Kehamilan pertama tanpa didampingi seorang suami dan juga harus menghadapi peliknya sebuah perceraian, terlebih perceraian karena sebuah pengkhianatan, tentu bukan hal mudah bagi siapapun. Begitu juga bagi Dewi.Pedih, sakit, dan hancurnya dikhianati tidak akan semudah itu terobati. Meski segala tuntutan yang Dewi ajukan ke pengadilan dikabulkan oleh hakim, tetapi itu tidak cukup untuk menjadi penawar kesakitannya, penebus dosa bagi Gibran, Rindu, Asih, Bu Santi, dan Gina yang telah mengkhianatinya.Dewi masih tidak ikhlas dengan semua yang terjadi. Cintanya yang tulus untuk Gibran, kepercayaannya yang penuh ia berikan pada Gibran, kejujurannya dalam menjaga dirinya hanya untuk Gibran, dibalas dengan pengkhianatan. Gibran selingkuh dan menikahi adik tirinya, bahkan ketahui dan direstui oleh ibu dan adik Gibran yang selama ini ia tanggung biaya hidupnya.Adakah yang lebih memilukan dari ini?Puing-puing kepercayaan yang bertahun-tahun telah hancur lebur dalam hidup Dewi, tertatih-tatih
"Wi ...." Gibran menatap Dewi dengan wajah memelas. "Apa ...." Ingin sekali Gibran membujuk Dewi untuk mengurungkan perceraian mereka. Namun, lidahnya kelu. Ia tidak mampu meminta itu sementara di belakangnya ada Rindu yang menunggu.Dewi hanya tersenyum masam melihat Gibran gamang seperti itu."Dre, udah, yuk! Sebentar lagi persidangan dimulai. Aku enggak mau telat," ucap Dewi pada akhirnya."Oke." Andre mendorong kembali kursi roda Dewi untuk memasuki gedung kantor pengadilan agama diikuti Bu Rasti.Sementara Gibran memandang mereka bertiga berlalu meninggalkannya. Ia bahkan sampai tidak ingat tentang Candra yang seharusnya jug sudah datang untuk mendampinginya.Setelah rombongan Dewi tidak terlihat, baru Gibran menoleh ke belakang, dimana Rindu masih berdiri dengan jantung terbakar."S-Sayang ...." Gibran berjalan kembali ke arah Rindu.Sementara pada saat itu, mata Rindu sudah dipenuhi genangan air mata. "Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau Mbak Dewi juga hamil?" hardik Rindu.
Usai sidang Dewi dan Bu Rasti saling berpelukan. Ada rasa sedih karena pernikahan yang mereka harapkan bisa untuk selamanya harus hancur berantakan. Namun, mereka merasa jauh lebih lega karena pada akhirnya Dewi berhasil lepas dari lingkaran orang-orang tidak tulus dan hanya memanfaatkan dirinya saja."Kamu punya Ibu, Wi. Kamu tidak usah khawatir," ucap Bu Rasti sembari memeluk putrinya."Iya, Bu. Dewi enggak khawatir sama sekali. Dewi sekarang udah lega. Dewi tinggal menata hidup ke depan bersama Ibu dan anak yang ada dalam kandungan Dewi.""Iya, Nak. Maafin Ibu karena dulu maksa-maksa kamu buat nikah ...." Bu Rasti sangat sedih dan menyesal."Ibu enggak salah. Ini semua udah jadi garis takdir Dewi, Bu. Ibu enggak salah sama sekali. Dewi yakin, setelah ini Allah akan kasih kita semua hadiah yang lebih besar, yang enggak pernah kita sangka sebelumnya."Bu Rasti begitu terharu mendengar kata-kata Dewi. Sehingga kali ini justru Bu Rasti yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan putrinya.
"Iya, emang uang segini mau buat buka usaha apa?" tanya Bu Santi. "Buka warung kelontong di rumah aja tidak akan cukup."Rindu dan Gibran bersamaan menghela napas. "Iya juga, sih," gumam Gibran. "Tapi ... Gibran malu, Bu.""Emang malu bikin kenyang?" tegur Bu Santi. "Yang penting sekarang, uang ini tidak habis percuma. Ini uang diputar buat usaha. Baru keuntungannya yang kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari.""Tapi jualan apa ya, Bu?" tanya Gibran dengan sangat tertekan. Begitu juga Rindu. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan akan menjadi istri dari pedagang keliling yang pasti hasilnya tidak seberapa untuknya."Jualan bakso tusuk aja gimana?" usul Bu Santi. Ia masih ingat apa yang diajarkan Dewi untuk membuat bakso tusuk yang enak."Bakso tusuk?" tanya Gibran tak percaya."Iya, Ibu masih punya catatan resep dari Dewi."Gibran tertegun. Ia jadi kembali teringat pada mantan istrinya itu. Dewi memang pecinta bakso. Sehingga Dewi sering membuat bakso di rumah. Baik itu bakso kuah sep
"Astaga! Siapa sih, tengah malam gini berisik banget?" gerutu Gibran masih sembari memejamkan mata. Seharian berjualan keliling membuat badannya sangat lelah sehingga di pikirannya hanya ingin beristirahat.Namun, pada saat ia menjatuhkan tangan ke bagian tempat tidur Rindu, Gibran merasa ada yang aneh. Kasur di sisinya kosong. Gibran memicingkan mata sembari bergumam, "Kemana Rindu?"Pada saat itu Gibran terlonjak. Ia teringat suara berisik dari arah rumah bagian belakang. "Jangan-jangan itu Rindu!" pekiknya. Kontan matanya langsung terbuka lebar. Ngantuknya seketika hilang.Bergegas lelaki yang mengenakan kaos putih itu beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mencari istrinya. "Yang! Sayang!" seru Gibran sembari menelah ke arah ruang tamu kemudian ke arah dapur."Ada apa, Bran?" tanya Bu Santi yang terbangun karena mendengar seruan Gibran."Ibu kebangun?""Iya. Ada apa tengah malam gini teriak-teriak?""Itu, Bu. Rindu enggak ada di kamar. Tadi kayaknya ada suara gaduh di b
Gibran termenung di taman rumah sakit. Menatap orang-orang yang lalu-lalang di tempat berhawa sejuk tersebut. Ada yang sedang berjalan-jalan dengan pasangannya sembari mendorong tiang infus, ada yang didorong dengan kursi roda oleh pasangannya, ada juga wanita hamil yang berjalan-jalan dengan suaminya sembari sesekali berhenti dan meringis layaknya orang kesakitan. Gibran tersenyum getir. Menertawakan hidupnya yang berantakan saat ini.Meski perpisahannya dengan Dewi sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, tetapi sering kali Gibran masih merasa tidak percaya terhadap semua yang terjadi. Ia masih sulit percaya bahwa hidupnya sekarang seperti ini. Karirnya hancur, pernikahannya dengan Dewi apalagi. Dewi, wanita yang dulu ia kejar mati-matian telah benar-benar pergi dari hidupnya. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah sedikitpun terlintas di benak Gibran sebelumnya.Dulu, berita-berita tentang perselingkuhan, hanya Gibran dengar dari teman-temannya. Si A selingkuh dengan si B, si C deng
Tubuh Gibran menegang mendengar Rindu menyebut nama Dewi. "De-Dewi? Kamu menyebut nama Dewi?" tanya Gibran sembari menatap Rindu tidak percaya. Gibran harap Rindu akan mengulangi ucapannya tadi, agar ia yakin kalau yang ia dengar dan lihat itu bukan halusinasi.Namun, Rindu tidak merespon sama sekali. Bibir Rindu yang kering dan pucat itu kembali terkatup rapat. Tidak ada tanda-tanda ia akan berkata-kata lagi. Hanya saja ada yang berbeda. Di kedua sudut mata Rindu mengalir air mata."Sayang, kamu mimpi?" tanya Gibran sembari menepuk-nepuk pipi tirus Rindu dengan lembut. Ia harap dengan seperti itu, mata Rindu bisa terbuka. "Sayang, bangun, Sayang!" Namun, mata Rindu tak terbuka sedikitpun. Hanya air mata yang terus mengalir dari sudut matanya. Gibran kemudian mengambil tisu dan menghapus ujung mata istrinya itu. Namun, air mata itu tidak berhenti mengalir. Gibran sampai berpikir kalau saat ini Rindu mungkin sedang bermimpi bertemu dengan Dewi.Kilasan masa lalu kembali berputar di de
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana