Mita, gadis bernama lengkap Swastamita itu melangkahkan kaki dengan perasaan was-was menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Mita meninggalkan sekolah karena memenuhi panggilan guru BK Bian.
Bagaimana jika kepala sekolah yang terkenal garang itu tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Mita tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa Mita kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Mita bisa maju jika dia tidak bisa meneruskan sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bian yang membutuhkan uluran tangannya.
Tidak, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi. Tanpa sadar, Mita menggeleng.
“Jangan sampe, jangan sampe!” desis Mita pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali tangannya membenarkan letak kacamata tebalnya.
Mita tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah.
“Ampun deh, Sasmita. Lo kalo jalan lihat-lihat! Mata aja ada empat, jalan selebar ini lo enggak lihat?” cicit laki-laki yang ditabrak.
Mita merasa tidak enak saat mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Rayyan. “Maaf, maaf. Aku buru-buru,” ucap Mita beralasan. Dia memberanikan diri mendongak dan menatap wajah Rayyan yang terlihat kesal.
“Ada apa itu ribut-ribut?” tanya Bu Ratna, wakil kepala sekolah yang sengaja keluar ruangan untuk memeriksa kegaduhan yang terjadi.
Sontak Mita dan Rayyan membalikkan badan menghadap Bu Ratna.
“Enggak ada apa-apa, Bu,” jawab Mita dan Rayyan bersamaan. Setelah itu, mereka saling pandang beberapa detik.
“Bagus deh kalo enggak ada apa-apa. Oh ya, bagus juga kalian sudah kompak duluan. Jadi nanti misal dikirim untuk bertanding, jangan sampai kalah, ya?”
“Maksud Ibu?” Kali ini Rayyan lebih dulu bertanya.
Bu Ratna tersenyum tipis. “Oh iya, masuk dulu saja kalian. Nanti akan dijelaskan sama Bapak kepala sekolah,” titahnya.
Mita dan Rayyan memasuki ruang kepala sekolah, mengikuti langkah Bu Ratna.
“Permisi, Pak,” sapa Mita dan Rayyan yang lagi-lagi bersamaan tanpa sengaja.
“Ya, silakan duduk.” Bapak kepala sekolah beranjak dari kursi kebesarannya lalu menghampiri Mita dan Rayyan yang lebih dulu duduk di sofa tamu.
Dalam hatinya, Mita masih saja was-was. Bagaimana kalau kepala sekolah akan mengeluarkan Mita dari sekolah di depan Rayyan? Mita akan sangat malu jika hal itu terjadi. Dia mendadak tidak tenang.
“Maaf, Pak. Sebenarnya ada apa Bapak panggil kami?” tanya Rayyan memecah keheningan karena sang kepala sekolah tidak kunjung membuka suara.
“Pak, mohon dijelaskan. Waktu mereka tidak banyak,” ujar Bu Ratna mengingatkan.
“Oh, iya. Saya mau menyampaikan pada kalian.” Kepala sekolah bernama Badrun itu berdeham. “Pertama-tama saya ucapkan selamat, karena kalian telah menjadi siswa-siswi yang terpilih untuk mengikuti Olimpiade matematika tingkat provinsi,” ucap Pak Badrun lalu menatap Mita dan Rayyan satu per satu.
“Kok bisa, Pak? Saya kan baru kemarin pindah ke sekolah ini. Kenapa saya bisa terpilih?”
Rayyan bingung. Mita pun sedikit heran.
“Jadi begini, saya sudah lihat track record kamu dari Bu Risa yang kemarin menyerahkan berkas-berkas dari sekolahmu yang lama. Juga dari nilai-nilai kamu dalam rapor yang begitu bagus, Ray. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajukan kamu sebagai wakil peserta putra dan tentu saja Sasmita sebagai peserta putri.”
“Maaf, Pak. Saya Swastamita. Biar lebih mudah, panggil saya Mita aja Pak. Karna nama saya bukan Sasmita,” ucap Mita yang tidak suka jika semua orang salah menyebutkan namanya.
“Ya, ya, ya. Kamu punya nama kenapa susah sekali dihafal?”
Kepala sekolah itu menatap heran pada Swastamita yang biasa dipanggil Mita jika di sekolah, dan biasa dipanggil Tata jika di tempat kerja.
Bukan apa-apa, Mita melakukan hal itu hanya untuk menyamarkan identitasnya supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui statusnya sebagai pelajar. Lagi pula Mita tidak ingin mencampur-adukkan masalah pekerjaan dengan urusan di sekolah.
“Jadi, di mana kita akan mengikuti lomba Olimpiade matematika itu, Pak?” tanya Rayyan.
“Tempatnya di Yogyakarta. Jadi kalian nanti akan menginap di sana selama lomba berlangsung. Akan ada guru pembimbing yang mendampingi kalian nanti,” jelas Pak Badrun.
Mita manggut-manggut.
“Untuk akomodasinya, Pak? Apa tidak dijelaskan sekalian?” Lagi-lagi Bu Ratna mengingatkan.
Terkadang Mita merasa heran dengan kepala sekolahnya itu. Beliau selalu dicap sebagai kepala sekolah yang galak bagi sebagian siswa. Namun, ada juga yang menganggapnya sebagai kepala sekolah yang sedikit lucu karena pelupa, salah satunya Mita. Tapi untung saja Mita selalu bisa membawa diri setiap kali berhadapan dengan Pak Badrun sehingga tidak tergoda untuk menertawakannya. Bisa-bisa Mita kena semprot.
