Share

Penawaran

"Permisi!" seru seseorang yang sedari tadi menunggu Gibran keluar.

Alleta meliriknya sebentar, kemudian saling tatap dengan Gibran.

Gibran seperti bertanya dengan isyarat alisnya di angkat. Kemudian, Alleta mengendikkan bahunya tidak tahu.

"Maaf, Tuan, dan Nona! Saya mengganggu kebahagiaan kalian," ucapnya sembari menunduk hormat.

Gibran, dan Alleta hanya diam. Kemudian Alleta berpindah kesamping Gibran.

Orang itu tersenyum sekilas, kemudian menyodorkan tangannya kehadapan Gibran.

"Perkenalkan, saya Pasih!" katanya memperkenalkan dirinya sendiri.

Gibran menunduk sebentar. Kemudian ia membalas uluran tangannya, "Gibran!"

"Boleh minta waktunya sebentar?" pintanya dengan sangat sopan.

Gibran merenung sebentar, dan menoleh pada pacarnya. Alleta!

Gibran meminta jawaban padanya.

Alleta mengangguk.

"Boleh!" jawab Gibran.

"Kalo gitu, kita ngobrolnya di cafe depan saja, gimana? Supaya bisa leluasa bicaranya?" usul Pasih.

Gibran mengiyakan. Mereka langsung pergi meninggalkan tempat yang sangat menegangkan bagi peserta yang belum seleksi.

"Silahkan!" katanya mempersilahkan Gibran, dan Alleta untuk duduk.

Mereka mengangguk, lalu menaruk kursi mereka masing-masing untuk duduk.

"Mau pesan minuman dulu, atau makanan?" tawarnya manis.

Gibran menggeleng, "Gak usah, Pak!" tolaknya.

"Secangkir kopi! Gimana?" tanyanya memaksa Gibran untuk memesan minuman terlebih dahulu sebelum memulai percakapan.

"Saya tidak ngopi, Pak!" jelas Gibran.

"Oh. Maaf, ya!"

"Gak papa," jawab Gibran sembari tersenyum, "Kalo boleh tahu, Bapak ada perlu apa, ya sama kami?" tanya Gibran tidak mau banyak basa-basi.

"Langsung aja, ya!"

Gibran mengangguk.

"Aku utusan dari sebuah Cafe expresso, dan ingin mencari seorang penyanyi."

"Maksudnya?" tanya Gibran tidak paham.

Alleta menyenggol bahu Gibran sedikit lebih keras.

"Apa?" tanyanya sweet.

"Gini, ya Gibran!" serunya luwes, "Eh, gak papakan aku manggil nama saja?" tanyanya merasa tidak enak.

"Slow aja. Aku mah mau di panggil apapun terserah yang mau manggil," jelas Gibran dengan sangat santai.

"Bisa aja," ucapnya menjeda, "Gini! Kan Cafe kami lagi membutuhkan seorang penyanyi. Gimana kalo kamu yang ngisi?" tawarnya langsung.

"Nyanyi di Cafe?" tanyanya tidak percaya.

Pasih mengangguk secara berulang-ulang.

"Hunny! Gimana? Apa aku terima tawaran ini?" tanyanya pada Alleta sang pacar.

Alleta mengendikkan bahunya sedikit, "Aku tidak tahu, Bunny! Itu terserah kamu saja."

"Aku sudah dengar tadi thalenta kamu bernyanyi. Itu sangat luar biasa," katanya memuji suara Gibran.

"Terimakasih, Pak!" jawab Gibran seraua menundukkan kepalanya.

"Ya. Bayarannya lumayan, kok. Cukuplah untuk keperluanmu sehari-sehari," tambahnya mengiming-imingi gaji yang akan di dapat.

"Bukan soal itu," kilah Gibran.

Pasih menatapnya menyelidik ingin penjelasan.

"Gini. Yang pertama aku masih kuliah," jelasnya.

"Ya. Terus?"

"Yang kedua setelah pulang kuliah, aku harus membantu keluargaku bercocok tanam," jelasnya lagi.

"Hm, lagi!"

"Yang ketiga aku masih belum banyak tahu lagu-lagunya, he...."

"Astaga, ini mah bisa di atur. Seiring berjalannya waktu, kamu juga pasti akan tahu dengan terus menghapal satu persatu lagunya," katanya panjang.

"Bukan hanya itu, aku juga, kan punya kesibukkan tersendiri."

"Iya, aku paham itu!"

"Hm."

"Gini aja. Aku sudah terlanjur takjub sama suara merdumu, dan itu bisa kamu asah lagi dengan bernyanyi di Cafe kami," katanya menjeda, "Gimana kalo kamu mengisi kekosongan untuk bernyanyi di malam hari saja," usulnya.

Gibran berpikir terlebih dahulu, "Kira-kira sampai jam berapa. Soalnya aku gak bisa kalo harus sampai larut malam," jelasnya.

"Sampai jam 10!"

Gibran malah menoleh pada Alleta, "Hunny! Gimana? Apa aku ambil aja," tanyanya meminta persetujuan dari pacarnya.

"Aku mah terserah kamu aja, Bunny! Kan yang nyanyi kamu, bukan aku!" jelasnya, dan iya juga.

"Gimana? Mau menerima tawaran ini?"

Gibran berpikir sejenak, "Apa boleh aku meminta waktu untuk memikjrkan inj?"

Pasih mengodok kantung jas yang ia pakai. Kemudian ia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari sakunya, lalu ia letakkan di atas meja.

"Kalo kamu terima, ini sebagai uang mukanya."

"Em, gimana, ya! Bukannya aku tidak mau. Tapi...."

