Bab38Malam ini, seperti biasa, Angkasa akan menemani Nara di dalam kamarnya."Awww ...."Angkasa terkejut dan langsung bertanya, ketika melihat wajah kesakitan Nara, sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa?" tanya Angkasa dengan siaga.Nara tersenyum."Bayinya nendang, bikin perutku jadinya nyeri.""Serius, dia nendang?" Angkasa cukup kagum, mendengar ucapan Nara."Bener. Nah ini, awww ...."Nara menunjukkan perut buncitnya yang mulai gerak- gerak."Beneran gerak ya, ya ampun ...." Angkasa semakin terkagum- kagum dibuatnya. Lelaki itu mendekat dan memberanikan diri memegang perut Nara."Hai, Boy!! Ngapaian kamu di sana, main bola ya ...." Angkasa mengajak calon bayinya itu mengoceh, membuat hati Nara menghangat haru."Boy, jangan kencang- kencang nendangnya ya, kasian Mamah kesakitan," ujar lelaki itu lagi memperingatkan anaknya yang memang sedari tadi terus bergerak- gerak aktif.Sesekali Nara meringis, merasa nyeri jika si calon bayi menendang cukup kuat."Boleh aku cium?" tanya
Bab39"Jadi mereka mengadakan pernikahan di Hotel?" tanya nyonya Rengganis, wanita cantik meski usianya sudah tidak muda itu lagi, mengepalkan tinju, setelah mengetahui anak sulungnya menikah tanpa mengundang dia dan keluarga besarnya.Tantaka Kusuma terkekeh, mendengar orang kepercayaan istrinya memberi informasi."Anak itu sangat keras kepala! Apa hebatnya wanita miskin yang tidak berpendidikan itu dia nikahi? Benar- benar mengecewakan," gerutu nyonya Rengganis."Kenapa Papah tertawa begitu?" tanya nyonya Rengganis, yang merasa kesal melihat tingkah suaminya."Akhirnya anakku menikah juga, bahkan sebentar lagi, dia akan memberikan aku cucu, aku patut berbahagia atas semua ini," ungkap Tantaka Kusuma."Ibu nggak sudi, Pah.""Mau bagaimana lagi, Angkasa bukan lelaki pengecut, jadi dia tahu caranya bertanggung jawab, Papah salut dengan hal itu.""Ibu tetap tidak setuju dengan pernikahan mereka.""Sudahlah, biarkan Angkasa menata sendiri masa depannya, kita sebagai orang tua, jangan ter
Bab40"Minta maaf untuk apa? Ibumu tidak salah, semua yang dia katakan tentang aku, itu benar adanya," ujar Nara dengan mata berkaca- kaca, setelah Angkasa melepaskan pelukannya."Lagian jangan terlalu serius, pernikahan ini terjadi hanya demi anak ini. Setelah dia lahir, aku akan pergi, dan urusan kita selesai," lanjut Nara, membuat Angkasa membeku.Tanpa dia sadari, Nara Kamila telah berlalu dari hadapannya. Angkasa sejenak menjadi linglung, entah kenapa dia tiba- tiba bertindak seperti tadi.Apakah ini hanya rasa bersalahnya, atau ada yang lain. Angkasa menggeleng kuat, dia tidak ingin terbawa perasaan apapun pada Nara.Karena Angkasa pun sadar, Nara tidak memiliki perasaan apapun juga kepadanya. Di dalam kamar, Nara menangis tergugu, karena ketidakberdayaannya melawan nasib, membuatnya hanya bisa terdiam, ketika orang lain menghinanya."Orang rendahan sepertiku memang pantas dihina. Selain miskin, aku juga terbuang dari keluarga, bahkan hamil diluar nikah, benar- benar orang tida
Bab41"Kamu senang berada di sini?" tanya bi Aya kepada Nara, yang sedang tersenyum memandangi taman mini di depan rumah yang Angkasa beli."Senang, tidak lagi terkurung di apartemen. Di sini, saya bisa menghirup udara segar, Bi." Nara menjawab dengan senyuman manisnya."Iya, bener juga. Sukurlah kalau senang, Bibi yakin, bayi yang ada di dalam kandungan pun ikut merasakan bahagia."Nara mengelus perutnya yang semakin besar."Harus bahagia, dong. Karena Mamah, selalu berusaha bahagia," gumam Nara. Bi Aya hanya tersenyum menanggapi.__>__"Jadi Nara baru menikah, dengan pengusaha muda yang kaya itu? Angkasa Tantaka, dia itu lebih kaya dari keluarga Abimanyu, Yah." Mama Lida cukup terkejut, karena baru mengetahui tentang pernikahan Nara dan Angkasa.Angkasa sengaja hanya memanggil Baskoro, Ayah Nara. Lelaki itu tidak ingin Mama Lida dan Mouren, merusak pernikahan nya dan Nara, maka sebab itulah, Mouren dan mama Lida, tidak tahu apa- apa."Harusnya Mouren yang menikahi lelaki hebat it