“Oh, iya. Jadi nanti untuk biaya akomodasi dan lain-lain kalian tidak perlu khawatir karena tentu saja pihak sekolah yang akan menanggungnya. Kalian hanya tinggal mempersiapkan diri saja untuk Olimpiade tersebut.”
“Siapkan koper untuk bawa baju ganti selama kalian di Yogyakarta nanti dan jangan sampai lupa, lombanya dilaksanakan tanggal lima belas bulan depan. Jadi mulai tanggal tiga belas kalian sudah harus bersiap-siap karena tanggal empat belas kalian sudah harus on the way Yogyakarta.”
Kali ini Bu Ratna yang memberi penjelasan tambahan. Mita berpikir, mungkin saja wali kepala sekolah itu merasa lelah jika harus berkali-kali mengingatkan sang atasan.
“Jadi, rencananya berapa hari kami di Yogyakarta, Pak?” tanya Rayyan.
Mita bahkan tidak kepikiran untuk menanyakan hal itu.
“Nanti tunggu info dari guru pembimbing saja, mungkin bisa empat harian,” jawab Pak Badrun. “Kamu tidak ingin bertanya, Mita?”
Merasa terpanggil, Mita mengarahkan pandangannya pada sang kepala sekolah. Gadis itu bingung harus bertanya apa karena Rayyan sudah mengambil alih semua pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Beberapa detik kemudian, Mita hanya menggeleng perlahan.
“Ya sudah, kalau gitu saya rasa kalian sudah paham. Kalian boleh kembali ke kelas,” ujar Pak Badrun seraya berdiri dan kembali menuju kursi kebesarannya.
“Baik, Pak. Kami permisi dulu. Mari, Bu.” Kali ini Mita mendahului. Tanpa menunggu lama dia keluar dari ruang kepala sekolah.
“Mari Pak, Bu.” Rayyan mengekor di belakang Mita.
“Hei, Sasmita,” panggil Rayyan setelah mereka keluar dari ruang kepala sekolah.
Mita mendadak menghentikan langkah. Gadis itu membalikkan badan. “Swas—“ Dia berniat meralat saat Rayyan salah menyebut namanya.
“Swastamita, sorry gue lupa.” Rayyan menyahut sembari berjalan mendekati Mita. “Kenapa kemarin bolos?”
Mita tersentak. Kenapa Rayyan menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Mita bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Swastamita. Haruskah dia menjawab pertanyaan Rayyan? “Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan aja kalo katanya Si Kutu Buku lari dari sekolah.” Rayyan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dan kamu penasaran, gitu?” tuduh Mita. Kalau dipikir-pikir, kenapa Rayyan membahasnya jika bukan karena penasaran? Rayyan terkekeh. “Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish,” gumamnya sembari melanjutkan langkah. “Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Rayyan,” batin Mita kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kakinya menuju kelas. “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek kenapa lo jadi manyun gitu, Mit? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya,” se
Mita dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Mita. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Mita bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Mita. Membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal manjikannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Mita setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Mita ke dalam sebuah dalam ruangan yang cukup luas, barulah lengan Mita dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan itu tampak beberapa laki-laki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai botol minuman keras. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yan
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Mita. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia menghilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Mita yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Rayyan santai sembari melepas jumper hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Mita mendadak tegang. "Lo pake aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Rayyan memakaikan jaketnya ke badan Mita. Mita yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Mita terkesiap ketika tangan Rayyan menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pake kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda.
“Tante, stop! Tante apa-apaan sih, seenaknya aja berantakin kamar kos Mita? Apa yang Tante cari di sini? Bukannya kemarin Mita udah bilang, kalo udah enggak ada uang lagi? Percuma Tante obrak-abrik kamar Mita,” seru Mita ketika mendapati kamar kosnya berantakan karena ulah Lia, adik mamanya yang beberapa tahun terakhir mengurus Mita dan adiknya, Bian. Lia melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu pikir Tante bakal percaya gitu aja kalo kamu bilang enggak ada uang lagi? Itu ... buktinya kamu bisa ke sekolah. Naik apa? Enggak mungkin kan, kamu jalan kaki?” omel Lia. Mita merasa geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menerima perlakuan Lia. Lagi pula, kesialan Mita pagi ini terjadi karena keteledorannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar kos sehingga Lia bisa masuk dengan seenak hati. “Asal kamu tahu, ya! Adik kamu butuh uang banyak buat sekolah dia. Dan uang yang kemarin kamu titip ke Tante itu belum cukup gantiin uang Tante yang dipake
“Hei! Kenapa diem aja, Ta?” “Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. “Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega. “Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya. “Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita. Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana. *** "Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah le
“Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesan ke Kakak. Coba kalo ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?” sentak Mita yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bian kenapa-napa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. “Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi lagi,” janji Bian dengan wajah tertunduk. Mita mendesah lelah. “Lagian kenapa sih berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bian. Enggak ada siapa-siapa yang perhatikan kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah.” “Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kak Mita dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!” Mita terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan Bian. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan sang adik supaya tidak terpancing dengan ucapan t