itu terlihat manggut-manggut. “Ya, ya. Ibu harap kamu bisa jaga prestasi kamu, ya? Jangan sampai goyah, Mita,” pesan Bu Milna.
“Iya, Bu. Mita bakal usahakan sekuat tenaga dan pikiran,” balas gadis berkacamata tebal itu.
“Ya sudah, kamu boleh masuk kelas sekarang. Itu, tas kamu.” Bu Milna menunjuk salah satu rak buku kosong tempat menyimpan tas Mita.
Mita pun segera mengambil tas sekolahnya. “Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu,” pamit Mita dengan sopan.
“Oke, Mita. Belajar yang rajin, ya?” titah Bu Milna.
“Baik, Bu.”
Mita segera meninggalkan ruang bimbingan konseling dan melangkah menuju kelas. Entah kenapa dia menjadi sedikit gugup saat melihat Rayyan berjalan berlawanan arah dengannya. Gadis itu takut akan terhanyut dengan pesona Rayyan.
Finally ... lega. Satu kata itulah yang dirasakan Mita ketika Rayyan sama sekali tidak menoleh ke arahnya saat mereka berpapasan.
“Eh, Sasmita.”
Deg! Langkah Mita terhenti seketika. Meski yang disebutkan Rayyan itu bukan namanya, Mita tahu bahwa yang dimaksud laki-laki itu adalah dirinya.
Mita masih menundukkan wajah saat Rayyan berjalan mundur dan berhenti tepat di sebelahnya. Mita yang bernama lengkap Swastamita itu enggan untuk menatap Rayyan yang lebih tinggi 20 centi darinya.
“Kenapa?” tanya Mita tanpa mendongak sedikit pun. Gadis itu sesekali membenarkan letak kacamatanya.
“Enggak. Enggak jadi.” Hanya kalimat singkat itu yang diucapkan Rayyan.
“Oh ya, namaku bukan Sasmita, tapi Swastamita. Kamu bisa panggil aku Mita aja,” kata Mita yang masih menundukkan wajah.
“Oh, oke. Kenapa nunduk? Takut naksir gue?” Pertanyaan Rayyan yang konyol berhasil membuat Mita mengangkat wajah.
“Enggak.” Netra gadis itu kini bertatapan dengan Rayyan. “Aku enggak naksir,” ucapnya lalu buru-buru pergi, meninggalkan Rayyan yang masih termangu di tempatnya berdiri karena bingung melihat tingkah Mita yang tidak sama seperti kemarin.
Entah kenapa Mita merasakan debar-debar aneh dalam dadanya saat menatap Rayyan. Berulang kali dia menanyakan pada dirinya sendiri apakah itu cinta atau hanya rasa kagum saja. Pasalnya, Mita sama sekali belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi bagaimana jika yang dia rasakan itu benar-benar cinta?
Sesampainya di kelas, Mita langsung menyambangi bangkunya dan duduk di sana. Gadis itu terus menggeleng sambil menepuk-nepuk dahinya perlahan. Mita hanya ingin berpikir logis tanpa terbayang sosok Rayyan yang baru kemarin dia temui. Jadi, bagaimana bisa cinta tumbuh secepat itu?
“Heh, Mit! Kenapa lo? Geleng-geleng enggak jelas gitu,” seloroh Erick, teman sebangkunya yang serupa perempuan jadi-jadian.
“Eh, aku ... enggak pa-pa sih,” balas Mita sambil membenarkan letak kacamatanya.
Erick mengempaskan dirinya di bangku sebelah Mita. “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue lihat lo rada aneh pagi ini. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue sama sekali enggak berdusta,” ucapnya dengan percaya diri.
Mita mendecak. “Sok tahu kamu, Rick.”
“Lagian kenapa itu muka kayak kardus dilipet?” tanya Erick. “Lo lagi PMS?” lanjutnya setengah berbisik.
“Enggak, siapa juga yang PMS? Kamu kali,” balas Mita sekenanya.
“Oemji honey bunny sweety yang sweet-nya melebihi gulali, lo pikir gue cowok apaan PMS?” protes Erick.
Mita menahan tawa. “Aku baru nyadar kalo kamu cowok,” ucapnya.
Erick menyenggol lengan Mita. “Enak aja lo, biar bentuk enggak jelas gini, gue tetep cowok macho terkeren seantero sekolah. Oya, bahkan lebih keren dari cowok blasteran yang baru pindah itu,” ujar Erick sembari terkekeh.
Siapa lagi yang dimaksud Erick kalau bukan Rayyan? Sudah pasti pikiran Mita langsung tertuju pada laki-laki itu. Selain tampangnya yang lumayan cool, dia juga tinggi. Lagi pula, laki-laki baru di sekolah Mita memang hanya Rayyan.
