Share

Bab 8 Apartemen Max

Setelah satu jam berlalu pernikahan Max dan Shella pun usai. Max membawa Shella ke Apartemen nya untuk ditinggali bersama. Awalnya Shella bersikukuh untuk pindah Apartemen dan tidak ingin tinggal satu atap tetapi Max menolak karena kemungkinan besar Elisa bisa saja berbuat yang tidak-tidak pada Shella nantinya.

Mereka sudah tiba di Apartemen dan Max selaku pemilik menyambut Shella sebaik mungkin. Ketika Shella masuk ke Apartemen nya Max memberi tahu kamar tamu yang akan ditempati oleh Shella. Lalu mereka berpisah karena sibuk dengan urusan pribadi.

Di Kamar Tamu

Aku meletakkan seluruh barang-barang ku di dekat lemari tanpa berkeinginan membongkarnya. Justru yang lebih penting menurutku adalah istirahat. Aku menaiki ranjang dan membaringkan tubuhku di atasnya dengan nyaman. Walaupun tempat tidur ini terlihat begitu asing entah mengapa aku begitu merasa nyaman. Aku berganti posisi dengan berbaring menyamping. "Ayah... Maaf karena aku tidak menjadi Putri yang membanggakan bagi keluarga kita... Maafkan aku..."

Max mencoba tertidur namun anehnya ia jadi merasa was-was sehingga membuatnya terjaga. Mungkinkah karena Apartemen nya terisi orang asing sehingga ia menjadi sedikit gelisah seperti ini? Mungkin saja itu benar karena Max tidak pernah sekalipun membawa seorang wanita ke Apartemen nya. "Sampai kapan aku terus terjaga seperti ini?" Max memainkan matanya yang terasa panas dan mengantuk.

Hingga akhirnya Max merasa terganggu dan keluar dari kamarnya menuju dapur. Tibanya di dapur ia baru teringat jika ia dan Shella sama sekali belum menyantap makanan apa pun. Ia akhirnya berinisiatif mengajak Shella akan tetapi niat itu terkurung karena ia mengetahui jika Shella tengah tertidur pulas.

Pagi Harinya

Aku bangun dari tidur nyenyak ku dan segera mandi. Setelah selesai dari aktivitas wajib tersebut aku ke dapur dengan pakaian rapi. Di dapur aku mendapati Max yang tengah menyantap makanannya. "Kau baru saja bangun?" tanyaku seraya duduk di depannya.

Max menatap Shella sekilas. "Kau akan pergi bekerja?"

Aku mengikat rambutku dan siap menyantap makanan yang telah disediakan Max untuk ku, karena dia yang menawarkannya. "Tentu..."

Max meletakkan sebuah dokumen di atas meja. "Bacalah ini... Ini adalah peraturan pernikahan kontrak kita selama dua tahun."

Mulutku penuh dengan makanan sehingga aku hanya mengangguk dan mengambil dokumen itu. Dengan teliti aku membaca peraturan-peraturan yang ditetapkan Max.

"Jika kau ingin menambahkannya atau ingin menentang peraturan itu beri-"

"Tidak. Ini sudah sangat jelas dan sangat sesuai dengan pernikahan kontrak yang ku tahu. Aku tidak ingin menentangnya namun mungkin aku akan menambahkannya suatu saat nanti."

"Baiklah."

Makanan di atas piring kini telah bersih walaupun sebenarnya aku merasa tidak puas jika harus makan dengan porsi yang sedikit. "Aku harus pergi."

"Pergilah... Aku tidak melarangnya."

Di Tempat Kerja

Satu demi satu karyawan telah tiba di perusahaan begitu denganku. Aku lantas pergi ke kantor tempatku bekerja dengan teman-teman sekantor menggunakan lift. Saat di dalam lift banyak dari mereka mengucapkan selamat kepadaku dan juga memujiku.

Pintu lift hampir saja tertutup akan tetapi Alex berhasil menahannya dan ikut bergabung di dalam lift dengan yang lain.

"Alex! Berapa kali kau akan terus seperti itu? Kau seharusnya paham bukankah itu berbahaya?" gerutu Laya pada kebiasaan buruk Alex saat masuk ke lift.

"Sudahlah Laya... Alex hanya lupa," ucapku membela.

"Tetapi seharusnya tidak setiap saat. Padahal Alex dahulu selalu bersamamu saat akan ke lift. Tapi... Mengapa kalian berdua menjadi seperti orang asing beberapa Minggu ini?"

"Aku... Aku-"

"Apa yang kau bicarakan Laya... Shella telah menikah untuk itu dia juga harus menjaga batas terhadap Pria. Kau harusnya tahu tanpa di jelaskan."

