Share

Bab 7 Pernikahan

Tidak ada yang mampu membuka suaranya setelah apa yang telah dikatakan Shella. Baik itu pihak keluarga maupun Jia.

Setelah suasana sesuai seperti harapan ku. Aku berpikir tentang harta peninggalan ayah yang akan aku terima ketika menikah nantinya. Membayangkan dengan harta peninggalan ayah aku bisa hidup dengan bahagia membuat ku merasa lebih baik.

"Kau? Kau melanggar peraturan keluarga kita Shella," ucap Jia. Sejujurnya ia tidak tahu harus merespon seperti apa? Tetapi yang pasti perbuatan Shella telah menyalahi peraturan keluarga mereka dan itu tidak bisa dibiarkan.

"Lalu? Apa aku telah melakukan kejahatan?" balasku.

Jia berdiri dan menghampiri Shella. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Shella? Bagaimana bisa kau begitu tidak tahu malu? Sebagai Ibumu aku akan memberikan sebuah saran, walaupun semuanya sudah terlanjur terjadi... Kau dan Pria pilihanmu ini... Kalian tidak bisa menikah!"

"Apa? Kau pikir siapa dirimu berani mengaturku?" Aku berdiri dan dengan berani menatapnya. "Apa beberapa tahun ini aku kurang baik kepadamu? Aku telah menghidupi keluarga ini layaknya kepala keluarga menggantikan peran Ayah yang seharusnya jadi tanggung jawabmu? Lalu kali ini apa? Kau melindungi nama baik keluarga kita yang bahkan tidak pernah kau urus? Bercerminlah Jia... Kau pun bukan Wanita sesuci itu."

Plak!

Untuk kedua kalinya wajahku kembali mendapatkan tamparan dari ibu tiriku dan untuk kali ini aku tidak merasa terkejut ataupun sedih seperti sebelumnya. Dengan berani aku menatap tajam pada Jia. "Aku tidak peduli kau ataupun keluarga sialan ini peduli atau tidak terhadapku. Tetapi satu yang pasti, aku... Akan melaksanakan pernikahanku dengan Max tanpa seizin siapa pun."

Aku memilih pergi dari rumah bersama dengan Max.

"Jika kau bersikeras seperti itu. Maka harta yang seharusnya menjadi milikmu akan di alihkan untuk keluarga kita. Maka pilihan lah.... Shella..." Ini adalah ancaman terakhir yang mampu Jia layangkan dan jika Shella tetap menolak karena ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menerimanya dengan lapang dada jika Shella tetap bersikeras pada pilihannya.

Kaki ku sempat terpaku dan pikiranku mulai beradu. Bagaimana aku bisa mengambil keputusan untuk saat ini?

Max menundukkan kepalanya dan berbisik di daun telinga Shella. "Berpikirlah dengan jernih Shella. Kembali dan renungkan hal ini dengan keluargamu."

Aku mendongak ke arah Max. Kedua mataku tersihir oleh paras rupawan Max. Entah mengapa aku tidak bisa menyatakan apa keinginanku dan terus memandangi Max.

"Shella... Kau mendengarku?"

"Ah... Iya... Tidak!"

"Mengapa tidak? Walaupun kita telah melakukan kesepakatan tetapi aku pikir ini cukup beresiko untukmu."

Tentu jelas ini cukup beresiko. Mana mungkin aku rela memberikan harta yang diwariskan Ayah untuk ku jatuh ke tangan orang lain begitu saja karena seorang pria yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya. Namun jika aku berpikir lebih panjang mungkin keputusanku akan berakhir sama pada akhirnya.

"Baiklah..." Aku membalikkan badan ke arah mereka. "Aku... Dengan tegas menyatakan bahwa aku tidak peduli dengan harta itu. Daripada hidup dengan keluarga yang tidak pernah menganggap ku keluarga lebih baik aku hidup tanpa itu. Jadi Ibuku yang cantik... Kau bisa menguasai harta peninggalan Ayah sepenuhnya begitupun dengan kalian semua."

Jia menatap penuh ketidakpahaman dengan perkataan Shella sebelum pergi, ia hanya tidak menyangka jika Shella lebih memilih pria daripada harta peninggalan ayahnya. Namun ia tidak memperdulikannya karena harta yang telah lama diimpikannya dapat digenggam olehnya.

Di Halaman

Sejak tadi Shella tidak kunjung melepaskan genggaman tangannya pada Max. Awalnya ia memahaminya namun sepertinya ini cukup berlebihan. "Sampai kapan kau akan terus mengengam tanganku?"

Aku tidak menyadarinya jika sejak tadi aku tidak melepaskan genggamanku pada Max. Sontak aku melepasnya dengan sedikit malu. "Maaf... Aku sungguh... Minta maaf..."

