Tiba-tiba Mama Sofiya merasa jantungnya berdenyut.
Baru saja bertemu dengan cucunya, dan harus berpisah."Kenapa tidak pindah disini, Ra?" tanya Mama Sofiya sambil melihat Fatih yang tengah dipangku Kakek Ameer."Fatih yang mau, Mah. Fatih ingin menyelesaikan hafalannya dan juga guru-gurunya disana!" jawab Zahra.Mama Sofiya tampak sedih.Apakah keluarga bahagia hanya bisa Fatih rasakan satu minggu saja."Pantas saja Ridwan seperti ini, dia sangat menyayangi keluarganya!" gumam Mama Sofiya.Zahra mengangguk, "Maafkan Zahra ya, Mah!"Mama Sofiya menggeleng cepat.Memeluk erat Zahra, "Harusnya kami semua yang minta maaf padamu!"Kemudian Mama Sofiya menuntun Zahra untuk duduk di kursi sebelah ranjang Ridwan.Menceritakan perubahan Ridwan pada Zahra sambil mengusap punggung Zahra."Putraku yang hangat dan lembut telah hilang lima tahun lalu, Dia menyiksa dirinya sendiriSetelah dokter perempuan masuk dan menangani Zahra. Papa Ameer diluar bersama dokter yang menangani Ridwan. Dan dokter menjelaskan jika, [maaf membuat Khawatir, Pasien sudah sadar tapi dalam keadaan lemah]Dan Papa Ameer menyimpulkan, Zahra menganggap jika mungkin suaminya tidak tertolong hanya dengan kata Maaf. "Istrimu pingsan karena kamu anfal!" jawab Papa Ameer datar. Sedangkan Sofiya memegang erat tangan putranya yang masih sangat lemas. "Pah, jangan ketus gitu!" pinta Mama Sofiya. Putranya baru saja sadar dari serangan jantung. Sofiya tidak tega melihat Ridwan. Ridwan yang lemas itu kemudian mengusap kepala Zahra dengan satu tangannya. "Ayah!" lirih Fatih yang tak berdiri di sebelah Ameer. Namun, Ridwan tak bisa melihat karena Fatih yang masih kecil. "Fatih! Sini, Sayang! Peluk Ayah!" pinta Ridwan yang masih lemas dan belum memiliki banyak tenaga. Ke
Zahra memajukan bibirnya cemberut sebal karena tawa Ridwan. "Mas!" rengek Zahra. "M—maaf, Sayang! Kamu lucu dan menggemaskan sekali! Polos banget sih, Istriku ini!" jawab Ridwan sambil menghentikan tawanya dan mencolek hidung Zahra. "Aku serius, Mas!" rengek Zahra. Ridwan mengusap pipi Zahra, "Aman, Sayang! Mama yang melihat dan Mama hanya melihatku! Kita sudah halal jadi gak apa-apa!" Zahra memasukkan wajahnya di dada sang suami. Ucapan lembut Ridwan membuat Zahra malu. Laki-laki dingin itu ternyata bisa sangat lembut, pikir Zahra. Bagaimanapun perkenalan mereka sangat tidak berkesan baik. Pelecehan yang dilakukan Ridwan saat itu sangat menakutkan. Dingin, kejam, kasar dan tak berperasaan. Namun sekarang, Ridwan sangat baik dan lembut. Ridwan kemudian melerai pelukan itu dan memasangkan kembali cadar Zahra, "Takut ada yang lihat!" Zahra tersipu dengan si
Fatih tentu kecewa dengan keputusan sang Ayah. Fatih masuk kedalam ruang rawat Ridwan bersama Zahra dan Kakek, Neneknya. "Ayah!" panggil Fatih. Ridwan yang tengah duduk, langsung menatap mata putranya. "Iya, Nak. Sini!" jawab Ridwan. Fatih mendekat dan naik ke ranjang dibantu oleh Kakek Ameer. Fatih memeluk Ayahnya erat, "Fatih pamit ya, Yah. Fatih harus pulang dan berkemas untuk berangkat ke Tarim!" Deg! "Harus sekarang?" lirih Ridwan. Jantung Ridwan bergemuruh. Ridwan tidak berfikir mereka akan berangkat secepat ini. Ridwan menoleh pada Zahra, dan Zahra hanya diam menatap mata Ridwan yang memohon. Zahra tau arti tatapan itu, tentunya membujuk sang putra. Tapi Zahra tak ingin membantu Ridwan. "Ayah sudah sehat. Fatih sudah menunda empat hari, Yah!" jawab Fatih datar. Zahra kemudian mendekat. "Aku juga pamit, Mas!" kata Zahra
Zahra masuk ke dalam pelukan Ridwan. "Iya, Mas! Zahra akan berangkat bersama Fatih!" jawab Zahra. Ridwan memeluk erat istrinya. Zahra kembali meleleh karena Ridwan menyusulnya dengan keadaan yang mengenaskan. Tanpa alas kaki dan darah bercucuran. Hal itu membuat Zahra kembali yakin jika Ridwan memang sangat ketakutan. "Jangan salah paham, Sayang! Aku mencintaimu! Tunggulah Mas menyelesaikan perpindahan kantor pusat ya!" kata Ridwan lagi. Zahra mengangguk dalam pelukan Ridwan. "Jangan merasa Mas hanya memerdulikan Fatih saja. Mas milikmu, Ra!" lanjut Ridwan. Zahra mengangguk, "Maaf ya, Mas. Zahra berfikiran buruk tentang, Mas!" Ridwan menggeleng, "Sikap Mas yang membuatmu berfikir seperti itu, Ra!"Kesalahan pahaman itu lebur dalam pelukan hangat.Setiap hubungan tak akan luput dari salah paham. Namun bagaimana menyelesaikannya, itu tergantung individu.
