Rissa mengikuti sorot, Bik Narti. Mata Rissa terbelalak melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari hadapannya."Bapak ..." lirih Rissa dengan tatapan tak percaya."Tuh kan, Dedek Hamdan." seru Dila kegirangan."Sssuutttttt!" Rissa menempelkan telunjuk dibibir. "Sebentar, sayang. Jangan teriak dulu ya, bisa?" Rissa menatap lekat manik, Dila, sambil memegang erat tangan kecilnya.Dila mengangguk lemas. "Iya, Mah."Satu troli belanjaan penuh oleh barang-barang dan sembako, Jaya dan Hella terlihat begitu akrab, layaknya keluarga bahagia. Rissa masih tertegun, otak mencerna apa yang sudah terjadi."Apa, Ibu menampung, Hella?" gumam Rissa dengan wajah kebingungan."Tapi aku tidak melihat, Ibu?" Rissa mengedarkan pandangan."Itu, Hella kan, Neng?" Bik Narti bersuara."Hem." balas Rissa, masih mengamati keadaan."Bibik lihat, Neneknya Dila?" tanya Rissa."Tidak lihat, dari tadi Bibik perhatikan cuma Hella sama Hamdan saja. Buk Hanum tidak kelihatan." jawab Bik Narti."Ah, mana mungkin ..." li
Hati Bagas makin berkedut, saat melihat pemandangan Indah, dari pantulan kaca sepionnya."Tankz, Mam. Sering-sering, ajak aku ke Mall." teriak Bagas dalam hati."Sudah?" tanya Bagas."Sudah, Bang. Eh ..." Rissa mendadak kikuk.Bagas tersenyum malu dibalik kaca helmnya. Pelan, dia menghembuskan nafas melalui mulut. Menghalau rasa grogi."Panggil, Abang saja, tidak masalah. Aku suka kok," ujar Bagas pelan."Eh, apa?" tanya Rissa."Bukan apa-apa," jawab Bagas sambil mengeratkan bibir, menahan tawa.Perlahan, kendaraan melaju, Bagas sengaja membawa motor sesantai mungkin. Demi bisa berlama-lamaan dengan, Rissa.Dasar kadal kamu, Gas. Bisa saja mencari kesempatan!"Ehm!" Bagas melonggarkan tenggorokan, membuka kaca helmnya. "Itu, tadi siapa?" tanya Bagas, memecahkan kesunyian."Yang mana?""Yang tadi kamu foto-foto." jawab Bagas. "Aku kok kaya pernah lihat, Mbah-Mbah itu yah." ujar Bagas berusaha mengingat-ingat."Oh, itu. Bukan siapa-siapa." balas Rissa dengan senyum tipis. Bagas yang mel
"Anak Mamah, cantik sekali." puji Rissa, setelah selesai merias wajah anaknya.Di pandangnya dari atas kebawah, depan ke belakang. Gadis manis dengan gaun berwarna biru panjang itu tersenyum malu-malu dengan pipi merah merona."Iya dong, anak siapa dulu." balas Dila dengan senyum manja."Anak, Mamah." balas Rissa dengan senyum lembut, mencium pipi Dila dengan gemas."Mah ....""Ehm?" Rissa menatap lekat mata bulat dihadapannya."Ayah datang kan, hari ini?" Dila menatap lugu, pancaran matanya menatap penuh harap.Rissa tertegun, tak mampu mengeluarkan suara."Ayah, dia datang kan, Mah?" Dila kembali bertanya. Rissa segera menghapus air bening yang menetes tanpa permisi, menghirup nafas panjang, lalu menatap Dila dengan lembut."Dila sabar ya. Kerja Ayah sangat jauh. Jadi susah, untuk pulang." jawab Rissa dengan suara pelan."Yahhh ..." Dila merunduk kecewa.Rissa berdebar perih, sekuat tenaga berusaha tegar. Walau bagaimana pun, pertanyaan ini akan selalu terlontar dari bibir mungil an
"Ibu ...?" lirih Rudi dengan hati gamang. Terlihat Hanum sedang duduk dibalik dinding kaca menunggu kedatangannya. Rudi tertegun ditempat, perasaan mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Buk," sapa Rudi sambil menarik kursi yang ada dihadapan, Hanum."Rud ..." mata Hanum sudah berkaca-kaca, raut lelah tergambar jelas diwajahnya.Rudi terdiam, bingung hendak berkata apa. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, dia merasa gagal melindungi keluarga."Ibu ingin melaporkan, Bapakmu ..." lirih Hanum disertai isak tangis. Rudi tertegun, nafas panjang keluar dari mulutnya."Kenapa?" tanya Rudi lemas."Ibu tidak Ridho, uang ruko di pakai Bapakmu untuk bersenang-senang dengan gundiknya!" geram Hanum dengan suara penuh amarah.Rudi tertunduk, rasa bersalah semakin dalam dia rasakan."Bapakmu tidak kasihan sama, Ibu, Rud. Sudah selingkuh, uang ruko di ambil juga. Huhu ..." adu Hanum sambil sesegukan.Rudi biarkan, Ibunya menangis. Hati ikut menjerit, melihat Hanum yang begitu menyedihkan."Ibu kes