Max membukakan pintu mobil untuk Shella. "Masuklah dan berikan kunci mobilnya kepadaku biarkan aku yang mengemudi."

Aku menurutinya dan masuk ke mobil.

Di Mobil

Hanya suasana hening yang meliputi keduanya. Tidak ada terbesit untuk memecah keheningan dari Shella maupun Max. Akan tetapi sesuatu mulai mengganggu untuk Max sehingga ia pun memberhentikan mobil yang dikemudikan dan menatap Shella. "Kau ingin kembali ke rumahmu?" tawar Max. Sebenernya ada setitik rasa bersalah karena melibatkan Shella dalam masalahnya hingga menghancurkan kebahagiaan wanita itu.

Aku tidak menjawab maupun berpaling pada Max karena aku tidak bisa melakukannya.

Tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya Max mencekam kedua bahu Shella untuk menatapnya. "Jawab aku... Shella."

"Aku sudah menjawab semuanya."

"Mengapa kau berbohong?"

"Jika yang kau maksud berbohong karena kita tidur bersama aku minta maaf."

"Tidak bukan karena itu. Kau... Berbohong tentang hal lain. Aku tidak mengerti mengapa kau meninggalkan keluargamu demi kesepakatan bodoh ini?"

"Kau berpikir ini kesepakatan bodoh? Tetapi aku lebih memilih kesempatan yang kau pikir bodoh ini daripada harus menjadi mesin uang untuk keluarga yang tidak pernah menganggapku."

Max melepaskan cekaman tangannya di bahu Shella. "Berpikirlah sekali lagi sebelum semuanya terlambat. Apa kau lebih memilih kesepakatan kita atau justru kembali pada keluargamu?"

"Aku sudah menjawabnya."

Max menghidupkan kembali mobil. "Baiklah aku harap kau tidak menyesalinya."

Di Sebuah Gedung

Seperti pernyataanku sebelumnya kini aku dan Max telah berdiri seperti seorang pengantin. Banyak orang menyatakan keterkejutannya atas acara pernikahanku yang mendadak, terutama teman-teman kerja ku. Akan tetapi aku tidak peduli dan tetap berdiri tegak di tengah-tengah terka mereka.

"Kau sudah mengantarkan kartu undangan untuk Elisa?" tanyaku pada Max karena sejak tadi aku tidak melihat kedatangannya.

"Aku pikir Elisa tidak akan datang."

"Mengapa? Apa kau mengatakan hal yang membuatnya terpuruk?"

"Tidak."

Sebelumnya Max justru sempat beradu mulut dengan Elisa ketika mengantarkan kartu undangan. Saat itu ia hanya penasaran apa yang telah Elisa lakukan pada pakaian putih bernoda darah yang dikirimkannya ke rumah Gael waktu itu. Tentu Max sangat ingin tahu apa yang terjadi pada Yona yang selalu memakai pakaian itu sewaktu dahulu. Yona adalah wanita yang saat itu tengah menjalani kedekatan dengan Max namun tiba-tiba saja Yona hilang tanpa kabar. Hingga akhirnya malam itu di rumah Gael ia mendapati kotak kado berisi pakaian Yona yang dikenakannya terakhir kali sebelum menghilang.

Tetapi justru sebaliknya, Max tidak mendapat jawaban atas pertanyaan tentang Yona pada Elisa. Karena lelah dan marah dengan teror Elisa saat itu, ia mengeluarkan perkataan jika alasan pernikahannya karena mereka telah menghabiskan malam bersama. Setelah itu Elisa tiba-tiba menutup pintu.

Max tidak tahu apa Elisa akan berhenti jika dia mengatakan hal seperti itu. "Aku harap kau pergi selamanya..."

Para tamu undangan tampak ricuh sesaat kedatangan seorang wanita yang begitu memesona di acara pernikahan Max dan Shella. Wanita berkulit putih dengan dress selutut berwarna putih tersebut berjalan ke arah pengantin.

Elisa menyunggingkan senyum dan memeluk Shella. "Menurutku kau sangat cantik jika mengenakan gaun merah pekat." Ia kemudian melepaskan pelukannya dan beralih ke Max dan menatap Max begitu dalam sebelum akhirnya memeluk Max. "Seharusnya aku yang berada di sini Max."

"Lepaskan dan pergilah selamanya dari hidupku Elisa," bisik Max di sela-sela pelukannya dengan Elisa.

Seraya melepaskan pelukannya kedua tangan Elisa berpindah melingkar di pinggang Max. "Aku tidak bisa melepaskan mu dan tidak akan pernah pergi jika bukan kehendak ku sendiri! Max... Kau akan merasakan berkali-kali lipat penderitaan yang selama ini aku hadapi demi menunggumu kembali." Setelah mengatakan itu Elisa pergi dari pernikahan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status