"Tenang aja, Cafe kami akan mengijinkan kamu cuti jika memang waktunya lagi mepet-mepet banget,"

"Em..."

"Gimana? Soal bayaran perbulannya, kami tidak akan ingkar janji juga akan tepat waktu," jelasnya lagi.

"Hunny!" seru Gibran lagi.

"Kalo kamu mau, kamu ambil aja. Tapi kalo kamu ragu, gak papa. Kamu abaikan saja," usul Alleta.

"Aku mohon, terima penawaran ini," pintanya dengan wajah memohon.

Hhh......

Gibran menghela napasnya sebentar, "Baiklah aku terima. Tapi jika aku ingin libur, mau mepet atau enggak. Kalian harus menyetujui," pinta Gibran.

Pasih terlihat berpikir.

"Gimana?" tanya Gibran dengan raut wajah mencari tahu.

"Ya. Itu bisa di atur," jawabnya.

Mereka berdua saling menjabat tangan, sepakat.

"Besok kamu mulai masuk bekerja. Jangan hawatir soal pakaian. Kami udah siapkan untukmu setiap malamnya."

Gibran mengangguk paham.

Kemudian Pasih pamit, dan pergi meninggalkan mereka denga wajah yang berseri-seri.

"Hunny! Apa tidak apa-apa aku menerima pekerjaan ini?" tannyanya pada Alleta.

"Coba aja dulu. Kalo nyaman, kamu lanjutin!"

"Gimana dengan audisi selanjutnya?" tanya Gibran bingung.

"Emangnya kapan?"

"Em, seminggu lagi katanya."

"Lumayan ada waktu biat kamu belajar banyak lagu."

"Bukan soal lagu, Hunny!"

"Teruss?"

"Gimana kalo aku lagi kerja, dan aku di panggil?"

"Bukannya tadi kalian udah sepakat tentang hal ini," kata Alleta bingung.

"Iya, sih! Tapi aku takut dikatain gak propesional," kilahnya.

"Gak papa, ini semua kan demi mewujudkan cita-citamu, harus ada pengorbanannya."

"Hm.."

"Kecaman-kecaman orang itu jadikan sebagai potensi semangat kamu. Jangan di ambil hati."

"Makasih, Hunny! Kamu selalu ada buatku," kata Gibran seraya menyenderkan kepalanya pada bahu Alleta.

"Semoga sukses, dan bisa mencapai cita-citamu setinggi langit," dukung Alleta menyemangati.

"Amiiinnn. Aku juga do'akan kamu supaya bisa cepat-cepat menikah denganku," katanya malah merayu.

"Bunny!"

"Ya, Hunny! Kamu terharu, ya?" tanyanya dengan wajah pupy eyesnya.

"Iya, aku terharu. Terharu sampai aku ingin memakan meja ini," jawabnya sembari menggoyang-goyangkan meja yang di hadapannya.

"Masa, sih!  Hunny?"

Ck.....

Alleta berdecak. Ia malas kalo sudah berdrama kaya gini. Mereka seperti pasangan idiot saja.

"Aku serius, Hunny! Semoga aku di gampangkan rejekinya, dan bisa cepat-cepat melamar kamu untuk jadi pendampingku untuk selamanya," kata Gibran mulai serius dengan topik pembicaraan mereka.

"Amiiinnnn, aku aminkan doamu, Bunny!"

"Harus. Kamu harus meng-aminkan do'a kita,"

"Kita?"

"Iya. Inikan untuk kita, he..."

"He..."

Mereka malah saling lempar senyum unjuk gigi mereka masing-masing.

"Pulang?" tanya Gibran sembari berdiri.

Alleta mengangguk. Sebelum bangun, Alleta menyampirkan terlebih dahulu tali tasnya ke bahu.

"Yok!" jawabnya sembari berdiri, dan merapihkan terlebih dahulu pakaiannya.

Gibran menolakkan sebelah tangannya di pinggang, dan Alleta sambut dengan mengaitkan tangannya pada lingkaran lubang tangan Gibran.

Sembari berjalan keluar, mereka terus bercakapa-cakap soal masa depan, harapan, juga keinginan Gibran bersama Alleta kelak.

"Hunny! Apa aku akan berhasil meraih cita-citaku?"

Alleta menghentikkan langkah kakinya, "Kamu harus yakin. Katanya mau melamar aku."

"He... iya deh, iya. Aku yakin! Jika suafu hari nanti, aku akan berhasil!" katanya seperti sedang membaca undang-undang dasar.

"Bunny!" seru Alleta merasa malu jadi tontonan banyak orang.

"Apa? Kurang, ya?" tanyanya.

"Cukup! Itu lebih dari cukup," jawab Alleta berusaha menghentikan aksi pacarnya.

"Ok. Makasih, Hunny! Karna selalu menyemangatiku,"ucapnya sembari mencubit mesra pipi Alleta.

"Aw.. sakit, Bunny!" ringisnya kesal.

"He, kekencengan, ya?" tanyanya merasa bersalah.

"Ke halusan," timpalnya seraya kembali melanjutkan langkah kakinya lebih dulu.

"Hunny! Tungguin, dong!" seru Gibran seraya berjalan cepat menyusul Alleta. Kemudian mensejajarkannya setelah berada dekat dengan Alleta.

"Masa depan cerah menyambut kedatangan kita, Hunny!" serunya sembari menggerakkan tangannya di depan seperti sedang meraba.

Mereka berjalan beriringan menuju kerumah mereka masing-masing dengan Gibran terus meracau membayangkan hidup bersama dengan kebahagiaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status