Share

perselingkuhan 7

Belum selesai Nana membaca halaman itu, mendadak terdengar suara dari pintu kamar Dita.

"Mbak...?"

Buku agenda di tangan Nana terjatuh. Nana segera memungutnya lalu menoleh ke asal suara.

"Ada apa mbok Inah?" tanya Nana menatap ke arah mbok Nah yang sedang berjalan ke arahnya membawa sebuah paket.

"Oh, bu Nana. Saya kira mbak Dita sudah pulang dari kampus. Kok pintu nya terbuka."

Nana tersenyum. "Iya, saya cuma ingin mencari buku saya yang semalam dipinjam Dita. Kalau Dita nya ya belum pulang."

Nana menjeda kalimatnya.

"Memangnya kenapa, Mbok?"

"Ini ada paket, Bu." Mbok Inah mengulurkan paket yang terbungkus plastik berwarna hitam dari tangannya ke arah Nana.

"Sudah dibayar ini, Mbok? Apa COD?"

"Sudah lunas, Bu."

"Ya sudah. Paket milik Dita saya terima dan saya simpan di kamar, Mbok."

Mbok Inah mengangguk lalu keluar dari kamar.

Nana melihat paket berukuran sedang itu seraya duduk di pinggir ranjang. Pada awalnya dia berniat untuk meninggalkan paket itu begitu saja. Tapi kemudian Nana berubah pikiran saat melihat pengirim paket itu.

Toko orens pengirim paket itu tidak menyebut kan barang yang dibeli oleh Dita. Jadi Nana tidak bisa menebak apa isi di dalam paket itu.

Hanya tercantum nama, alamat, dan nomor telepon pengirim dan penerima. Rasa penasaran Nana yang tinggi membuatnya mengetik kan nama toko di aplikasi belanja online toko orens di ponsel miliknya. Dan alangkah terkejutnya Nana saat melihat produk yang dijual di toko itu.

Puluhan foto lingerie dan pakaian dalam perempuan terpampang jelas di sana.

"Astaga, jangan bilang kalau Dita membeli lingerie untuk persiapan staycation dengan mas Rama," gumam Nana dengan perasaan campur aduk. Bertambah gemas lah dia dengan adik dan suami nya itu.

Sebenarnya hati Nana ingin sekali membuka paket milik Dita untuk memastikan isinya. Kalau ternyata memang benar adiknya memesan lingerie padahal belum mempunyai suami, Nana ingin membuang dan membakar benda itu.

Mendadak selintas ide berkelebat di kepala Nana. Dia segera memotret paket milik Dita dan mengirimkan ke nomor adiknya itu.

[Foto]

[Dit, ini paket untuk kamu.]

Langsung centang dua. Tanpa perlu menunggu lama, Dita langsung membalas chat dari Nana.

[Iya. Itu punyaku, Mbak. Jangan dibuka! Tolong simpan di kamar. Mbak kan punya kunci duplikat nya.]

[Hm, kenapa nggak boleh dibuka. Aku hanya ingin memastikan kalau paket kamu isinya sesuai dengan kamu pesan. Kan bisa kita video call an lalu aku buka paket kamu. Kalau memang untuk kamu, aku simpan di kamar kamu. Kalau ternyata isinya kurang atau salah, kamu bisa langsung mengajukan ke pihak penjual. Ya kan?]

Beberapa saat Nana menunggu jawaban dari Dita.

[Enggak usah repot-repot, Mbak. Terimakasih. Tapi mbak Nana jangan buka paketku ya. Isinya privasi banget. Langsung saja simpan dalam kamar. Kalaupun isinya salah, nanti biar aku yang komplain setelah pulang dari kampus]

Nana terseyum. "Sepertinya ada yang panik karena takut ketahuan isi paketnya, " gumam Nana.

[Ya sudah. Aku simpan di kamar kamu.]

Nana meletakkan paket milik Dita diatas ranjang. Sedangkan buku agenda yang berisi curhatan hati Dita, dikembalikannya di posisi semula.

"Sepertinya aku harus istirahat siang dulu sebelum berangkat kerja nanti agar tidak mengantuk."

Nana lalu beranjak dari kamar Dita menuju ke kamarnya sendri dan memejamkan mata.

***

"Rinta, tadi mertua ku ke rumah. Ternyata mertua ku kenal dengan ayah kamu. Mertua ku juga bertanya kenapa ayah kamu yang pengacara kasus perceraian ke rumahku. Papa mertua ku bahkan curiga pada hubungan pernikahan ku karena kedatangan ayah kamu," lapor Nana pada Rinta saat mereka sedang berada di rumah sakit untuk dinas siang.

Rinta mendelik. "Hah? Lalu bagaimana akhirnya? Kamu pasti terus terang kan tentang hubungan pernikahan kalian yang sudah diujung tanduk?" tanya Rinta.

Nana menggeleng kan kepalanya.

"Nggak. Aku takut kalau nanti papa dan mama mencegah perceraian kami. Atau bahkan memberitahu mas Rama tentang rencana ku. Jadi aku tadi ngeles saja sih."

Rinta manggut-manggut.

"Padahal kayaknya dari cerita kamu sih, mertua kamu baik dan sayang sama kamu. Ya kan? Kamu sering bercerita kalau mertua kamu menganggap mu sebagai anak sendiri karena anak mertua kamu semua laki-laki.

Jadi mana mungkin mertua kamu membela anaknya. Mereka pasti membela kamu. Mungkin kalau kamu cerita permasalahan rumah tangga kamu pada mereka, mertuamu bisa menjadi saksi pengadilan agama nanti. Ya kan?!"

Nana mengedikkan bahunya.

"Entahlah. Aku tidak mau berspekulasi. Bisa jadi mertua ku membela ku. Tapi bisa jadi pula mereka membela mas Rama. Aku tidak mau gede rasa dulu. Tapi aku akan menangkap basah mas Rama dan Dita sendiri. Tanpa mertua ku," ujar Nana tegas.

Rinta menggeleng.

"Jangan! Kamu sedang hamil besar. Akan sangat riskan kalau kamu menggerebek mereka seorang diri. Minimal biar ku antar. Tapi ngomong-ngomong apa sudah ada tanda-tanda dari suami kamu kalau akan staycation lagi?"

Nana mengangguk. Lalu menunjukkan ponsel nya pada Rinta. Gadis itu membaca tangkapan layar di ponsel temannya dengan mendelik.

"Wah ini sudah keterlaluan! Kamu jangan diam saja. Aku ingin sekali ikut kamu melabrak adik kamu. KESELLL! ADIK KAMU ITU NGGAK TAHU DIRI. SUDAH DITOLONG MALAH MUKUL! Kalau aku yang jadi kamu, mungkin semuanya sudah kujadikan rawon! Percuma miara dia cecunguk yang nggak tah rasa terima kasih. Padahal kamu sudah repot-repot biaya in sekolah adik kamu!" seru Rinta geram.

Nana menghela napas dalam-dalam. Dia menatap Rinta. Matanya berkaca-kaca.

"Aku juga kesal. Aku juga geram dan terguncang. Tapi kalau untuk menyakiti secara fisik dan verbal, aku tak mampu. Dita kan adikku kandung ku. Kami sudah tidak punya orang tua."

"Heleh! Siapapun yang menjadi pelakor, jangan diberi ampun! Kamu kenapa jadi lembek si, Na! Lalu apa rencana kamu untuk menangkap basah mereka?!" tanya Rinta.

"Aku akan menggerebek mereka saat hotel. Dan langsung merekam serta mengambil foto saat mereka tertangkap basah," ujar Nana.

"Cuma itu? Kita butuh saksi."

"Katamu, kamu tadi ikut? Kamu kan bisa menjadi saksi untukku, Rin?"

