"Wanita inilah kelak yang akan menjadi calon istri Presdir di masa mendatang."Pemikiran yang datang secara tiba-tiba tersebut, ibarat sebuah gemuruh yang terbungkus lapisan tipis tanah, yang siap menyembur keluar hanya dengan satu hentakan kaki.Terlebih lagi, dengan saksi mata hidup yang kini terperangah dan jelas menunjukkan sisi antusias tinggi, untuk sosok yang baru saja melintas di depan mata keduanya.Namun, mengingat apa yang menjadi topik utama dan siapa pemerannya, seberapa besar dentuman dan getaran dalam pikiran tersebut, akankah keduanya berani membuka bibir serta berkicau.Para penjaga yang berdiri di depan pintu masih termangu, bahkan setelah tubuh langsing Angel menghilang di balik balik pintu lift gedung, serta berganti menjadi sosok keduanya lah yang berada di bawah tatapan Handoko serta Anggara, satu diantara keduanya masih menatap lekat kearah menghilangnya punggung Angel, melalui kaca bening tembus pandang gedung tersebut.
Baik wajah Handoko maupun Anggara terlihat semakin suram. Penjaga lain yang berada di samping Agung bahkan, juga ikut berkeringat dingin hanya dengan mendengar beberapa pertanyaan barusan."Datang keruangan saya." Handoko."Jeblaaar..." Seperti sebuah sambaran petir di siang hari, serta-merta meluluhkan ketegapan tubuh Agung secara langsung."Pak...pak, maafkan saya." Ucap Agung dengan suara tergagap.Dirga yang berada di sampingnya juga menjadi lemas kaki. Bagaimanapun, dirinya juga berada di tempat yang sama serta melakukan apa yang di kerjakan oleh temannya tersebut.Akan tetapi, karena Dirga tidak menerima pukulan kunci mobil, atau bisa di katakan mata buruk sedang tidak mengincarnya, maka kesialan hanya menyambangi sosok agung.Tapi, bukan berarti Dirga tidak ketakutan juga, hanya dengan mendengar serta menyaksikan teguran untuk Agung, kedua kaki itu hampir saja limpung seperti daging tak bertulang.Ada ap
Langkah Anggara terjeda sejenak ketika mendengar sapaan tersebut. Dalam hati ia merasa lucu dan sedikit terusik akibat sikap dari sekertaris pribadinya ini."Baagus." Jawabnya ringan, dengan senyum sinis tercetak sekilas di bibir."Huh...apa maksudnya itu?." Angel bergidik melihat sikap Anggara barusan.Sebuah kalimat singkat meluncur datar dengan arti yang baik.Akan tetapi, entah mengapa ia justru merasa di balik pujian kata "bagus" dibibir sang atasan, seolah benda tajam tengah di tekan kuat di balik punggung.Angel berusaha menutupi rasa tak nyaman dalam hati dan berpikir positif. Meskipun bahasa dan tindakan di sana menggaruk hati serta membangkitkan rasa cemas, wajah cantiknya tetap di tampilkan dengan kelembutan senyum.Sementara, Handoko yang jauh lebih mengenal Anggara tetap diam tak bergeming.Baginya, meski tindakan pencegahan Angel masih bisa dimaklumi, namun di hadapan Anggara ia juga tak bisa memihak kepada wanita tersebut.Jika tid
Sementara di sisi lain, Agung yang tidak mendapatkan respon baik sinyal SOS nya, hanya bisa pasrah dan menghela nafas."Maaf mbak Heny, saya harus segera menghadap pak Handoko." Ucapnya kuyu setelah menoleh sejenak ke arah sosok Heny yang masih setia menatap dengan penuh perhatian.Tentu saja pria tersebut memahami serta menangkap perhatian khusus dari wanita itu. Namun, dalam situasi serta suasana hati Agung sekarang, perhatian dan kehadiran Heny tidak akan dapat membantu sama sekali.Sebab badai yang sedang di hadapi atau lebih tepatnya akan segera menimpanya beberapa saat lagi, sungguh mengambil seluruh ruang pikiran.Bagaimana mungkin, ada waktu serta tenaga untuk memperdulikan sebuah perasaan sentimentil dari sosok di balik punggungnya saat ini. Tubuh gagah Agung yang tampak tegas pada hari-hari biasanya, kini terlihat tidak memiliki aura semangat. Sosok heroik di pagi hari tadi seakan tak pernah ada pada dirinya, ketika menuju
