"Calon istriku adalah Emily. Dan asal Papa dan Mama tahu, dia nyaris celaka di kantorku malam ini.""Apa? Apa yang terjadi Arfan?"Papa memberiku isyarat untuk mengikutinya duduk di sofa ruang tengah. Sejenak, aku menatap Mama tajam. "Seseorang menerobos masuk ke kantor, Pa. Emily yang baru selesai lembur nyaris saja diperkosa kalau aku tak segera datang.""Ya Tuhan. Kasihan sekali anak itu. Apa dia tak apa-apa?""Dia shock. Emily gadis baik-baik, Pa. Dia sama sekali tak pernah mengenal lelaki sebelum aku.""Gadis baik-baik mana yang suka pulang larut malam?"Mama tiba-tiba saja memotong pembicaraan. Beliau duduk sambil menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. "Emily di kantor karena menyelesaikan pekerjaan. Dia karyawan yang bertanggung jawab. Lagi pula, belum terlalu larut. Tapi seseorang di balik semua ini sepertinya memang telah mengincarnya."Bicara begitu, aku tak melepaskan tatapan dari wajah Mama. "Apa kau menuduh Mama?""Sejak awal Mama tak suka padanya.""Meski begit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 24PoV EMILY"Apa?!"Suara Bang Arga yang berseru dari ruang depan membuat ponsel yang kupegang terjatuh. Sambil mendekap dada, aku memungut ponsel di atas lantai. Sejak malam itu, sedikit saja suara keras membuatku terkejut dan jantungku berdetak kencang. Aku berjalan ke depan, mengendap dan bersembunyi di balik hordeng pembatas ruang tengah. Mama sedang keluar membeli sesuatu, sementara Bang Arga masih izin kerja. Dia masih belum mau meninggalkanku."Tidak mungkin…"Suara Bang Arga lirih dan nyaris tak terdengar. Aku menajamkan telinga."Tidak mungkin Winda." Suaranya lirih.Winda? Aku mengerutkan kening. Rasa penasaran membuatku melangkah mendekat. Bang Arga berdiri membelakangi pintu, dan seseorang ada di hadapannya."Benar Mas. Lelaki itu sudah mengakui bahwa Winda yang menyuruhnya menyerang Nona Emily."Aku menekap mulut dengan keterkejutan luar biasa. Winda? Mana mungkin? Winda yang tengil, yang tak pernah tersinggung meski aku terus menyindirnya sebaga
"Emily sekalian konsultasi sama psikiater ya, Nak. Mama kangen suara tawa Emi."Di mobil, Mama membiarkan Bang Arga menyetir sendiri di depan karena Mama tak mau meninggalkanku. Di Sepanjang jalan Mama tak henti menggenggam tanganku. Setelah satu jam perjalanan, kami akhirnya tiba di rumah sakit jiwa Kurungan nyawa. Setelah memperkenalkan diri dan mengatakan tujuan kami datang kesini, petugas membawa kami menyusuri sebuah lorong panjang yang di kanan kiri nya ada pintu berderet-deret. Samar kudengar suara tangis, kadang tawa, bahkan nyanyian tak jelas dari sana. Aku bergidik.Di depan pintu sebuah kamar, petugas itu berhenti dan mengeluarkan serenceng kunci yang nampak berat. Dadaku berdebar kencang ketika pintu itu perlahan mengayun ke dalam, dan sosok seseorang yang amat kukenal menoleh. Matanya terbelalak menatap kami. Dan detik berikutnya, dia langsung lari menghambur ke dalam pelukan Bang Arga."Bang Arga! Huhuhu…"Dia menangis tersedu-sedu. Bang Arga bergeming, memeluk saja tid
ABANGKU SAKIT JIWA 25Sungguh, jika kutahu cinta sesakit ini, maka aku akan memililih tak pernah mencintai.Sesaat, pandangan mata kami bertemu. Aku segera menutup kaca jendela mobil sambil menggigit bibir. "Bang, ayo jalan."Bang Arga menatap sekilas dari kaca spion, lalu tanpa berkata-kata, dia langsung menekan gas dan mobil melaju. Dari kaca spion, dapat kulihat Pak Arfan menatap mobilku hingga dirinya tak terlihat lagi."Emily, bukankah Bos-mu itu tidak salah apa-apa? Kenapa kau seperti membencinya?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Mama."Secara tidak langsung, dia tak salah Ma. Tapi karena dia, mereka membenciku.""Mereka siapa? Mama nggak ngerti.""Pak Arfan sudah dijodohkan dengan seorang gadis. Dan gadis itu adalah Kakaknya Winda. Dia seorang selebgram dan bintang iklan. Dan, Ibunya Pak Arfan juga tak suka padaku karena kita tidak sekelas dengan mereka katanya.""Astaga. Memangnya mereka pikir ini zaman kolonial apa? Memangnya anak Mama orang miskin dan kelaparan? Kas
Mama langsung sibuk memasak, dan sebelum jam dua belas, kami bertiga sudah duduk menghadapi meja makan. Bang Arga menolak bergabung, sejak pulang tadi bahkan dia tak lagi keluar kamar. Kurasa Bang Arga terpukul oleh keadaan Winda tadi. Sementara Mama, selalu makan siang jam satu."Mamamu pinter masak, ini enak banget." Raya mencoel lagi gurame asam manis dan memindahkannya ke piringnya sendiri.""Ah, kamu mah semua makanan enak. Nggak ada yang nggak enak." Riana menertawainya"Itu namanya aku pandai bersyukur." Ujarnya cuek. Aku tersenyum melihat mereka makan dengan lahap. Kata Riana, Raya anak kost. Jadi wajar saja dia jarang ketemu makanan enak. Aku memandangi mereka berdua yang entah sejak kapan tampak akrab. Ah, seandainya aku jatuh cinta pada orang biasa saja, bukan bos yang memegang dan mengendalikan perusahaan sebesar itu, bukak keluarga Sultan yang banyak aturan, tentu rasanya akan lebih menenangkan. Tapi, bisakah aku memilih akan jatuh cinta pada siapa?Pak Arfan, apakah dia
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 26"Selamat pagi, Pak. Saya datang untuk mengajukan surat pengunduran diri. Semua tugas dan laporan keuangan terakhir sampai tiga hari yang lalu sudah selesai dan ada di file komputer di meja saya, Pak. Nanti akan saya minta Riana mengirimkannya ke email Bapak.""Emily…"Aku meletakkan amplop itu di atas meja, berusaha tak memandang matanya. Aku takut, jika dia melihat mataku, maka cinta itu akan terlihat jelas. Sungguh memalukannya. Dia hanya menganggapku pacar pura-pura, tapi aku menganggapnya serius. Dia memang pernah membuat hatiku berbunga-bunga, tapi itu ternyata hanya bagian dari akting saja. Buktinya, setelah malam itu berlalu, dia pergi begitu saja usai mengucapkan kalimat yang terus membuatku galau hingga tak nafsu makan berhari-hari lamanya. Oh, sungguh tak adil. Dia mempermainkan perasaanku. Tapi apa yang bisa ku lakukan? "Saya berterima kasih telah diberi kesempatan bergabung bersama perusahaan Bapak. Semoga kedepannya, PT. Nada Pratama semakin m
Aku melangkah dengan ringan, keluar dari kantor usai berpamitan pada semua orang yang ada di ruangan. Riana dengan lebaynya menangis tersedu-sedu padahal pintu rumahku terbuka dua puluh empat jam untuknya."Yah, tega kamu Em. Nggak ada yang seger-seger lagi dong." Seru Pak Amir, kepala lapangan yang kebetulan belum tugas luar hari ini.Aku tertawa, menunjuk Riana."Ada Riana. Dibawah juga ada Mbak Astri.""Ah, mereka berdua itu judes dan galak."Riana menjulurkan lidah. Dia menggamit tanganku, ikut mengantarku ke lantai bawah. Aku tahu, Diam-diam, Raya mengikuti kami dari belakang. Di bawah, aku berpamitan pada Mbak Astri dan dua orang OB yang menunggu begitu berita bahwa aku resign tersebar. Ada rasa sedih meninggalkan tempat ini. Para karyawan disini sudah seperti keluarga sendiri."Emi, kenapa sih kamu resign? Nggak betah ya disini?"Aku menggeleng. Sebelum sempat menjawab, Riana sudah mendahuluiku."Emi mau dipingit. Dia sebentar lagi nikah?"Dua pasang mata terbelalak. Astri dan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 27Ya Allah, apakah yang kulakukan selama ini salah? Aku hanya fokus pada Winda yang terus membuatku jengkel. Winda yang selalu meniru dan merebut barang-barang milikku. Aku tak mau berusaha mengenalnya lebih dekat. Aku tak ingin bertanya alasan dia melakukan semua itu.Berdiri di belakangnya, aku menatap rambut hitam lurusnya, yang entah kapan sudah dia potong juga persis seperti model rambutku. Warnanya kecoklatan, berkilau tertimpa cahaya matahari yang masuk dari sela daun-daun. Taman belakang rumah sakit adalah pohon-pohon yang rimbun. Mangga, rambutan, dan beberapa barang jambu air. Tempat ini teduh dan sejuk. Menatapnya seperti ini, aku seperti memandang diriku sendiri.Winda menunduk, meletakkan semut itu di atas rumput, menatap hewan kecil itu berlari. Dia tersenyum."Jangan lupa kasih tahu rajamu ya semut!"Oh Tuhan, jika disini terus, Winda bisa benar-benar gila. Bagaimana Sang Mama bisa tega melakukan ini padanya?Winda berdiri, lalu tanpa sengaja m