"Ya, aku bisa. Dan kita perlu tambahan saksi lain. Sekaligus sebagai syok terapi." Rinta tersenyum penuh arti.

"Hm, jangan bilang kamu akan menggerebek mereka dengan mengajak polisi?"

"Yah, bisa juga. Mereka kan melanggar hukum. Pasangan yang telah menikah dan melakukan hubungan kum pul ke b0 itu melanggar hukum, kata Ayahku. Bisa dipidanakan. Makanya kita akan mengajak teman kita.

Ada lho teman SMA kita yang menjadi Polisi. Kan jelas tuh ada surat tugasnya untuk menggerebek dan memeriksa hotel. Bukan semata-mata karena kamu sebagai istri sah yang meminta pada pihak hotel. Tapi karena sudah menjadi wewenang polisi yang bergerak atas pengaduan kamu, Na."

"Adikku akan menanggung malu, Rin."

"Haduh, Nana! Kamu jangan lembek. Ingat adik kamu itu yang merampas bapak dari calon bayi kamu. Kamu harus tegas demi hak-hak calon anak kamu! Jangan lemah! Jangan gampang kasihan pada orang yang telah merusak kebahagiaan kamu dan anak kamu!" saran Rinta bersemangat.

Nana menjadi tertular. Semangat nya juga berkobar. Dia mengelus perut buncit nya.

"Kamu benar. Kalau perlu aku akan mempermalukan mereka karena mereka telah mengkhianati ku. Dan nggak cuma itu, aku akan mengusir mas Rama dan Dita agar pergi dari rumah ku!"

"Bagus! Ayahku akan membantu kamu memperoleh hak asuh dan hak nafkah untuk anak kamu! Tapi beneran rumah itu milik kamu?" tanya Rinta.

"Rumah itu aku beli secara KPR setelah enam bulan, aku menjadi ASN di rumah sakit ini. Setelah orang tuaku meninggal, rumah kami yang di desa dan sepetak sawah kecil di warisan orang tua ku jual dengan persetujuan Rinta.

Dengan uang warisan dari orang tua yang sudah dibagi dua, aku melunasi rumah itu. Dan sertifikat rumah itu atas namaku. Mungkin mas Rama hanya membantu perluasan dapur atau teras depan dan jemuran belakang. Aku masih berhak kan untuk mengusir Mas Rama dan Dita dari rumah itu?!" tanya Nana.

Rinta manggut-manggut. "Sepertinya bisa. Karena rumah itu adalah harta bawaan kamu. Dan tentang harta warisan bagian Rinta, sepertinya kamu juga harus tegas. Selama ini kan kamu yang membayar kuliah nya dan biaya makan dari keringat kamu.

Kamu harus bisa meminta duit kamu kembali, Na. Enak saja adik kamu itu, udah dibiayain kuliah, makan, padahal punya bagian warisan sendiri. Masih mengkhianati kamu pula! Ish! Menjengkelkan!"

Mata Nana berbinar. "Kamu benar! Terimakasih karena kamu telah membuat ku mantap mengambil keputusan bahwa Dita harus membayar semua yang telah ku berikan padanya!" seru Nana berapi-api.

***

Nana pulang ke rumah lebih cepat setengah jam dari biasanya karena pasien sedikit sehingga operan antar shift berlangsung cepat. Seperti biasa, dia membuka pintu depan ruang tamu dengan kunci yang dibawanya agar tidak membangun kan Dita ataupun Rama jika sudah tidur saat dia pulang kerja.

Rumah Nana telah sepi karena saat ini sudah jam sembilan lewat lima belas menit. Lampu ruang tamu dan ruang tengah juga sudah dimatikan.

Nana melangkah ke arah dapur untuk mengambil air minum. Sekilas perhatian nya teralihkan ke kamar adiknya yang masih menyala dengan pintu yang sedikit terbuka.

Nana pun langsung membuka pintu kamar Dita, dan tampaklah adiknya itu sedang memakai lingerie di depan lemari kaca seolah memang menunggu kedatangan seseorang.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status