“Akhir-akhir ini muka lo kusut banget, kalau sakit istirahat aja dah.” Alif menengok sekejap, lalu kembali fokus dengan kameranya, melihat beberapa hasil jepretan sebuah produk yang sedang dikerjakannya. Dio yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Alif membuatnya mendengkus kesal. Menutup laptopnya, lalu berdiri melangkah ke luar dari ruangan itu. “Makan di luar yu!” ajaknya tanpa menunggu jawaban dari Alif dulu sebelumnya. Memilih sebuah restoran padang yang berada tidak jauh dari studio mereka, hanya dipisahkan oleh tiga bangunan yang berada di samping kanan studio mereka. Dio dan Alif berjalan beriringan menuju tempat itu, tidak ada obrolan dari keduanya hingga sampai di sana. “Kenapa?” tanya Dio memulai obrolan. “Disya pergi, dia bahkan bilang sama gue buat berhenti cinta sama dia. Gue fine fine aja kok kalau harus nunggu, tapi Disya sendiri yang nyuruh gue buat berhenti nunggu.” Pada akhirnya Alif menceritakan kegundahan hatinya selama beberapa hari ini kepada Dio. Dio m
Menatap ke luar jendela mobil untuk melihat jalanan lalu lintas yang dipadati banyak pengendari roda empat maupun roda tiga, bahkan tidak sedikit kendaraan besar ikut serta memadati jalanan. Disya baru tiba di bandara beberapa menit yang lalu. Dijemput Kakak lelakinya—awalnya Disya juga heran kenapa Samudra mengabari jika dia yang akan menjemputnya di bandara, karena setahunya Kakaknya kini tinggal di Bandung setelah menikah. Bahkan ketika keberangkatannya ke Jogja hari itu merupakan keberangkatan Samudra dan Naya juga ke Bandung. Tidak terlalu banyak mengobrol di dalam mobil, wajah Samudra terlihat sangat lelah, bahkan suasana sangat hening di dalam mobil. Samudra yang fokus dengan kemudinya, dan Disya memilih untuk menatap ke luar jendela. Disya juga sadar diri ia telah membuat kesalahan dengan tidak menceritakan tentang alasannya pergi dari rumah dan memilih tinggal di Jogja bersama Nenek dan Kakeknya. Semalam ketika Bundanya menelepon, Bundanya hanya meminta Disya untuk datang
Saat sarapan pagi itu, Kai meminta ijin kepada Devan untuk ikut bersama Husein dan Maya mengunjungi kediaman Samudra dan Naya di Bandung. Tentu saja Devan memberi ijin, akhir-akhir ini Kai pasti kesepian sekali, tidak ada Disya juga Naya—walaupun banyak bertengkar dengan Naya, tetapi tetap saja Kai pasti merindukan Auntynya itu. Pukul lima sore mereka akan berangkat ke Bandung, menunggu Husein selesai dengan pekerjaannya—informasi itu yang Devan dapat, tetapi semuanya tidak sesuai rencana, butuh waktu lebih lama dari itu untuk menunggu Husein kembali ke rumah. Pada akhirnya tepat pukul delapan malam mereka baru memulai perjalanannya menuju ke Bandung. Devan awalnya juga menyarankan untuk besok pagi saja berangkatnya, tetapi sarannya tidak didengar dengan alasan jarak kota Bandung tidak sejauh itu dari kotanya. Mereka pergi mengendarai mobil yang dikendarai oleh Husein malam itu, lelaki paruh baya itu tidak membuat kesalahan saat mengemudi, tetapi takdir siapa yang tahu 'kan? Seb
"Wah! Disya lo benar-benar luar biasa! Bisa buat seseorang kaya Bang Devan jadi bucin banget gini," komentar Gio yang baru saja membuka pintu kamar kakak sepupunya.Kamar luas dengan nuansa monokrom, hampir semua furniture dan segala pernak-pernik di dalamnya berwarna gelap. Namun, siapapun yang memasuki kamar ini pasti matanya akan langsung tertarik untuk menatap beberapa boneka yang ada di atas kasur. Warnanya bermacam ada pink, biru, purple—tentu saja warna-warna cerah seperti itu akan terlihat menonjol.Gio menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekitar, namun kakinya kembali melangkah menuju pintu yang akan mengantarkannya ke dalam ruang kerja Devan. Lelaki itu ditugaskan oleh Devan untuk mengambil map berwarna merah maroon di meja kerjanya.Gio mengeluarkan handphonenya, memotret kamar Devan sambil terkekeh lucu. "Ini kalau gue sebar di media bakal geger nih, seorang Devan Zayn Ganendra ngoleksi boneka-boneka warna pink di kamarnya...." Setelah selesai dengan kegiatan memotretny
Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum
Wajahnya masih terlihat cantik seperti dulu, dengan netra berwarna coklat jernih, bibir tipis, dengan kedua pipi yang bulat—ingin rasanya Devan kembali membuat kedua pipi perempuan itu kembali bersemu merah, ingin sekali Devan mengelusnya lembut, mencubitnya dengan gemas."Aunty Nay mana?" tanya Maya saat melihat putra sulungnya berjalan menuruni tangga beriringan dengan Kai."Nanti menyusul katanya," jawab Kai yang langsung berjalan cepat dan duduk dipangkuan Disya."Kai sudah besar, Mommy keberatan itu kalau Kai duduk di pangkuannya," kata Maya menggelengkan kepalanya dengan terkekeh pelan."Mommy nanti mau pulang, aku mau meluk dulu Mommy sebelum Mommy pulang!" Kai melingkarkan tangannya di leher Disya, dengan tangan kanan yang masih memakan coklat yang belum juga habis sedari tadi."Padahal seharian penuh ini Kai sudah bersama Mommy kan?" tanya Maya menatap cucunya.Kai menampilkan cengirannya, dan malah semakin mengeratkan pelukannya.Devan ikut duduk di single sofa, menatap Samu
"Naya benaran mau balik lagi ke Lampung?" tanya Diky menatap Devan yang masih berkutat dengan laptop di depannya. Yang dibalas dengan anggukkan pelan dari lawan bicaranya."Kenapa?""Naya ngga bilang sama saya alasannya apa. Waktu saya tanya kenapa harus kembali ke Lampung dan jawaban dia 'hanya ingin' katanya."Diky mengernyit bingung. "Saya masih heran kenapa dengan tiba-tiba Naya membuat keputusan yang menggeparkan seluruh keluarga besar karena secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Nathan, dan memilih langsung pergi ke Lampung. Apa tidak curiga ada sesuatu hal?"Devan yang sedari tadi berkutat dengan laptop dan pekerjaannya bahkan sampai menghentikan kegiatannya mendengar perkataan Diky. "Maksudmu?""Ya... apa coba alasan Naya mutusin hubungannya dengan Nathan secara sepihak gitu? Bosan katanya? Kalau pun bosan atau ada lelaki lain yang membuat Naya jatuh cinta dan berani meninggalkan Nathan. Mana lelaki itu sekarang? Apa Naya pernah menjalin hubungan dengan seseorang setela
Langkah kakinya terhenti, menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu, beberapa orang terduduk di depan gundukan tanah basah. Suara isak tangis, juga suasana berduka menyelimuti keluarga itu. Dengan pelan, Devan melangkahkan kakinya menghampiri salah satu perempuan yang masih menangis dengan tangan yanga terus menggenggam tangan putranya."Daddy...." Kai, bocah itu orang pertama yang menyadari kehadiran Devan. Membuat atensi keluarga itu tertuju kepada Devan. Devan mengangguk pelan, menyapa mereka.Kai bangun dari duduknya mengulurkan tangan kepada Devan, yang langsung dibalas oleh lelaki itu. "Daddy, Aunty Ais sudah pergi," kata Kai dengan mata sembab, juga pipi yang basah karena menangis.Devan mengangguk, lalu beralih menatap perempuan yang kini juga menatapnya persis seperti Kai dengan mata merah dan kedua pipi basah karena menangis. Devan tahu, Disya pasti terluka dan bersedih karena kematian Kakaknya.Tangan kanan Devan yang bebas, terulur untuk mengusap kedua pipi Disya lembut