Jaya menggeram kesal, hati mengutuk keras perbuatan, Hanum yang sangat mempermalukan harga dirinya."Awas kamu, Num!!" geram Jaya dengan gigi bergelutuk.Didalam mobil, Jaya mengeluarkan gawai. Membuka blokiran Hanum, dan menghubunginya.Namun sialnya, Hanum tidak merespon. Membiarkan panggilan, tanpa ingin menjawab penggilan dari Jaya."Ah, sial! Maunya apa sih." gerutu Jaya dengan hati memanas. "Sudah gila si, Hanum. Bener-bener brengsek!" geram Jaya penuh amarah.Sesampainya di kantor, Jaya langsung digiring menuju ruangan introgasi. Hati sudah mulai gelisah, membayangkan akan kembali menginap di penjara."Kurang ajar si, Hanum!" rutuk Jaya, kesal."Bapak tidak bisa main tangkap saja dong. Kalau tidak ada bukti, mana bisa saya di tahan!" gerutu Jaya, saat Polisi masuk kedalam ruangan."Apa Hanum ada bukti nyata, kalau saya mengambil uang disana? Kok main tangkap saja. Ini sih, namanya pencemaran nama baik!" tukas Jaya tak habis pikir."Bisa-bisanya Polisi ceroboh hendak menangkap o
"Eling, Pak." Wisnu menegakkan badan, menyentak kasar kerah bajunya. "Saya juga pernah selingkuh, tapi tidak mencuri uang istri apalagi buat foya-foya sama Gundik!" sambung Wisnu dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.Bisa Wisnu lihat rahang, Jaya mengeras, mata melotot marah dengan suara gemeletuk gigi yang terdengar keras. Jaya meradang, tangan terkepalnya melayang cepat diudara.Bugh bugh!!Dua bogem mentah mendarat sempurna diwajah tampan, Wisnu. Jaya begitu terbakar, darah rasanya mendidih diejek menantunya sendiri.Wisnu hanya meringis menahan sakit, tidak melawan sama sekali."Kurang ajar lu ya. Sialan!!" maki Jaya begitu marah. Saat ingin kembali melayangkan pukulan, tubuhnya ditahan oleh dua petugas. Jaya semakin memberontak, saat melihat Wisnu yang tersenyum sinis sambil menyeka sudut bibir yang mengeluarkan setitik darah."Kasihan ..." desis Wisnu disertai dengkusan kecil, lalu pergi menyusul Hanum."Jangan pergi kau sett--an!!"Jaya berteriak garang, memaki istri dan me
"Kenapa, Buk?" tanya Ika dengan alis mengkerut saat melihat wajah cemas milik, Hanum."Dapat telepon dari siapa?" Ika kembali bertanya."Kantor Polisi," lirih Hanum. "Pak Ismail bilang saat ini ada, Hella disana." sambung Hanum."Hella jenguk, Bapak?" Ika menatap tak percaya. Hanum mengangguk lemas."Luar biasaa!" Ika menggelengkan kepala sambil bertepuk tangan. "Padahal Mas Rudi berbulan-bulan di penjara saja dia tidak muncul loh," ujar Ika tak habis pikir.Hanum semakin cemas mendengar ucapan anaknya."Hella ... dia lebih perhatian dengan Jaya, di banding Rudi?" lirih Hanum dengan perasaan gelisah."Ibu mau kemana?" tanya Ika saat Hanum beranjak dari tempatnya."Ibu mau kesana, sekalian mau tak keruwes-ruwes kepala jaaallang itu!" jawab Hanum kesal, lalu masuk kedalam kamar.Ika ingin sekali ikut, menemani Hanum. Namun, Bayu tidak ada yang menjaga. Tidak tega rasanya, membiarkan Hanum ke kantor Polisi seorang diri. Menghadapi masalah ini sendirian."Iiss ... harusnya, Mas Wisnu cuti
"Loh ... da-damu kenapa merah-merah begini, La." Jaya memicingkan mata menarik lebih dekat daster atas Hella.Hella melebarkan mata, kejadian beberapa waktu bersama Irfan langsung terlintas dikepala.Hella menarik badan, tergugup menutup atas tubuhnya. Jaya memicing, menunggu jawaban."Ini ... tadi di-cakar sama, Hamdan." ujar Hella sambil meringis, mencoba menormalkan dabaran jantung yang mulai bertalu."Di cakar, Hamdan?" Jaya menatap curiga."I-yaa. Tadi aku gendong. Kan Hamdan mau aku coba sapih, dia terus narik-narik, sampai kena cakar." jawab Hella memasang wajah murung."Hamdan kan sudah dua tahun tujuh bulan, jadi aku mau dia stop minum asi." Hella meringis, menggaruk tengkuk leher."Ohh ..." Jaya membulatkan mulut."Semoga Hamdan tidak rewel ya, Mas. Ini aja baru tidur dia. Siang tidak mau tidur nangis terus mau asi." ujar Hella meyakinkan."Ya sudah. Nanti dibelikan susu formula saja, buat pengganti asi. Biar ada vitamin dan nutrisi juga." sahut Jaya. Hella mengagguk pelan,