“Heh, Mit! Kok diem aja sih lo kek demit. Bersuara gitu loh biar gue enggak terkesan lagi ngoceh sendiri,” protes Erick yang sering kali menyebut Mita ‘seperti demit’ jika teman sebangkunya itu tidak kunjung membalas ucapannya.
“Aku bukan demit kali, Rick.” Mita memprotes. “Lagian aku juga tahu kok, kalo kamu cowok terganteng seantero sekolah bahkan ngalahin Rayyan yang notabenenya cowok blasteran. Sayangnya cuma satu, Rick.” Ucapan Mita membuat Erick melongo karena tidak mengerti dengan maksud Mita.
“Sayangnya kenapa?”
“Sayang banget, kamu kurang gentle.” Mita menepuk-nepuk bahu Erick, tapi laki-laki itu mengempaskan tangannya.
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo tega amat ngatain gue kek gitu. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue sakit hati dengernya.”
Mita terkekeh mendengar ocehan Erick yang selalu saja membawa-bawa nama Demian Adit yang bahkan Mita saja tidak tahu seperti apa rupa sosok yang sangat dibanggakan temannya itu.
“Mita, lo dipanggil kepala sekolah,” ujar salah seorang teman sekelas Mita yang menjabat sebagai ketua.
Mita dan Erick saling pandang.
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue penasaran kenapa kepsek tiba-tiba manggil. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue pengen tahu kenapa lo dipanggil. Udah, buruan sana!”
Mita yang juga penasaran kenapa dipanggil, segera melangkah menuju ruang kepala sekolah. Perasaannya mendadak tidak enak.
Mita, gadis bernama lengkap Swastamita itu melangkahkan kaki dengan perasaan was-was menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Mita meninggalkan sekolah karena memenuhi panggilan guru BK Bian. Bagaimana jika kepala sekolah yang terkenal garang itu tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Mita tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa Mita kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Mita bisa maju jika dia tidak bisa meneruskan sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bian yang membutuhkan uluran tangannya. Tidak, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi. Tanpa sadar, Mita menggeleng. “Jangan sampe, jangan sampe!” desis Mita pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali tangannya membenarkan letak kacamata tebalnya. Mita tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah.
Mita tersentak. Kenapa Rayyan menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Mita bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Swastamita. Haruskah dia menjawab pertanyaan Rayyan? “Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan aja kalo katanya Si Kutu Buku lari dari sekolah.” Rayyan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dan kamu penasaran, gitu?” tuduh Mita. Kalau dipikir-pikir, kenapa Rayyan membahasnya jika bukan karena penasaran? Rayyan terkekeh. “Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish,” gumamnya sembari melanjutkan langkah. “Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Rayyan,” batin Mita kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kakinya menuju kelas. “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek kenapa lo jadi manyun gitu, Mit? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya,” se
Mita dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Mita. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Mita bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Mita. Membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal manjikannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Mita setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Mita ke dalam sebuah dalam ruangan yang cukup luas, barulah lengan Mita dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan itu tampak beberapa laki-laki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai botol minuman keras. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yan
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Mita. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia menghilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Mita yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Rayyan santai sembari melepas jumper hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Mita mendadak tegang. "Lo pake aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Rayyan memakaikan jaketnya ke badan Mita. Mita yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Mita terkesiap ketika tangan Rayyan menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pake kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda.
“Tante, stop! Tante apa-apaan sih, seenaknya aja berantakin kamar kos Mita? Apa yang Tante cari di sini? Bukannya kemarin Mita udah bilang, kalo udah enggak ada uang lagi? Percuma Tante obrak-abrik kamar Mita,” seru Mita ketika mendapati kamar kosnya berantakan karena ulah Lia, adik mamanya yang beberapa tahun terakhir mengurus Mita dan adiknya, Bian. Lia melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu pikir Tante bakal percaya gitu aja kalo kamu bilang enggak ada uang lagi? Itu ... buktinya kamu bisa ke sekolah. Naik apa? Enggak mungkin kan, kamu jalan kaki?” omel Lia. Mita merasa geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menerima perlakuan Lia. Lagi pula, kesialan Mita pagi ini terjadi karena keteledorannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar kos sehingga Lia bisa masuk dengan seenak hati. “Asal kamu tahu, ya! Adik kamu butuh uang banyak buat sekolah dia. Dan uang yang kemarin kamu titip ke Tante itu belum cukup gantiin uang Tante yang dipake
“Hei! Kenapa diem aja, Ta?” “Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. “Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega. “Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya. “Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita. Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana. *** "Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah le