Jaya bergeming mencerna ucapan, Tono. Tiba-tiba, seperti ada lampu diatas kepalanya saat Tono berbicara tentang ruko milik, Hanum."Kenapa cengar-cengir?" Tono menelisik wajah, Jaya."Ah, tidak. Tidak apa-apa," Jaya melebarkan senyum."Benerkan ucapan ane?" seloroh, Tono. Jaya hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya."Na ... Nina, buatin kopi buat temen, Abah." seru, Tono pada anaknya.Nina yang sedang memasukan mangga muda kedalam mulut, langsung beranjak mendengar perintah, Bapaknya.Pukul empat sore, Jaya memutuskan untuk pamit. Bersilaturahi kerumah teman memang banyak manfaatnya, salah satunya membuka jalan fikiran. Tanpa menunggu waktu, Jaya langsung melajukan kendaraan menuju ruko yang di keloka dengan, Hanum selama ini."Huh ... semoga uang belum di stor, dan belum turun barang." harap, Jaya sambil membuka helm.Tanggal tua, namun ruko Hanum masih ramai pengunjung, Jaya semakin tersenyum lebar membayangkan tumpukan lembaran uang didalam kasir.Sapa'an ramah terlihat dar
Pintu perlahan terbuka, Jaya menoleh, terlihat laki-laki muda berbadan kekar menggendong, Hamdan, sedang menatap heran kearah, Jaya."Siapa?" tanya laki-laki muda itu, sambil menatap lurus kearah Jaya.Jaya menatap lekat, sorot marah terpancar jelas di matanya."Lu yang siapa! Kenapa ada dirumah istri saya?" lantang suara laki-laki berusia 65 tahun itu. Nafasnya tersenggal, aliran darah mulai terasa menggolak-golak.Aissh, Kakek tua ini. Masih mengenal cemburu rupanya."Is-tri?" pemuda tampan itu menautkan alis, menatap tak percaya."Iya. Istri. Kenapa kok kaget?" Jaya petantrang-petentreng."Hella ... Hella!! Keluar kamu!!" teriak, Jaya dengan nafas memburu. Dipandangnya laki-laki dihadapannya dengan bengis."Oh, ya ampun. Mas sudah pulang?" Hella keluar dengan langkah tergesa menghampiri pintu."Siapa dia, hah! Kau selingkuh?" cecar Jaya dengan mata melotot.Hella menatap laki-laki tampan disampingnya, mengedipkan sebelah mata, lalu menoleh kearah Jaya dengan wajah riang dan senyum
"Awas kau tua bangka. Akan aku permalukan kau didepan teman-temanmu!" geram Hanum dengan wajah penuh dendam.***OfdJalan raya di pagi hari terlihat begitu padat. Kendaraan roda dua dan empat saling menyalip, untuk maju lebih dulu. Hanum sangat gusar, berkali berdecak kesal saat mendapati kemacetan yang membuat perjalannya menjadi lambat.Sepanjang perjalanan, otak Hanum terus berkerja, memikirkan cara mempermalukan suaminya."Awas kau tua bangka!!" geram Hanum.Perasaan begitu jengkel, berkali-kali menghubungi nomer Jaya, namun tidak aktiv sejak dari semalam.Pecundang itu, pasti saja takut. Tidak mau mendengar ocehan pahit dari Hanum.Hanum langsung menerobos masuk kedalam Pabrik setelah membayar ongkos ojek onlinenya. Vira berlari kecil, mengikuti langkah Ibunya yang sudah masuk ke dalam gerbang dengan langkah tergesa-gesa."Huhhh! Bikin malu saja sih!" gerutu Vira dengan wajah jengkel."Tidak masuk?" Hanum terlonjak saat mendengar ucapan, Markus."Iya, sepertinya begitu, Buk. Ini
Rissa mengikuti sorot, Bik Narti. Mata Rissa terbelalak melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari hadapannya."Bapak ..." lirih Rissa dengan tatapan tak percaya."Tuh kan, Dedek Hamdan." seru Dila kegirangan."Sssuutttttt!" Rissa menempelkan telunjuk dibibir. "Sebentar, sayang. Jangan teriak dulu ya, bisa?" Rissa menatap lekat manik, Dila, sambil memegang erat tangan kecilnya.Dila mengangguk lemas. "Iya, Mah."Satu troli belanjaan penuh oleh barang-barang dan sembako, Jaya dan Hella terlihat begitu akrab, layaknya keluarga bahagia. Rissa masih tertegun, otak mencerna apa yang sudah terjadi."Apa, Ibu menampung, Hella?" gumam Rissa dengan wajah kebingungan."Tapi aku tidak melihat, Ibu?" Rissa mengedarkan pandangan."Itu, Hella kan, Neng?" Bik Narti bersuara."Hem." balas Rissa, masih mengamati keadaan."Bibik lihat, Neneknya Dila?" tanya Rissa."Tidak lihat, dari tadi Bibik perhatikan cuma Hella sama Hamdan saja. Buk Hanum tidak kelihatan." jawab Bik Narti."Ah, mana mungkin ..." li
Hati Bagas makin berkedut, saat melihat pemandangan Indah, dari pantulan kaca sepionnya."Tankz, Mam. Sering-sering, ajak aku ke Mall." teriak Bagas dalam hati."Sudah?" tanya Bagas."Sudah, Bang. Eh ..." Rissa mendadak kikuk.Bagas tersenyum malu dibalik kaca helmnya. Pelan, dia menghembuskan nafas melalui mulut. Menghalau rasa grogi."Panggil, Abang saja, tidak masalah. Aku suka kok," ujar Bagas pelan."Eh, apa?" tanya Rissa."Bukan apa-apa," jawab Bagas sambil mengeratkan bibir, menahan tawa.Perlahan, kendaraan melaju, Bagas sengaja membawa motor sesantai mungkin. Demi bisa berlama-lamaan dengan, Rissa.Dasar kadal kamu, Gas. Bisa saja mencari kesempatan!"Ehm!" Bagas melonggarkan tenggorokan, membuka kaca helmnya. "Itu, tadi siapa?" tanya Bagas, memecahkan kesunyian."Yang mana?""Yang tadi kamu foto-foto." jawab Bagas. "Aku kok kaya pernah lihat, Mbah-Mbah itu yah." ujar Bagas berusaha mengingat-ingat."Oh, itu. Bukan siapa-siapa." balas Rissa dengan senyum tipis. Bagas yang mel
"Anak Mamah, cantik sekali." puji Rissa, setelah selesai merias wajah anaknya.Di pandangnya dari atas kebawah, depan ke belakang. Gadis manis dengan gaun berwarna biru panjang itu tersenyum malu-malu dengan pipi merah merona."Iya dong, anak siapa dulu." balas Dila dengan senyum manja."Anak, Mamah." balas Rissa dengan senyum lembut, mencium pipi Dila dengan gemas."Mah ....""Ehm?" Rissa menatap lekat mata bulat dihadapannya."Ayah datang kan, hari ini?" Dila menatap lugu, pancaran matanya menatap penuh harap.Rissa tertegun, tak mampu mengeluarkan suara."Ayah, dia datang kan, Mah?" Dila kembali bertanya. Rissa segera menghapus air bening yang menetes tanpa permisi, menghirup nafas panjang, lalu menatap Dila dengan lembut."Dila sabar ya. Kerja Ayah sangat jauh. Jadi susah, untuk pulang." jawab Rissa dengan suara pelan."Yahhh ..." Dila merunduk kecewa.Rissa berdebar perih, sekuat tenaga berusaha tegar. Walau bagaimana pun, pertanyaan ini akan selalu terlontar dari bibir mungil an
"Ibu ...?" lirih Rudi dengan hati gamang. Terlihat Hanum sedang duduk dibalik dinding kaca menunggu kedatangannya. Rudi tertegun ditempat, perasaan mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Buk," sapa Rudi sambil menarik kursi yang ada dihadapan, Hanum."Rud ..." mata Hanum sudah berkaca-kaca, raut lelah tergambar jelas diwajahnya.Rudi terdiam, bingung hendak berkata apa. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, dia merasa gagal melindungi keluarga."Ibu ingin melaporkan, Bapakmu ..." lirih Hanum disertai isak tangis. Rudi tertegun, nafas panjang keluar dari mulutnya."Kenapa?" tanya Rudi lemas."Ibu tidak Ridho, uang ruko di pakai Bapakmu untuk bersenang-senang dengan gundiknya!" geram Hanum dengan suara penuh amarah.Rudi tertunduk, rasa bersalah semakin dalam dia rasakan."Bapakmu tidak kasihan sama, Ibu, Rud. Sudah selingkuh, uang ruko di ambil juga. Huhu ..." adu Hanum sambil sesegukan.Rudi biarkan, Ibunya menangis. Hati ikut menjerit, melihat Hanum yang begitu menyedihkan."Ibu kes
Jaya menggeram kesal, hati mengutuk keras perbuatan, Hanum yang sangat mempermalukan harga dirinya."Awas kamu, Num!!" geram Jaya dengan gigi bergelutuk.Didalam mobil, Jaya mengeluarkan gawai. Membuka blokiran Hanum, dan menghubunginya.Namun sialnya, Hanum tidak merespon. Membiarkan panggilan, tanpa ingin menjawab penggilan dari Jaya."Ah, sial! Maunya apa sih." gerutu Jaya dengan hati memanas. "Sudah gila si, Hanum. Bener-bener brengsek!" geram Jaya penuh amarah.Sesampainya di kantor, Jaya langsung digiring menuju ruangan introgasi. Hati sudah mulai gelisah, membayangkan akan kembali menginap di penjara."Kurang ajar si, Hanum!" rutuk Jaya, kesal."Bapak tidak bisa main tangkap saja dong. Kalau tidak ada bukti, mana bisa saya di tahan!" gerutu Jaya, saat Polisi masuk kedalam ruangan."Apa Hanum ada bukti nyata, kalau saya mengambil uang disana? Kok main tangkap saja. Ini sih, namanya pencemaran nama baik!" tukas Jaya tak habis pikir."Bisa-bisanya Polisi ceroboh hendak menangkap o