Tidak saling berbicara padahal, Disya dan Naya pamit ke luar ketika melihat Devan dan Samudra meninggalkan ruangan. Yang ada dipikiran Disya adalah, bagaimana jika ada adegan adu jotos—semua orang tahu hubungan Devan dan Samudra sama sekali tidak baik—bisa saja hal itu terjadi kan?Disya dan Naya mendengar semua obrolan keduanya, hal yang cukup mengejutkan adalah ketika Devan duduk bersimpuh di depan Samudra. Disya terkejut tentu saja, begitu pula dengan Naya yang langsung menghampirinya, dan membantu Devan untuk berdiri.Hal itu baru pertama kali dilihat Disya. Mantan suaminya yang jelas begitu dihormati oleh banyak orang karena kekuasaannya—saat itu Disya lihat rela membuang jauh harga dirinya hanya untuk memohon kepada Samudra supaya mengurungkan niatnya menikahi Naya.Disya tidak melakukan apapun, ia hanya berdiri memperhatikan dan menyimak kejadian di depannya. Naya terlihat semangat sekali ketika merangkul lengan Samudra, dan membawanya ke hadapan Devan. Wajah gelisah dan ketaku
Disya menatap cincin—cincin pernikahannya dengan Devan. Tidak hanya cincin yang berada dibalik kotak beludru itu, tetapi lengkap dengan dua kalung berbandul crown yang dulu diberikan oleh Devan—kalung pertama diberikan kepada Disya ketika malam di mana pertama kalinya Disya mengetahui tentang apartemen milik Devan yang ditinggali oleh Naisya. Disya masih ingat, malam itu ia begitu yakin dan percaya kepada Devan, bahwa lelaki itu tidak bermain-main dengan perempuan lain.Benarkah dulu Disya terlalu bodoh, terlalu dibutakan oleh cinta?Kalung kedua berbandul crown yang diberikan kepada Disya harusnya menjadi bukti dan juga saksi pengungkapan cinta untuk pertama kalinya Devan kepada Disya—harusnya malam itu, malam yang sangat bahagia untuk keduanya. Tetapi, Disya malah mengetahui tentang semuanya. Mengeluarkan kalung kedua yang diberikan Devan dari dalam kotak itu. Tentu saja ada perbedaan dari kalung keduanya—kalung yang sudah berada di tangan Disya terdapat aksara sambung huruf ‘D’ te
“Kakinya terkilir lagi atau bagaimana? Mana yang sakit?” tanya Devan khawatir menatap Disya yang sudah ia dudukkan di sofa ruang tengah.“Yaampun Sya, bukannya hati-hati jalannya….” Sonia berujar khawatir, sedaritadi beberapa sepupu Devan membuntuti mereka hingga masuk ke dalam rumah.“Lagian lo mau ke mana sih, Sya… buru-buru amat jalannya?” tanya Dio yang sedari tadi menahan mati-matian tawanya agar tidak ke luar.Ekspresi wajah Dio berubah seketika ketika Devan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Berdehem pelan, lalu merubah mimik wajahnya—Dio akan ciut jika ditatap seperti itu oleh Devan.“Jika hanya ingin mengejek Disya dan tidak berniat mengobati mending kamu ke luar saja!”Dio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, mengangguk pelan menanggapi ucapan Devan.Devan kembali menatap Disya, melepaskan heels yang dipakai perempuan itu. “Mana saya lihat lukanya,” kata Devan menatap Disya yang sedari tadi tidak balas menatap maniknya—jelas sekali Disya menghindarinya.
“Saya berangkat ya?”Perempuan yang sedang duduk di samping ibunya mengangguk pelan sambil menampilkan senyum kecil, ketika lelaki itu sudah mendaratkan satu buah kecupan di keningnya. “Hati-hati.”Samudra mengangguk, menatap Disya lalu mengecup pipinya sembari mengacak pelan rambut Disya. Disya hanya diam sembari memanyunkan bibirnya. "Adegan itu kena peringatan harusnya! Bucin!" komentar Disya tentang kelakuan Samudra yang mencium kening Naya di hadapannya, juga Ibu dari mereka. Samudra menanggapinya dengan kekehan saja. “Abang berangkat ya, Sya.”“Iya, sana pergi!” titah Disya.Samudra terkekeh, mengedarkan senyumannya kepada semua orang yang ada di ruang tengah, setelah sebelumnya berpamitan pergi.Dina, Maya, Naya, juga Disya sedang berada di kediaman rumah Gina—sudah dikatakan sebelumnya bukan, hubungan kedua keluarga sudah kembali membaik, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Rencananya mereka akan pergi survey untuk memilih venue tempat berlangsungnya acara pernikahan Samu
Kai terus menatap ke arah Devan yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya. Merasa diperhatikan membuat lelaki yang sedang memegang kemudi itu menatap ke arah putranya. “Kenapa, Prince?” tanyanya.Tidak langsung menjawab pertanyaan sang Daddy, untuk beberapa detik Kai masih menatap wajah Devan tetapi setelahnya menggeleng pelan.“Mau ke rumah Oma Maya dulu, sebelum nanti dijemput Mommy?” tanya Devan, menatap putranya untuk beberapa detik, lalu setelahnya kembali fokus dengan kemudinya menatap ke depan, memperhatikan jalanan.“Daddy mau ke kantor lagi memangnya?”Menggeleng, Devan menjawab, “Tidak—eh, Daddy baru ingat Oma Maya pergi sama Aunty Nay, Oma Dina, Oma Gina juga,” jelas Devan ketika ia baru mengingat Maya, dan Naya tidak ada di rumah saat ini.“Ke rumah kita saja, Dad.”Devan menampilkan senyum, lalu mengangguk pelan. “Kai di rumah dulu sebelum dijemput Mommy, ya.”Bocah itu menggeleng, yang jelas membuat Edgar mengernyit bingung. “Aku menginap di rumah,” katanya.Ad
Membuka pintu kamarnya, Devan terlihat menghela napas sembari bersandar pada pintu kamar yang sudah kembali ditutup rapat. Menatap ke sekeliling kamar—semua tentang Disya sudah tidak ada, semua barang yan bersangkutan dengan Disya sudah lelaki itu singkirkan dari kamarnya.Devan baru kembali ke kamar setelah sebelumnya menemani Kai hingga tertidur di kamarnya sendiri.Tersenyum sumbang, Devan mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi. Merutuki dirinya sendiri dengan berbagai sumpah serapah.Sial! Semuanya semakin rumit saja.Tok!Tok!Tok!“Pak Devan?”Suara ketukan di pintu kamar, juga suara panggilan dari perempuan yang memanggilnya, membuat Devan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang dipunggunginya—Disya sudah ada di depannya sekarang, menatapnya dengan kening yang mengernyit setelah pintu dibuka.“Pak Devan cuman baca chat Disya, ngga balas?”Membasahi bibirnya yang dirasa kering, Devan mengangguk pelan. Saat men
Disya tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa murid yang berjalan menuju ke arah gerbang untuk pulang, dijemput oleh orang tua ataupun supir mereka. Ini sudah jam pulang sekolah, tentu saja keberadaan Disya di sini untuk menjemput Kai—sekedar informasi saja, perempuan itu sudah standby dari setengah jam sebelum bel pulang berbunyi, hanya untuk memastikan bahwa kejadian kemarin tidak terulang lagi. Dari banyaknya murid, manik Disya mencari sosok putranya, bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Kai. Senyum merekah ia tunjukkan ketika maniknya melihat putranya sedang berjalan sendiri dengan wajah yang terlihat sangat lesu dan lelah. “Kai,” sapa Disya, melambaikan tangannya dengan kedua kaki yang sudah melangkah menghampiri putranya sembari tersenyum sumringah. Kai menatap kehadiran Disya, bahkan langkah kakinya terhenti karena sapaan Disya. “Sayang, capek ya?” tanya Disya saat ia sudah berdiri di depan Kai, bahkan perempuan itu sudah mengusap pelan rambut K
Disya semakin mengeratkan genggaman tangannya dengan Kai ketika menyadari banyak karyawan yang memperhatikannya. Menampilkan senyum canggung ketika manik Disya bertemu dengan manik mata mereka. Disya berjalan beriringan dengan Kai, dan Devan, menaiki lift untuk menuju ke ruangan mantan suaminya. Sedikit bernapas lega ketika pintu lift sudah tertutup rapat. Disya tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi ditatap dengan penuh selidik, bahkan samar-samar ia mendengar beberapa karyawan berbicara tentangnya. Benar tidak ya keputusan Disya untuk ikut dengan Kai ke kantor mantan suaminya? “Mommy?” Kai memanggil, mendongak menatap Disya dengan kening mengeryit lalu bertanya, “Ada apa?” Mungkin bocah itu menyadari raut wajah Disya yang tidak baik, bahkan hanya diam sedari tadi. Disya segera menampilkan senyum manisnya menatap Kai, lalu menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan putranya. “Tidak papa, Kai.” Tadi, saat Devan menyuruh Disya untuk pulang dengan mobil taxi yang akan dipesank