"Di pojok sana aja!" Hanna menunjuk pojok kanan kafe yang tampak sepi. "Terserah kau saja," sahut Alfian, mengekori Hanna menuju meja yang dipilihnya. Setelah menarikkan kursi untuk Hanna dan gadis itu telah menempati posisinya, Alfian ikut duduk, saling berhadapan. "Pesan saja! Aku yang traktir," kata Alfian seraya menggerakkan tangan sebagai tanda mempersilakan Hanna untuk membuka daftar menu. "Oke. Siapa takut? Sudah sepantasnya kamu mentraktirku. Anggap saja sebagai kompensasi karena kamu telah menyakiti teman baikku." Hanna meraih kartu menu yang ada di atas meja dan membukanya. "Mbak!" Hanna mengangkat tangan, memanggil pelayan kafe. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?" tanya sang gadis pelayan begitu tiba. "Aku … menu rekomendasi hari ini saja dan secangkir espresso," kata Hanna, menaruh kembali kartu menu ke atas meja. "Masnya?" ulang sang pelayan, menoleh pada Alfian. "Makanannya samakan saja. Minumannya Mocca Latte." "Baik, Mbak, Mas. Pesanan Anda akan segera tiba." Setelah
Grab! Hanna mencekal lengan Alfian saat lelaki itu bersiap hendak membuka pintu mobil. Hanna menggeleng seraya berujar, "Jangan turun! Kita awasi aja dari sini." Alfian pun membatalkan niatnya untuk membuka pintu. Ia melingkarkan lengan pada roda kemudi. Tatapannya lurus ke pintu gerbang sekolah. "Kau yakin Arisha bakal ke sini?" "Yakin. Hari itu aku berhasil membuntutinya. Putrinya bersekolah di sini." "Apa? Putri?" "Ck! Kamu gimana sih? Kan aku udah cerita." "Sorry. Lupa." Tiba-tiba Hanna menepuk-nepuk lengan Alfian. "Itu di sana. Lihat!" "Mana? Cuma ada mobil doang." "Ish! Telmi! Tunggu sebentar lagi! Arisha pasti nongol." Seperti perkiraan Hanna, tidak lama kemudian Arisha keluar dari mobil. Ia membimbing Silla, yang hari itu mengenakan gaun biru, menuju gerbang sekolah. "Eh, jangan!" Sekali lagi Hanna mencegah Alfian agar tak turun dari mobil. "Aku mau ketemu Arisha, Hanna! Jangan mencegahku!" "Bodoh! Kalau kamu muncul sekarang, dia akan kabur lagi." Alfian terdia
"Ayo, Sayang! Kasihan Mang Usep nunggu lama." Arisha mengulurkan sebelah tangan pada Silla. Gadis itu baru saja selesai memasang sepatu. Walau dia yang bertanggung jawab mengurus segala keperluan Silla, Arisha tak melakukan semuanya sendiri. Dia lebih memilih untuk membiarkan Silla belajar mandiri. "Aku yang akan mengantar kalian," celetuk Dareen, muncul dari belakang Arisha dan Silla. Arisha mengernyit heran. Biasanya Dareen berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan. "Jangan terlalu banyak berpikir!" komentar Dareen, dengan wajah datar. "Cepat masuk ke mobil." Arisha masih terpaku tak percaya, menatap punggung Dareen yang telah berlalu bersama Silla. Bahkan, saat tangan Dareen telah bersiap hendak membuka pintu mobil bagian depan, langkah Arisha tercacak di teras rumah. Dareen mendengkus jengkel. "Kamu tidak ikut?" "Huh?" Arisha tersentak. "Ah, i–iya." Mendugas Arisha menyusul masuk ke mobil, di mana Silla telah duduk manis sambil bersenandung kecil. "Udah baca doa, S
"Hei, bukan dua, tapi empat!" protes wanita berambut pendek. "Kau ingin memenggal kepala kami? Sungguh tidak setia kawan sekali kau ini." Sepertinya wanita berwajah bulat itu adalah yang paling cerewet di antara mereka bertiga. "Jangan dengarkan kata-kata nenek bawel ini, Nona! Ayo gabung kemari!" ulang wanita pertama, memanggil Arisha. Merasa tak enak hati menolak permintaan orang yang lebih tua, Arisha memutar arah. Berjalan mendatangi gazebo yang dihuni tiga wanita berlabel nenek-nenek tersebut. "Selamat pagi, Ibu-Ibu!" sapa Arisha seraya melempar senyum ramah dan membungkuk hormat. "Astaga! Tidak perlu bersikap formal begitu. Mari duduk sini!" Wanita pertama yang mengenakan hijab sorong itu entah kenapa sangat tertarik dengan Arisha. Pertama kali melihat gadis itu melintas, ia seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. "Ah, baiklah. Terima kasih." Arisha melepas sandal, kemudian mengenyakkan pantat di tempat yang ditepuk wanita berhijab. "Kau cantik se