"Baik pak." Sahut Angel lagi, dan segera menutup telepon"Thok...Thok...Thok..." Suara khas bergema dari hentakan punggung jari Angel, menyapa daun pintu ruangan."Permisi pak." Angel melangkah masuk kedalam ruangan Anggara, tanpa menunggu sosok di dalam sana menyahuti apa yang dia ucapkan.Setelah masuk, wanita tersebut berdiri tak jauh dari meja Anggara, namun sedikit lebih condong ke sisi kiri bagian depan meja.Dengan posisi meja kerja Presdir, yang menghadap kearah cendela kaca besar di sisi kiri gedung, tubuh Angel hampir sejajar dengan tubuh samping Anggara yang terfokus pada layar laptop.Menyadari di mana tubuh Angel berdiri dan tidak lagi bergerak maju, entah mengapa ada rasa kesal dalam hati kecilnya.Anggara merasa bahwa wanita yang belum genap sebulan menjadi sekertaris nya ini, sungguh kurang pengetahuan serta pengalaman. Dan tentu saja, pengalaman yang di maksud adalah sesuai dengan kriterianya
Apa kau akan mati jika berdiri di depanku." Anggara mendengus ringan, sebagai pernyataan bahwa wanita ini selain kurang dalam pengetahuan juga "limit" dalam hal pemahaman."Haah?." Kerutan di kening Angel kian menebal, jelas ia datang dengan segera dan langsung berada di sana, begitu selesai meletakkan gagang telepon.Mengetuk pintu sebelum masuk sebagai kesopanan, dan berdiri tegap di depan meja sang Presdir langsung tanpa membuang waktu. Meskipun, posisinya memang agak sedikit condong ke sisi samping, dan tidak benar-benar tepat di depan pria tersebut. Lalu apa masalahnya?, dari sisi pintu masuk ruangan dan tata letak meja kerja Anggara, posisi Angel sudah dapat di katakan berada pada tempat yang benar.Namun, ketika mengingat siapa dan bagaimana penjelasan Handoko tentang Anggara, dalam sekilas detik kemudian dia mengerti apa yang di maksud kesalahan dalam bahasa pria tersebut."Maaf." Ucapnya singkat, sembari berjalan beberapa langka
"Harus kuat..harus!.""Tik..tik..tik..tik..." Karena suasana yang sunyi serta kidmat pada ruangan, dentingan detik di sana pun terdengar nyaring.Angel yang telah lama berdiri dengan kebisuan bibir, sesekali menghentakkan kelopak mata berusaha tetap fokus dan terjaga.Entah itu kelebihan yang patut di syukuri, atau sebuah kekurangan yang harus di tutupi, setiap kali hati dan pikiran Angel sedang kesal dan terganggu, wanita tersebut akan cepat merasa lapar dan mengantuk. Dan untuk kasusnya saat ini, rasa rindu buaian pulau kapuk tercinta yang paling sulit di tahan.Hal tersebut dapat di maklumi, karena selain kekesalan hati sebagai pemicu, berdiam diri dalam keheningan dan tidak melakukan apapun juga bisa membuatnya merasa mengantuk.Di tambah, semalam perjalan Angel menuju dan mencari Apartemen Anggara juga telah menyita waktu, wanita itu juga harus menjaga serta mengompres sang presdir hingga hampir fajar, dan itu benar-benar menyita banyak waktu istirahatnya.Akibatnya, meski ia be
"Pak...Saya......"Apa yang harus di katakan untuk pertanyaan tersebut?, Agung terjebak serta merasa seperti sedang meminang buah simalakama."Saya..." Bahkan setelah beberapa saat di tunggu, yang keluar dari bibir itu masih sulit di mengerti."Saya?."Handoko mengulang kalimat pendek Agung, dengan sedikit tarikan kecil di ujung kiri sudut bibir.Sebuah senyuman, yang tidak menyampaikan makna kebaikan senyum itu sendiri.Mendengar kalimat yang sama, nada yan sama, serta pengucapan yang hampir serupa tersebut, justru terdengar menakutkan dalam pendengaran Agung.Baginya salinan kalimat itu, lebih mirip dengan tambahan beban yang kian menindih ubun-ubun, akibat rasa takut yang semakin besar. Haruskah ia berkata bahwa dirinya teledor dan tidak profesional dalam tugas?. Jika itu di ucapkan, berarti dirinya tidak cukup cakap untuk pekerjaannya sekarang, dan itu berarti Agung harus rela berhenti.Jika harus jujur