Hari-hari selanjutnya, keadaan di dalam rumah masih sama. Arsyl pulang setiap malam tetapi kami tak terlinat percakapan apa pun. Dia langsung menuju kamar, melangkah cepaf ketija melintasi pintu. Sebagai orang yang memang terlahir cerdas, Arsyl memilih cara terbaik dalam menghindariku. Kupikir, tinggal di rumah sendirian tanpa kepulangan Arsyl adalah situasi yang paling menyiksa. Nyatanya, keberadaannya di rumah, pulangnya setiap larut malam dan kembali pergi ketika pagi menyapa bahkan sebelum kami saling bertanya kabar, itu semua seperti racun yang membunuhku perlahan. Aku ada di rumah itu. Sebagai istri, sebagai teman bicara yang Arsyl butuhkan. Namun, satu kesalahan yang kulakukan agaknya terlalu fatal, hingga akhirnya dia mengabaikanku dari waktu ke waktu. Aku ada di hadapannya tapi Arsyl seperti enggan menyapa. Aku ada dan menantinya setiap hari, tetapi dia tak melihatku sama sekali. Tahukan rasanya ketika kita merasa tergantung dan begitu mendamba tetapi yang diharap tak kunju
Tak ingin membiarkan jarak di antara aku dan Arsyl semakin menjauh, pagi ini aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah sakit. Sesuai janji yang kubuat dengan Suster Eni beberapa waktu lalu, hari ini aku datang tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Kedatanganku pagi ini pun sengaja dan sesuai kesepakatan. Suster Eni yang memang dinas malam belum pulang, sekalian menungguku. Sementara itu, aku sepakat pergi pagi ini karena sekalian ke kantor. Tak apa meski rutenya memutar. Sesuatu yang kuperjuangkan memang lebih besar. Seumur hidup, aku tidak pernah mengiba kepada siapa pun, apalagi sampai mengucapkan maaf berkali-kali. Aku bahkan terus melakukannya tanpa peduli, meski diabaikan Arsyl berkali-kali. Jangankan menerima permintaan maafku, melihatku saja Arsyl seperti enggan. Akan tetapi, kali ini, aku merasa harus menerima semuanya. Berhari-hari aku merasakan sikap tak acuhnya Arsyl sebagai hukuman, karena memang telah melakukan kesalahan fatal. Satu hal yang terus kupegang untuk tak terluka kia
Tekad untuk memperbaiki semuanya membuatku menekan ego sedalam-dalamnya. Bagaimanapun, perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga ini bermula dari salahku. Aku yang kembali hanyut dalam pesona Danar dan tak bisa menata hati pasca reuni. Aku yang terlalu mendahulukan hati, padahal kisah lampau itu sama sekali tak berarti untuk diingat lagi.Bertemu Danar kala itu memang merusak semua tatanan yang tengah kubangun dengan susah payah. Akan tetapi, aku percaya pada hikmah dalam setiap kejadian. Sekuat tenaga pun aku berusaha menutupi kecurangan itu, tetap saja Arsyl bisa mengetahuinya. Sebab, Sang Maha ingin aku menerima konsekuensi atas semuanya, sebagai pengingat agar tak melakukannya di kemudian hari. Aku harus sadar, bahwa tugas istri adalah menjaga kehormatan suaminya. Bagaimanapun mengingkari ikatan itu, aku dan Arsyl tetaplah suami istri yang harus menjadi pakaian satu sama lain. Terima atau tidak, pernikahan ini bukan ikatan main-main. Janji itu diucapkan Arsyl penuh kesungguha
Dear, Arsyl. Aku paham kalo kamu marah. Silakan. Aku nggak akan protes atau keberatan.Karena memang ini semua salahku, dan aku akan terus minta maaf untuk itu.Seperti kamu yang ngasih aku waktu, maka kali ini pun sama.Ambil waktu sebanyak yang kamu mau.Aku nggak akan memaksa, juga nggak akan merayu.Tapi satu hal, Arsyl ... aku datang karena aku rindu.Aku mau kamu, dan aku mau memperbaiki semuanya.Bukan demi keluarga, tapi benar-benar demi aku dan kamu.Aku nggak mau kamu merasa tidak nyaman karena aku.Kalo keberadaanku di rumah bikin kamu harus menghabiskan waktu di luar, maka aku minta maaf.Pulanglah. Nggak perlu bohong dengan menyibukkan diri di rumah sakit.Karena aku tau, kamu cuma menghindar dari aku.Pulanglah, istirahat dan makan dengan baik di rumah.Aku menyimpan beberapa makanan beku seperti biasa.Pulanglah, karena kamu punya rumah untuk istirahat dengan baik.Meski istri yang kamu harapkan nggak ada di dalam rumah itu.Sementara itu, biar aku yang pergi.Dalam