Ridwan langsung bergegas masuk kedalam kamar. Mencoba menghindari pertanyaan Zahra, karena memergoki Ridwan tengah menguping Fatih. Zahra tersenyum dan mengikuti suaminya. Mereka berdua melakukan kewajibannya, kemudian Ridwan langsung pamit berangkat ke masjid. Pujian sudah mulai terdengar merdu dari pengeras suara. Ridwan keluar kamar dan menunggu putranya dihalaman. Tak lama setelah itu, Fatih keluar dan pergi ke masjid bersama Ayahnya. Ridwan ingin mengukir segala kenangan bersama Fatih. Putra yang begitu dia sayangi. Tak ada kata yang terucap dari dua laki-laki beda usia itu. Setelah selesai melakukan sholat, mereka berdua bergegas pulang. Ridwan membawa Fatih pada pundaknya. Awalnya Fatih menolak dan minta diturunkan karena sang Ayah baru saja sembuh. Namun, Ridwan tak menurunkan Fatih. Memasuki rumah dan menuju meja makan, Zahra dan Umi p
Dan olahraga malam dua insan itu terjadi. Berpeluh dan mendesah bersama dalam balutan gairah dan rasa cinta.Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Seolah Zahra adalah poselen, jika kasar sedikit akan pecah. Hati Zahra memang porselen, karena sudah pernah sekali pada waktu itu. Ridwan mengayuh tubuhnya dengan pelan, mengobrak-abrik dibawah sana hingga mereka mencapai puncak bersama. Meluapkan segala rasa, cinta, harapan, masa depan. Zahra tersenyum dalam dekapan suaminya. Menghirup aroma maskulin pada dada telanjang suaminya yang penuh keringat. Seolah rasa sakitnya lima tahun lalu menguap begitu saja diganti dengan cinta yang membuncah. Zahra sangat menikmati pelukan hangat suaminya. Tubuh mereka masih polos di bawah selimut itu. Ridwan terus menciumi puncak kepala Zahra dan menghirup dalam-dalam aroma sampo Zahra. Seolah aroma itu menambah ba
Fatih hanya diam mendengar jawaban ibunya. "Fatih kenapa bertanya begitu?" tanya Zahra. Fatih kemudian menatap Ibunya intens, seiring dengan pemberitahuan jika pesawat akan take off. Zahra dan Fatih mulai merasakan getaran saat pesawat itu mulai lepas landas. Hingga pesawat benar-benar tenang dan beberapa petugas datang membawakan sarapan Zahra dan Fatih. Zahra kemudian menoleh, "Makan dulu, nanti baru jawab pertanyaan, Ibu!" Fatih hanya mengangguk dan langsung memakan sarapan yang sudah disediakan. Mereka makan dengan nikmat karena menu yang dibawakan adalah menu kesukaan Fatih. Zahra berfikir, sepertinya Ridwan sudah menyiapkan segalanya demi kenyamanan perjalanan Zahra dan Fatih. Melihat sang putra sangat lahap membuat Zahra lebih tenang. Setelah makan, Zahra meminta petugas untuk mengantar menuju kamar dan berbaring bersama Fatih di sana. Sudah lumayan lama tidak memeluk
Ridwan terkejut dengan kirim selembar foto saat Zahra saat hamil. Zahra sedang bersandar di kursi memegang perutnya. Ridwan jelas tau itu adalah Zahra. Ridwan kembali foto dan ada tulisan dibelakang, [ Azzahrana selesai memanggang roti untuk dijual, Semoga lelahmu Lillah, Nak]Jantung Ridwan semakin tak karuan membaca tulisan itu. Zahranya berjualan roti? Zahranya kesusahan ketika hamil seorang diri? pikiran Ridwan semakin berkecamuk. Ridwan menatap dalam foto itu kemudian membuka dompet dan menaruhnya di dalam dompet. Dengan jutaan kata yang tak bisa diungkapkan oleh Ridwan. Ridwan membuka sepucuk surat berwarna biru kecil itu. [ Ridwan, Umi mengirim hadiah pernikahan untukmu. Tak mahal tapi Umi yakin ini berharga. Umi siapkan ini untukmu, karena Umi tau kau akan menikahi Zahra. Zahra tak pernah tau umi mengambil ini. Sembunyikan dari Zahra. Umi Awiy