Share

Kabar

Bukannya menuruti perintah Dewi untuk menjatuhkan talak, Gibran justru bersimpuh memegangi lutut Dewi. "Wi, aku semalam cuma kebawa emosi. Tolong, jangan begini!"

"Jangan begini kamu bilang?" Dewi membuang muka. Muak dan jengah sekali dengan Gibran. "Dia hamil, Mas! Dia hamil!"

"Iya, Wi, tapi ...."

"Tapi apa? Kamu pikir aku akan bertahan jadi istri kamu bersama-sama dengan dia?" Dewi menunjuk ke arah Rindu. "Kamu lupa dia siapa, Mas? Kamu lupa?"

"Wi, aku ...."

"Apa kamu enggak tahu kalau pernikahan kalian ini enggak sah? Apa kamu enggak tahu, Mas!?"

Gibran tidak bisa berkata-kata.

"Dan kalau pernikahan kalian enggak sah, itu artinya yang kalian lakukan, sampai Rindu akhirnya hamil, itu adalah Zina! Dan aku, aku enggak akan pernah bisa menerima itu! Aku enggak mau punya suami seorang pezina! Aku enggak mau punya anak dari laki-laki pezina!"

"Wi, aku ...."

"Cukup, Mas! Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau enggak bisa meneruskan pernikahan kita lagi? Iya, kan? Kamu masih ingat, kan?"

Gibran hanya menunduk di depan lutut Dewi dengan penyesalan yang begitu besar. Ia sampai tidak mampu mengangkat kepala saking besarnya penyesalan itu.

"Aku setuju, Mas. Aku juga enggak bisa lagi meneruskan pernikahan kita. Oke, mari bercerai!"

"Wi ...."

Tanpa memedulikan Gibran dan Rindu lagi, Dewi langsung menaiki mobilnya. Meninggalkan rumah ibu mertuanya dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Dada Dewi teramat sakit. Sangat sakit, tetapi ia tidak bisa menangis.

Rasanya jantungnya kini seperti ditusuk kembali oleh sebuah pedang yang sama yang dulu pernah menghunusnya, hanya saja kali ini pedang itu telah berkarat. Sehingga jauh lebih sakit daripada sebelumnya.

"Ibu ...." Baru setelah memanggil sang Ibu, air mata Dewi luruh. Bayang wajah sang Ibu, senyum penuh ketegarannya, kini terbayang di depan mata. Ingin sekali ia mendatangi ibunya, memeluk wanita kuat itu, hanya saja saat ini Dewi tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Banyak sekali agenda yang harus ia lakukan hari ini.

"Ya, seharusnya hidupku memang begini, Bu. Fokus kerja, sampai enggak perlu memikirkan apa-apa."

Tiba di kantor, Dewi langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mempersiapkan materi untuk meeting, mengecek laporan anak buahnya, dan setumpuk pekerjaan yang lainnya.

Dewi hanya fokus di dalam ruangannya tanpa ingin keluar sama sekali kecuali nanti saat ia harus meeting. Sekretaris sekaligus orang yang selama ini menjadi sahabat Dewi sampai masuk ke ruangan perempuan itu karena tidak biasanya Dewi seperti itu.

Dewi biasanya akan keliling memberikan sedikit arahan kepada anak buahnya untuk tugas-tugas mereka hari ini. Apalagi kalau ada karyawan baru. Ya, Dewi adalah sosok seorang pemimpin yang sangat baik. Dia manager yang dicintai anak buahnya. Karena Dewi tidak hanya menyalahkan saat anak buahnya melakukan kesalahan, tetapi juga memberi tahu cara mengerjakan yang benar.

"Bu Bos!" panggil Wina begitu membuka pintu ruangan Dewi. "Tumben dari tadi betah banget di ruangan?"

"Lagi nyiapin presentasi," jawab Dewi tanpa menatap wajah Wina.

"Kenapa enggak minta aku buat ngerjain?"

"Enggak apa-apa, aku nganggur juga, kok."