Mendengar pernyataan Alex aku merasa sedikit tertekan. Memang benar yang di katakan Laya jika aku dan Alex cukup dekat namun setelah kejadian itu aku menjauh darinya.

Lift akhirnya terbuka. Aku segera keluar dan berjalan dengan langkah yang lebar menuju kantor.

"Selamat pagi Shella. Bagaimana pernikahan mu?" ucap Kamelia yang berpapasan dengan Shella.

"Selamat pagi juga Nyonya Kamelia. Pernikahan ku berjalan dengan baik."

Kamelia tersenyum dan memberikan sebuah paper bag berukuran besar kepada Shella. "Maaf aku tidak bisa datang hari itu karena aku memiliki janji. Maka dari itu terimalah ini walaupun tidak seberapa."

Aku menerima paper bag tersebut. "Terima kasih Nyonya Kamelia. Seharusnya aku yang meminta maaf karena mengadakan pernikahan secara mendadak."

"Benar aku menyayangkannya. Tetapi tidak apa-apa... Aku bahagia melihatmu bahagia seperti kemarin. Baiklah sampai jumpa... Shella."

"Sampai jumpa Nyonya Kamelia dan terima kasih hadiahnya." Aku kembali berjalan seraya membawa paper bag di tanganku. Saat aku tiba di kantor aku tidak menyangka jika teman-teman kantor lainnya menyiapkan hadiah pernikahan untuk ku alasannya karena mereka tidak sempat membeli hadiah kemarin akibat terlalu buru-buru.

Di Apartemen

Max sibuk dengan komputernya, terkadang sesekali kepalanya berdenyut sakit. "Bagaimana kabar Ayah? Apa dia sudah sadar? Haruskah aku memberi tahu kedua Paman ku jika aku telah menikah. Walaupun hanya pernikahan kontrak? Tidak... Aku rasa itu bukan ide yang bagus."

Di Kediaman Jia

Akibat pesta pernikahan yang digelar tadi malam banyak yang menaruh respons negatif karena berlangsung secara dadakan. Tentu itu suatu aib bagi Jia sebagai kepala keluarga, beruntungnya ia masih bisa bernapas lega karena harta peninggalan Teddy yang di wariskan pada Shella jatuh ke tangannya karena perbuatan Shella yang menyalahi aturan keluarga.

Seraya bersantai di kamar dengan menyantap beberapa hidangan Jia merilekskan pikiran dengan cara ini. Berapa menit setelah kenyamanan itu dinikmati suara ketukan pintu membuat sakit kepalanya kembali datang. "Siapa lagi ini? Masuklah..."

Rose akhirnya memasuki kamar dan menatap ibunya. "Ibu... Aku juga ingin menikah seperti Kakak Shella."

Mendengar pengakuan putri kandungnya yang baru menempuh pendidikan SMA itu jelas mengejutkan Jia. Ia pun duduk lalu menatap Rose. "Siapa yang memengaruhi mu Rose? Sayang... Kau itu masih terlalu dini untuk mengenal kata pernikahan." Jia menyandarkan tangannya di pundak Rose.

"Aku iri dengan Shella. Bagaimana bisa dia mendapatkan seorang Pria yang tampan? Aku juga ingin sepertinya."

"Dasar Anak ini... Berhentilah berkata yang tidak-tidak dan fokus pada agenda pembelajaran mu Rose. Jika kau sudah dewasa Ibu akan mencarikan Pria yang paling tampan hanya untuk mu."

"Tetapi aku menyukainya Pria milik Shella Ibu..."

"Ya ampun... Baiklah... Kau bisa memilikinya jika Shella yang memberikannya kepadamu."

"Bagaimana caranya agar dia memberikannya kepada ku?" Rose menatap ibunya dengan serius.

"Cinta. Buatlah seseorang yang kau sukai mencintaimu dengan begitu semuanya akan berjalan mudah."

"Benarkah?"

"Tentu... Itulah yang Ibu lakukan hingga akhirnya berada di titik ini sekarang."

Walaupun Rose tidak terlalu mengenal ibunya tetapi ia bisa memahami seperti apa sosok ibu dalam diri Jia selama ini. Tidak pantang menyerahnya walau dihadang jurang sekalipun untuk mendapatkan keinginannya. Apa hal seperti itu mampu untuk Rose lakukan?

"Maksud Ibu aku harus merenggut Pria itu dari kak Shella apa pun caranya?"

"Kau pintar Rose seperti Ibu."

"Tapi Ibu... Bagaimana caranya... Membuat Pria jatuh cinta?"

Jia menangkup wajah Rose. "Untuk saat ini lebih baik kau fokus belajar. Jika kau tidak menuruti Ibu... Kau bisa dalam masalah Rose sayang. Pergilah dan belajar sekarang."

"Baiklah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status