"Sayang, jangan menyakiti Ibumu dengan pertanyaan seperti itu!" jawab Nenek Awiyah.
Fatih menggeleng dan menjawab, "Fatih tidak bertanya pada Ibu, Nek,""Pintar, saat kamu dewasa, kamu akan mengerti ini semua. Dan jangan pernah sekalipun menyakiti hati Ibumu! Ayok kita tidur!" jawab Kakek Usman menghentikan perdebatan di atas kasur ini.Mereka bertiga akhirnya menutup mata dengan pikiran yang mengganjal ketiganya.*******Dan di Jakarta, Ridwan sedang berada di ruangannya.Menatap kota jakarta dari balik kaca lantai tertinggi di perusahaan miliknya.Dengan ekspresi dingin dan tegas yang tidak pernah luntur lima tahun ini.Hubungan dengan kedua orangtuanya tak lagi hangat.Ridwan bahkan jarang sekali pulang ke rumah.Hari-harinya penuh dengan pekerjaan dan pekerjaan.Ridwan mengambil banyak pekerjaan karena ketika habis pekerjaannya, dia akan diam dan kepikiran Zahra.Zahra yang telah menempuh 12 jam perjalanan itu, akhirnya mendarat di Surabaya. Melangkah dengan menggandeng putranya menuju mobil travel yang sudah disewanya. "Apa masih jauh, Bu?" tanya Fatih menurut. Zahra tersenyum dan berhenti, "Kenapa? Fatih tidak sabar lagi ya?" Fatih hanya menampilkan seluruh giginya dengan cengiran indah. "Sabar ya, masih lama!" lanjut Zahra. Fatih mengangguk dan kembali berjalan, bergandengan tangan dengan Ibunya. Ini kali pertama, Fatih menginjakkan kaki di Indonesia. Negara kelahiran Ibu dan Ayahnya.Hati Fatih sedang membuncah senang, karena Akhirnya bisa sampai disini. Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Mobil melaju pelan keluar dari Juanda, terminal keberangkatan satu. Fatih menoleh melihat luar jalanan. "Bu disini banyak pohon dan rindang ya?" katanya sambil terus menatap keluar.
"Ayo masuk dulu, Umi. Zahra capek berdiri!" kata Zahra mengalihkan pembicaraan. Zahra tidak tega melihat ekspresi Uminya yang terlihat kecewa. "Maaf Umi lupa, Ayo masuk!" jawab Umi kemudian menuntun cucunya masuk. Siang itu rumah Umi Aisyah tampak rame karena kedatangan Zahra dan Fatih. Yusuf dan Ratih juga menyambut Zahra dengan penuh haru. Mereka senang mendapatkan keponakan yang sangat lucu. Suasana meja makan juga terlihat ramai. "Abang Yusuf tinggal dimana sekarang?" tanya Zahra pada Yusuf. "Abang tinggal tidak jauh, Ra. Dirumah sederhana dekat pondok," jawab Yusuf. "Bawalah istrinya kemari, Bang!" pinta Zahra. Yusuf mengangguk dan menjawab,"Iya, nanti Abang bawa!" Pandangan Zahra langsung menuju Ratih. "Kamu, Tih?" tanya Zahra. "Ratih disini menjaga Umi, mbak!" jawab Ratih pelan. "Si Ratih gak mau menerima banyak lamaran, Ndok. Katanya mau
Suasana meja makan itu kembali hening. Mereka semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tentu, Zahra dan Fatih yang paling berkecamuk saat ini. "Abang harus pergi, Ra. Ada kelas Abang sekarang!" pamit Yusuf. Zahra kemudian kembali ke kesadarannya dan tersenyum menjawab Bang Yusuf. Makan siang itu selesai dan mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Fatih masuk ke dalam kamar bersama Zahra. "Bu, jangan lupakan perjanjian kita ya!" ingat Fatih pada Ibunya kemudian menuju kamar mandi. Zahra hanya cemberut mendengar perkataan dan tingkahnya Fatih. Zahra jadi gelisah dan menyesal melakukan perjanjian dengan putranya yang sangat pintar itu. "Bisa-bisanya dia menjebak Ibunya sendiri," gerutu Zahra. Zahra tak mau ambil pusing dan memilih untuk segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Zahra akan meminta pertolongan hanya pada
Umi terpaku dengan jawaban dari putrinya. Umi Aisyah merasakan jika Zahra belum sepenuhnya bisa berdamai dengan keadaan. Semua dia lakukan untu Fatih semata. "Sepertinya Ridwan benar, hanya Ridwan yang bisa menyembuhkan Zahra!" batin Umi Aisyah. Mereka berdiam dengan segala isi kepala yang berebut ingin dipikirkan. Hingga mereka menoleh bersama karena sebuah mobil berhenti dihalaman, pagi-pagi buta begini. "Siapa Umi? Kenapa ada yang bertamu sepagi ini?" tanya Zahra pada Uminya. Umi tahu mobil siapa itu dan berkata, "Masuklah, tolong buatkan minum Zahra!" "Baik, Umi!" jawab Zahra kemudian masuk ke dalam dapur.Umi berjalan kembali menuju pintu membukanya."Assalamualaikum, Umi!" salah Ridwan. Umi melihat Ridwan dari bawah hingga atas. Ridwan terlihat memakai pakaian yang sama saat berpamitan menuju Tarim dengan wajah yang sama dinginnya. Hanya lebih beranta
Jantung Ridwan berdebar sangat kencang melihat laki-laki kecil yang sangat mirip dengannya. Seluruh tulangnya terasa lemas. Menatap laki-laki kecil yang memeluk kaki Zahra. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bertebaran di otaknya. Ibu? Lidah Ridwan terasa kelu membayangkan kalimat itu. Ridwan tidak bodoh untuk bisa mencerna keadaan. Tapi keterkejutannya membuat dirinya tak bereaksi apapun. Wajah dingin itu terasa semakin dingin melihat kembaran kecilnya. Suasana mencekam itu dapat Umi Aisyah rasakan. "Fatih, ada Ayah Ridwan, Nak dibelakangmu! Ayo salim dulu!" titah Umi Aisyah. Deg!Fatih berdebar mematung tanpa menoleh. Fatih terlalu bersemangat memberikan jajan pasar yang sangat nikmat, membuatnya tidak melihat sekitar. Zahra bisa melihat jika putranya tengah terkejut pun memeluk Fatih. Mengusap belakang kepala putranya dengan lembut.