Aku menatap Arsyl yang mendekat dengan langkah pelan. Dia menyelisik wajahku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kemudian, aku sedikit berdeham dan mengalihkan pandangan ketika dia duduk di tepi ranjang, di sisiku. Flu?” tanyanya. Terasa canggung. Tak lupa tangannya menyusup menyentuh leher, juga dahiku. Ini adalah kebiasaan yang dilakukannya sejak lama. Sementara itu, aku mengangguk tanpa berkata. Seperti seorang anak yang mengakui kesalahan pada orang tuanya. Rasa sedih ini, rasa bersalah ini ... semua karena aku sangat mencintainya. Ya. Aku mencintainya.Dia menghela napas sejenak, belum menarik tangan dari dahiku. “Mandi malam lagi? Bandel!”Aku bergeming, merasakan tangan Arsyl yang masih menempel di pipi. Ingin rasanya menjawab, tapi semua kata tercekat dalam tenggorokan. Namun, desakan dari hati membuat air mata ini menitik, kala aku berkata, “Maaf.”Hanya itu. Ya, hanya itu kata yang mampu kuucap untuk mengurai semua masalah ini. Kata yang seharusnya terucap di awal pernika
Mengunjungi rumah sakit sebelum pergi bekerja, entah mengapa jadi kebiasaanku sekarang. Tak peduli jalan yang kutempuh harus memutar, abai pada kenyataan bahwa aku bisa saja sakit pinggang, aku terus melakukan hal ini. Aku pun abai bila nanti sampai kantor dalam keadaan rambut kusut bau knalpot. Yang pasti, melintasi rumah sakit seperti hal wajib yang harus kulakukan sekarang. Kadang, aku hanya akan berhenti dalam jarak aman. Lalu, aku akan mengamati Arsyl dari jauh. Bila menemani dan membawa Alya jalan-jalan setiap pagi merupakan rutinitas baginya, mengamati mereka adalah kegiatan wajib untukku. Kami seperti tiga orang yang terlibat cinta segitiga.Meski terus saja ada cubitan-cubitan kecil di hati ketika melihat kebersamaan itu, tetapi aku tak menyerah. Aku ingin menjadi orang yang benar-benar berjuang atas hubungan ini. Aku selalu memikirkan hal baik, tak ingin membiaskan luka di hati.Tak apa, Arsyl hanya memanjakan gadis itu sebagai sesama manusia. Itulah yang selalu kupegang un
Sejak pagi ketika Arsyl mendapati aku di rumah sakit, semua di antara kami seperti berhenti. Aku yang sempat melayang karena harapan, kini harus pasrah ketika dipaksa jatuh ke level terendah. Aku yang semula merasa berarti, kini bagai kehilangan diriku sendiri. Tak pernah lagi aku mengirimkan pesan cinta atau permohonan maaf kepada Arsyl. Padahal, sebelum ini, aku tak sabar menunggu pagi hanya karena ingin mengirimkan pesan kepadanya. Sekadar bertanya: kamu sudah di rumah sakit, kamu pulang jam berapa, dan sebagainya, tetapi aku merasa berarti ketika melakukannya. Akan tetapi, semua berubah sekarang. Entah mengapa, aku merasa lelah untuk mengiba. Semua yang kulakukan terhalang kata sia-sia. Bukan karena rasa untuknya telah berkurang, tapi aku tak ingin cinta yang baru bersemi ini patah begitu saja. Aku telah patah bekali-kali, bahkan oleh ayahku sendiri. Namun, bila kali ini rasa untuk Arsyl terpatahkan lagi, maka aku takut hati ini benar-benar akan mati.Itu sebabnya, aku memutusk
Setelah percakapan pagi itu, aku selalu tidur di kamar Raya, menemaninya menjaga anak-anak yang masih sering rewel di malam hari. Bukan semata-mata karena perhatian, aku menemani Raya dengan sedikit keegoisan. Bahwa aku bisa melupakan segala yang menjadi dukaku sendiri dengan menjadi penyembuh dan penyemangat untuk orang lain. Sementara itu, Arsyl ... entah apa yang dilakukannya sekarang. Mungkin, dia masih tetap menjalani rutinitas membawa Alya berjalan-jalan di pagi hari. Mungkin juga, dia disibukkan dengan banyak hal dari siang sampai malam, lalu melupakan aku. Akan tetapi, tak peduli apa yang dilakukannya sekarang, aku masih di sini, menunggunya. Aku menunggu dia seperti seorang putri mendamba pangeran berkuda. Hal yang sedari dulu tak pernah kulakukan ketika kami sepakat untuk hidup bersama. Hari-hari selanjutnya, Raya terlihat berbeda. Dia yang semula sering menangis dan selalu menampilkan wajah muram, menjadi lebih segar. Wajahnya tak sembab lagi ketika aku menemuinya di pag