Perih!Sekali lagi rasa itu menikam hati Arisha.Sepertinya semesta masih betah menyuguhkan asamnya kehidupan, di mana pun ia berada. Bahkan, lewat lidah seseorang yang baru saja dikenalnya.Arisha memaksakan bibirnya mengukir senyuman. "Terima kasih atas nasihatnya, Bu."Si bawel mengerling sinis. "Memang sudah seharusnya kau berterima kasih padaku. Itu semua demi kebaikanmu. Kecantikanmu tidak akan bertahan lama kalau kau tak merawatnya."Arisha mengangguk, masih dengan senyum canggungnya yang berbalut lara. "Iya, Bu. Akan saya pikirkan.""Eeeh, jangan cuma dipikirkan, tapi laksanakan!""Iya, Bu." Arisha malas berdebat.Wanita berhijab geleng-geleng kepala. "Arisha, jangan masukkan ke hati apa yang diucapkan Nyonya Yati."Sekali lagi Arisha mengangguk. Di saat bersamaan ponselnya berbunyi."Maaf, Ibu-Ibu. Saya permisi sebentar." Arisha memanfaatkan momen tersebut untuk pergi menjauh dari si bawel. Untuk apa bertahan pada lingkungan toksik yang menghadirkan penderitaan batin.Setiap
"Jangan sentuh aku!" Arisha mendorong kuat tubuh lelaki yang mendekapnya.Alfian merasa terluka oleh perlakuan Arisha. Raut mukanya sendu."Aku sangat merindukanmu, Arisha!"Arisha menatap lekat wajah lelaki yang pernah bertakhta di hatinya itu dengan ekspresi datar dan dingin."Setelah semua kebohongan yang kamu persembahkan untukku, kamu pikir … kamu masih pantas mengungkapkan kata-kata itu?"Alfian meraih jemari Arisha. Namun, Arisha menepisnya."Aku … bisa jelaskan semuanya, Sayang."Seringai prihatin terbit di wajah Arisha. Dia merasa jijik dengan panggilan sayang yang ditujukan Alfian untuknya. Padahal, dulu panggilan itu selalu terdengar merdu di telinganya dan membuat hatinya berbunga-bunga."Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semua sudah sangat jelas.""Tapi, Arisha, aku—"Arisha mengangkat tangan. "Cukup! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Semua sudah berakhir di antara kita." Arisha berbalik, meninggalkan Alfian.Alfian mengejar Arisha dan mengadang langkahnya."Ari
"Aku sudah bilang, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Kenapa? Karena dia?!" Telunjuk Alfian kembali mengarah pada Dareen, tapi tatapannya lekat menghunjam manik biru milik Arisha.Laser dingin yang memancar dari netra biru Arisha balas menikam kemarahan Alfian."Hubungan kita sudah berakhir sebelum aku mengenalnya. Introspeksi dirimu! Jangan mengambinghitamkan orang lain atas kesalahan yang kamu lakukan!"Dari tempatnya berdiri, Dareen menonton pertengkaran sepasang mantan kekasih tersebut dalam bisu."Berulang kali aku minta maaf padamu. Apakah itu belum cukup? Jangan egois, Arisha!" sergah Alfian. "Ayo ikut aku! Kita pulang!"Alfian menyambar lengan Arisha.Arisha tak sempat mengelak. Rasa nyeri akibat cengkeraman yang kuat menjalari pergelangan tangannya."Lepas! Aku tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah kembali padamu!"Alfian mendelik beringas. "Baiklah. Kau yang memaksaku untuk bersikap kasar, Arisha!"Alfian menyeret Arisha. Namun, Arisha berjuang untuk berta
'Perasaan macam apa ini? Aku nggak mungkin menyukai gadis pembangkang itu, 'kan?'Berulang kali Dareen curi-curi lirik pada Arisha yang duduk di kursi penumpang lewat kaca spion.Melihat gurat kesedihan yang memancar dari manik mata Arisha, entah kenapa hatinya ikut terluka.Andai tidak sedang menyetir, ingin rasanya Dareen mendekap Arisha. Sekadar menghadirkan ketenangan dan memberikan sebuah penguatan bahwa ia akan selalu ada untuknya.Dia tak keberatan untuk meminjamkan bahunya jika Arisha membutuhkan tempat untuk bersandar."Daddy, awaaas!" jerit Silla, merasa ketakutan ketika melihat mobil lain melaju tak terkendali dari arah depan.Dareen terbelalak. Refleks ia membanting setir ke kiri. Tuhan masih melindungi mereka.'Tidak! Ini tidak benar! Tidak seharusnya aku memikirkan gadis aneh itu!' rutuk Dareen dalam hati. 'Hampir saja kami semua mati sia-sia.'Dareen menyesali kelalaiannya yang tidak fokus kala menyetir."Kalian baik-baik aja?" tanya Dareen setelah menghentikan laju ken