Bab42Seminggu sudah ditempat baru ini, suasananya benar- benar nyaman. Perlakuan Angkasa pun semakin baik padaku.Ya, mungkin ini karena, anak yang aku kandung. Jika tidak, mana mungkin dia mau padaku, wanita tidak berpendidikan dan terbuang ini.Mendekati hari H melahirkan, aku semakin sibuk berolahraga, dan mengunsumsi buah- buahan, juga selera makanku semakin meningkat."Bi, aku gemuk sekali ya," ujarku, ketika bi Aya, tengah sibuk menghidangkan makan malam.Bi Aya tersenyum, dan aku pun duduk di kursi makan, sambil memandangi makanan yang tersaji di atas meja."Bagaimana nggak gendut, kamu makannya banyak." Suara dari belakangku terdengar, dan aku mengenali jelas suara itu.Angkasa, ya sepertinya lelaki itu telah keluar dari ruang kerjanya."Yang penting sehat atuh, Non." Bi Aya menimpali, dan Angkasa malah terkekeh, mengesalkan sekali."Wajar makannya banyak, kan yang makan dua orang." Bi Aya lanjut bicara sambil tersenyum, aku hanya diam.Kemudian wanita paru baya itu, kembali
Bab43Dengan rasa terpaksa, aku memberikan bayi mungil yang tidak berdosa itu asi. Meskipun asinya tidak begitu banyak keluar.Kutatap wajah mungil yang tampan itu, dia nampak begitu bersemangat, melahap makanannya. Ada perasaan yang bergetar di dalam dada, juga perasaan nyeri menatap wajah mungil yang masih menutup matanya, namun bibirnya begitu kuat bergerak menyesap asi."Betapa mungilnya dan imutnya kamu, Nak. Entah kenapa, perasaan ini mendadak berat melepaskanmu," batinku. Mataku mulai berkaca- kaca."Baskara Tantaka ..., kuberi dia nama itu," gumam Angkasa, sambil mengusap kepala si kecil yang tertutup kain bedongan.Aku diam, tidak menanggapinya, tapi aku mendengar dengan jelas ungkapannya."Bayi tampan ini begitu mungil, dia juga begitu bersemangat mengisap asi, rasanya luar biasa, bisa menyaksikan dia lahir kedunia ini," ungkap lelaki itu, dengan senyuman kebahagiaan, yang tercetak jelas di wajahnya.Aku memandangnya sesaat, kemudian kembali kututup mataku ini, membayangkan
Bab44Bi Aya dan Nara menoleh ke depan pintu kamar, nampak Angkasa berdiri tegak, dengan tatapan dingin.Merasakan hawa yang kurang nyaman, juga tidak ingin terlibat, bi Aya pun undur diri dari hadapan mereka."Saya permisi ke belakang," lirih bi Aya sambil menunduk, dan membawa langkahnya."Ya." Angkasa menyahutnya, tapi tatapan lelaki itu masih terfokus pada Nara, yang memangku si bayi mungil mereka."Kenapa kau menganggapku seperti itu? Apakah aku terlihat seperti sedang mengasihani kamu, apakah aku nampak seperti sedang bermain- main?" tanya Angkasa pada Nara.Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar, kemudian menutu pintu.Nara masih menunduk, tanpa memberikan tanggapan apapun."Seharusnya kamu tidak berucap seperti itu, seakan- akan aku suami yang buruk. Kita memang gagal saling memahami, setidaknya kamu jangan menilaiku seperti itu," lanjut Angkasa, dan lelaki itu duduk di bibir ranjang, berhadapan dengan Nara."Kalau tidak kasihan, tidak karena tanggung jawab, lalu apa?" tanya
Bab45"Kamu nguping?" tanya nyonya Rengganis pada Nara.Nara menggeleng."Maaf," ucap Nara, kemudian dia berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca, piring yang berisi makanan yang semula ingin dia bawa ke kamarnya."Biar saya bantu," ucap bi Aya, yang cukup terkejut ketika melihat Nara menjatuhkan piring nasi bawaannya.Angkasa hanya terdiam, melihat Nara yang nampak kecewa menatapnya tadi."Beginilah kalau kamu menikahi wanita yang besar tanpa didikan orang tua yang lengkap, ceroboh dan tidak ada yang bisa di banggakan dari dia, yang ada hanyalah menyisakan rasa malu," cibir nyonya Rengganis."Bu," tegur Angkasa, dengan raut wajah tidak suka. Nara meneteskan air mata, mendengar sindiran nyonya Rengganis.Tapi dia hanya bisa terdiam, sambil memunguti pecahan kaca.Bi Aya memusut belakang Nara, mencoba menenangkan wanita itu, wanita yang kini tubuhnya bergetar menahan marahnya, bahkan suara isak tangisnya pun dia redam kuat- kuat."Jadi bagaimana Angkasa, Ibu masih ingat omongan kamu