Zahra mengusap air mata Fatih dan menjawab, "Ibu tidak tahu!" Fatih tampak kecewa dengan jawaban Ibunya. "Tapi, Ibu yakin jika Ayah menyayangimu. Jadi, semoga Ayah datang lagi!" lanjut Zahra. "Benarkah?Ibu tahu dari mana?" tanya Fatih. Zahra tersenyum, "Mata ini, mata yang sama yang ibu lihat saat Ayah pergi. Ayah dan Fatih sama! Ayah juga tersiksa seperti Fatih!" Zahra mencoba meluruskan kesalah pahaman ini. Fatih tampak antusias dan menyimak dengan serius. "Ibu yang pergi, Ibu yang menolak Ayah. Ayah mengejar Ibu hingga ke Tarim lima tahun lalu, tapi ibu tak menggerakkan hati sama sekali seperti pada Baba!" lanjut Zahra dengan tersenyum. "Jadi nasib Ayah sama seperti, Baba?" tanya Fatih. "Iya, tapi Ayah sangat gigih. Tanyalah pada kakek Usman kalau kembali kesana. Kakek Usman diikuti kemanapun oleh Ayah." jawab Zahra sambil tertawa. "Benarkah?" tanya Fatih. "Ya, dan Ayah m
Hampir Ridwan tak kuat menahan kerinduan dan penyesalannya lima tahun ini. Rasanya Ridwan ingin membunuh dirinya sendiri. Ribuan kali mengutuki dirinya sendiri. Zen tak bergeming melihat bosnya itu. Zen tak berani mengeluarkan kata sedikitpun. Hari berganti, hampir satu minggu Ridwan menghabiskan waktunya dengan mengamuk. Ruangan yang sudah dibersihkan kembali hancur setiap hari. Ridwan sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak datang pada Zahra, hingga mengamuk salah satu caranya melampiaskan amarahnya.Brak!! "Aaaaaaaa!!" teriak Ridwan. Satu minggu hidupnya seperti tak memiliki jiwa, tak tahu harus seperti apa. "Tuan, Jadwal mengantar donasi dan hadiah untuk anak pondok!" kata Zen mengingatkan. "Antarkan! Saya disini saja!" jawab Ridwan dingin. Ridwan tak akan sanggup melihat kenyataan yang lebih akan menghancurkan dirinya. Sekuat tenaga menghi
"Tapi apa?" serbu Ridwan saat Zahra tak menyelesaikan ucapannya. "Perjanjiaku dengan Fatih, saat kau datang lagi, aku harus menerima pinangan Ayahnya!" jawab Zahra.Jantung Ridwan berdebar hebat, rasanya seperti ada yang terhimpit. Fatih memperjuangkan hubungan orang tuanya tanpa Ridwan tau. Ridwan sangat senang mengetahui Fatih menginginkannya. "Lalu kamu?" tanya Ridwan. Zahra menghela nafasnya berat, "Aku menerimanya, tapi—"Ucapan Zahra terjeda. Mengambil waktunya dan semua yang di pertimbangkan seminggu ini. "Nikah mut'ah!" lanjutnya. "Zahra ...," pekik Umi Aisyah. Umi Aisyah tak pernah menduga jika Zahra akan berfikir seperti ini. "Kau paham kan, Nak agama! Sebagai orang Sunni Nikah mut'ah itu haram! Kenapa bisa berfikir seperti itu?" pekik Umi Aisyah.Nikah mut'ah atau biasa disebut nikah kontrak, karena ketika akad akan disebutkan jangka waktu menikahnya.