Devan sudah selesai berganti pakaian, begitu pun dengan Kanaya. Devan memakai baju santai, Kanaya menggunakan baju terusan bermotif daun. Mereka berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Pak Pratama dan Bu Herlin yang sedang menunggu mereka. Nampak Bu Herlin tersenyum menyambut anak dan menantunya dan mempersilakan mereka duduk. Devan menarik kursi untuk istrinya, dan dilirik oleh Pak Pratama yang terlihat datar tanpa ekspresi. Kanaya melihat tatapan dari papa mertuanya, hanya tersenyum canggung. "Ayo, Sayang, nikmati makan malamnya. Semoga kamu suka, ya." Bu Herlin mengambilkan nasi untuk suaminya, diikuti Kanaya yang mengambilkan nasi untuk suaminya juga. "Kalian tidak menungguiku! Tega sekali!" Seseorang duduk dan langsung meneguk air putih yang ada di gelas milik Devan. Kanaya melihat wajah lelaki yang tidak asing yang kini berada di samping suaminya. 'Pak Radit?' "Kapan kamu pulang, Dit? Mama tidak melihatmu. Bukannya harusnya besok pulangnya?"
60 "Kenapa kaget?" "Ini kesukaan Tuan Besar, Nona." "Benarkah?" Kanaya senang karena ternyata makanan favoritnya sama dengan papa mertua. Mungkin ia bisa mendekati dan mengambil hatinya dengan memasakkan makanan beraroma khas itu. "Tapi suamiku tidak suka makanan ini." "Tuan Muda memang tidak menyukainya. Hanya Tuan Besar yang menyukai makanan ini. Tapi sudah lama sekali tidak memasak jengkol karena kami jarang mendapatkannya. Kalaupun ada, biasanya masih muda dan Tuan tidak suka." Jengkol yang dibawa Kanaya adalah jengkol super yang besar dan sudah tua, jadi rasanya lebih kenyal dan lebih terasa aromanya. "Baiklah, aku akan segera memasaknya. Kau bisa membantuku?" "Tentu, Nona." "Sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu jika sedang bersamaku. Panggil saja Aya." Perempuan muda itu hanya mengangguk patuh sambil tersenyum. Ia tidak menyangka sikap nona-nya sangat rendah hati. Bahkan tidak sungkan berteman dengannya yang hanya seorang p
"Kamu tidak perlu repot memasak, Sayang. Jangan terlalu capek, di sini banyak yang bisa membantu memasak. Kamu bisa meminta bantuan mereka jika ingin sesuatu," saran Bu Herlin. "Tidak pa-pa, Ma. Aku senang melakukannya. Sangat bosan jika tidak ada kegiatan." "Baiklah jika itu maumu. Tapi jangan sampai kecapekan. Hari ini istirahat saja dulu, Mama sudah siapkan semua untuk acara nanti sore. Akan ada sekitar seratus anak panti asuhan yang kita undang. Mama sangat senang sekali ada kamu di sini." "Aku juga senang bisa mendapatkan Mama dalam hidupku." Bu Herlin memeluk Kanaya yang ia tahu sudah ditinggal pergi sang ibu sejak kecil. Rasa sayangnya sungguh besar terhadap menantunya itu. "Mama kenapa senang sekali memeluk istriku?" Bu Herlin melepas pelukan mendengar putranya berujar. Sungguh ia heran dengan putranya, yang bahkan tidak memperbolehkan ia memeluk Kanaya. "Kamu ini, Dev! Apa Mama tidak boleh memeluk putrinya sendiri?" "Tapi dia istriku, Ma
62 Pak Pratama memegang kedua foto dengan tangan bergetar. Ia benar-benar melihat gambar dari seorang yang telah lama ia cari. Nampak kerutan di foto yang satu. Foto itu bersama dengan Kanaya. Namun senyum itu masih sama seperti saat ia kecil dulu. Senyum tulus yang selalu memberikan semangat untuknya. Dan di foto yang satunya lagi, ia benar-benar bisa melihat dengan jelas, betapa anak kecil tangguh itu tersenyum menggendong adiknya. Ya, ia sangat ingat. Adik kecil yang dulu ia juga sering menggendongnya saat ditinggal ibunya berjualan koran. "Ali ... ini benar-benar kamu, Li." Pak Pratama menyeka sudut matanya yang memanas dan mengeluarkan setetes cairan bening. Pria patuh baya yang biasanya sangat tegas itu, terlihat sangat sedih. Rasanya tidak kuasa, mengingat ucapan istrinya yang mengatakan jika Kanaya adalah gadis yatim. Yang itu artinya, ayahnya yang tak lain adalah Ali Hasan, temannya, telah meninggal dunia. "Jadi mereka orang yang sama, Pa?" Bu Herlin m
" Kenapa berhenti?" "Lihat itu! Sepertinya itu nikmat sekali." Kanaya menunjuk seorang lelaki paruh baya yang membawa jualan. "Apa yang kau cari?" Tidak menjawab, Kanaya hanya melangkah menuju pedagang rujak yang ada di seberang jalan. Devan mengikutinya di belakang. "Aku ingin beli rujak itu!" "Tapi itu tidak higienis, Sayang." Kanaya berhenti dan menatap tajam suaminya. "Nanti aku minta Bi Karti membuatnya." "Aku ingin yang di sana, Honey." Kanaya tetap melangkah, membuat Devan mengikutinya. "Maaf, Tuan. Anda sudah ditunggu oleh Tuan Jody," panggil Andre, sang sekretaris yang merangkap sebagai asisten. "Katakan untuk menunggu," perintah Devan. "Tapi Tuan Jody tidak mau menunggu lagi, beliau sudah hadir sepuluh menit yang lalu. Anda tahu sendiri bagaimana orang itu." Devan melihat istrinya itu tengah menemui pedagang rujak dan ingin membeli rujak di sana. Dilarang pun percuma, karena Kanaya memang lebih suka membeli makanan pada
Dengan wajah merah padam, Devan mendatangi para pegawainya yang sudah berani berbuat kasar pada wanita kesayangannya. "Maaf, Tuan. Wanita ini memaksa masuk. Tapi kami akan segera mengusirnya." Pegawai wanita itu berusaha menjelaskan hal yang terjadi, berharap akan mendapat sanjungan karena telah mengusir Kanaya, yang dianggap ingin mengganggu. Akan tetapi, bukan mendapat sanjungan, Devan bahkan semakin mengeratkan rahangnya. Lelaki berjas mahal itu terlihat marah dan itu membuat nyali mereka menciut. Apa ada yang salah, begitu tanya mereka dalam hati. "Apa yang kalian lakukan pada istriku!" geram Devan saat mendengar sendiri jika mereka hendak mengusir istrinya. Nampak mereka semua terkejut. Raut wajah mereka memucat, begitu mendengar apa yang terucap dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Sungguh mereka telah melakukan kesalahan. Rasa takut terlihat jelas di wajah mereka. Sepertinya akan ada masalah besar yang menanti. Tidak ada yang berani b
"Ya, itu benar," jawab Devan, yang berpikir istrinya bertanya tentang kebenaran dirinya yang melarang perempuan yang tidak berkepentingan untuk menemuinya. Namun berbeda, Kanaya justru merasa kaget. Karena yang ia maksud adalah tentang suaminya yang katanya menyimpang. "Tidak-tidak. Ini pasti tidak benar." "Hei, apa maksudmu, Sayang?" Devan berusaha meraih tangan istrinya yang kini mengambang. Padahal tadi dipegangnya. "Kau ... seperti kata mereka?" "Memangnya apa yang mereka katakan? Aku memang melarang masuk siapa pun perempuan yang hanya ingin menggodaku. Aku tidak suka pada mereka." "Mereka bilang kamu menyimpang," ucap Kanaya tanpa basa basi. "Apa?!" teriak Devan refleks. Ia menyugar rambutnya. "Bisa-bisanya mereka berbicara seperti itu tentangku. Mereka pikir aku menyimpang? Apa mereka tidak waras! Dan, apa kau percaya itu, Sayang?" Kanaya menatap lekat wajah suaminya. Sungguh ia tidak percaya pada cerita yang ia dengar itu. Bagaimana mungkin suaminya yang begitu kua
"Maksud kamu apa, Dit?" "Eemm, maksudku ... oh, ya, tidak apa-apa, Pa." "Kamu ini aneh sekali. Bicara berbelit-belit. Apa ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Pak Pratama yang merasa putra angkatnya itu ingin menyampaikan sesuatu. "Tidak ada, Pa. Maaf jika telah memotong pembicaraan. Apa aku boleh berjalan-jalan di sekitar taman ini?" "Tentu saja. Di sana ada kolam ikan yang sering dijadikan tempat foto oleh beberapa anak-anak di sini." Ustaz Zaki menunjuk ke arah di belakang gazebo. Radit pamit meninggalkan ayah angkatnya yang masih asyik berbincang dengan Ustaz Zaki. Ia menuju kolam yang dimaksud sang ustaz. Saat sedang menikmati pemandangan yang asri di sekitar taman itu, netranya menangkap sosok yang tadi menari-nari dalam pikiran. Seorang gadis berjilbab yang tentu tersimpan banyak keindahan di dalamnya. Zalia Almirah. Gadis itu tengah menyiram bunga-bunga yang tertata dengan rapi. Tak henti-hentinya Radit memandang wajah itu dari kejauhan. Ada