Wina menatap tumpukan berkas di meja Dewi. "Ini apa?" Wina mengangkat tumpukan berkas itu lalu menjatuhkannya lagi.

"Itu bisa nanti. Ada apa?"

Wina mengernyit karena tidak biasanya Dewi begitu. "Ada apa?"

Dewi kemudian menyingkirkan laptopnya. Ia tahu kalau Wina pasti mengendus sesuatu yang tidak beres pada dirinya. "Nanti kalau udah siap aku cerita."

Wina mengangguk. "Kalian marahan?" tanya Wina karena tahu Dewi tidak berangkat bersama Gibran. Biasanya sepasang suami istri beda jabatan itu akan berangkat bersama. Namun, pagi itu Gibran berangkat lebih siang dari Dewi.

"Bisa dibilang gitu."

"Oh, oke. Semoga segera baikan, ya? Kantor enggak enak kalau kalian marahan. Suasana jadi tegang."

Dewi tersenyum simpul. Membenarkan apa yang dikatakan Wina. Karena saat ini Dewi belum siap untuk bertemu dan bersikap biasa dengan Gibran. Tentu akan sangat tidak nyaman bersikap seolah-olah tidak ada masalah apa-apa jika berpapasan dengan lelaki itu. Padahal mereka berada di kantor yang sama, hanya sekat ruangan Dewi yang memisahkan keduanya.

"Ya udah kalau enggak mau aku bantuin, aku keluar dulu," ucap Wina lagi.

"Iya. Kerjain aja kerjaan kamu yang belum beres."

"Siap, Bu Bos!"

Dewi kembali fokus pada laptopnya. Ia bahkan sampai lupa mengaktifkan nada dering ponselnya yang telah ia simpan di laci. Pukul 10 nanti dia ada meeting dan ia tidak mau melakukan kesalahan sekecil apapun. Ia mau tampil sempurna di depan kliennya. Sesuai julukannya, Dewita si perfeksionis.

Sekitar setengah jam setelah Wina keluar dari ruangan Dewi, pintu ruangan Dewi kembali diketuk.

"Masuk!" seru Dewi tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

Pada saat pintu dibuka dan seseorang memasuki ruangannya, Dewi langsung tahu itu siapa tanpa perlu melihat orangnya. Aroma parfum Gibran, sangat Dewi kenal. Apalagi parfum itu adalah pilihannya.

"Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Dewi tanpa melepas tatapan dari laptop. Ia masih sangat enggan berurusan dengan laki-laki itu jika bukan masalah pekerjaan.

"Wi, hp kamu dimana?"

Jari-jari Dewi yang sebelumnya sibuk menekan keyboard terhenti. Ia terusik dengan pertanyaan Gibran. Karena bukan menyangkut pekerjaan.

"Kalau enggak ada urusan kerjaan, jangan masuk ke ruangan saya!" Dewi memasang wajah dingin.

"Mbak Marni telpon aku, katanya telpon kamu enggak diangkat."

Dewi kemudian membuka laci dan membuka ponselnya. Ia baru menyadari kalau ponselnya masih di-setting silent. Di situ tertera panggilan telepon dari nomor Mbak Marni, orang yang ia percaya untuk menemani dan mengurus ibunya.

Saat Dewi hendak mengubungi nomor Mbak Marni, Gibran langsung berkata, "Ibu masuk rumah sakit. Kata Mbak Marni, Ibu mendapat serangan jantung dan sekarang kondisinya kritis."

"Apa?" Dewi langsung bangkit dan menyambar kontak mobilnya. Namun, pada saat hendak melangkah, lulutnya terasa begitu lemas dan tubuh Dewi ambruk seketika.

"Bu, kenapa Ibu harus sakit saat aku butuh kekuatan darimu? Aku butuh kamu, Bu. Jangan sakit .... Cukup aku kehilangan Mas Gibran saja, jangan pergi juga dariku, Bu ...."

Gibran hendak meraih tubuh Dewi saat Dewi terjatuh. Namun, dengan kasar Dewi menghempas uluran tangan Gibran. "Aku bisa sendiri!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status