Dear, Arsyl. Aku paham kalo kamu marah. Silakan. Aku nggak akan protes atau keberatan.Karena memang ini semua salahku, dan aku akan terus minta maaf untuk itu.Seperti kamu yang ngasih aku waktu, maka kali ini pun sama.Ambil waktu sebanyak yang kamu mau.Aku nggak akan memaksa, juga nggak akan merayu.Tapi satu hal, Arsyl ... aku datang karena aku rindu.Aku mau kamu, dan aku mau memperbaiki semuanya.Bukan demi keluarga, tapi benar-benar demi aku dan kamu.Aku nggak mau kamu merasa tidak nyaman karena aku.Kalo keberadaanku di rumah bikin kamu harus menghabiskan waktu di luar, maka aku minta maaf.Pulanglah. Nggak perlu bohong dengan menyibukkan diri di rumah sakit.Karena aku tau, kamu cuma menghindar dari aku.Pulanglah, istirahat dan makan dengan baik di rumah.Aku menyimpan beberapa makanan beku seperti biasa.Pulanglah, karena kamu punya rumah untuk istirahat dengan baik.Meski istri yang kamu harapkan nggak ada di dalam rumah itu.Sementara itu, biar aku yang pergi.Dalam
Aku menatap Arsyl yang mendekat dengan langkah pelan. Dia menyelisik wajahku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kemudian, aku sedikit berdeham dan mengalihkan pandangan ketika dia duduk di tepi ranjang, di sisiku. Flu?” tanyanya. Terasa canggung. Tak lupa tangannya menyusup menyentuh leher, juga dahiku. Ini adalah kebiasaan yang dilakukannya sejak lama. Sementara itu, aku mengangguk tanpa berkata. Seperti seorang anak yang mengakui kesalahan pada orang tuanya. Rasa sedih ini, rasa bersalah ini ... semua karena aku sangat mencintainya. Ya. Aku mencintainya.Dia menghela napas sejenak, belum menarik tangan dari dahiku. “Mandi malam lagi? Bandel!”Aku bergeming, merasakan tangan Arsyl yang masih menempel di pipi. Ingin rasanya menjawab, tapi semua kata tercekat dalam tenggorokan. Namun, desakan dari hati membuat air mata ini menitik, kala aku berkata, “Maaf.”Hanya itu. Ya, hanya itu kata yang mampu kuucap untuk mengurai semua masalah ini. Kata yang seharusnya terucap di awal pernika
Mengunjungi rumah sakit sebelum pergi bekerja, entah mengapa jadi kebiasaanku sekarang. Tak peduli jalan yang kutempuh harus memutar, abai pada kenyataan bahwa aku bisa saja sakit pinggang, aku terus melakukan hal ini. Aku pun abai bila nanti sampai kantor dalam keadaan rambut kusut bau knalpot. Yang pasti, melintasi rumah sakit seperti hal wajib yang harus kulakukan sekarang. Kadang, aku hanya akan berhenti dalam jarak aman. Lalu, aku akan mengamati Arsyl dari jauh. Bila menemani dan membawa Alya jalan-jalan setiap pagi merupakan rutinitas baginya, mengamati mereka adalah kegiatan wajib untukku. Kami seperti tiga orang yang terlibat cinta segitiga.Meski terus saja ada cubitan-cubitan kecil di hati ketika melihat kebersamaan itu, tetapi aku tak menyerah. Aku ingin menjadi orang yang benar-benar berjuang atas hubungan ini. Aku selalu memikirkan hal baik, tak ingin membiaskan luka di hati.Tak apa, Arsyl hanya memanjakan gadis itu sebagai sesama manusia. Itulah yang selalu kupegang un
Sejak pagi ketika Arsyl mendapati aku di rumah sakit, semua di antara kami seperti berhenti. Aku yang sempat melayang karena harapan, kini harus pasrah ketika dipaksa jatuh ke level terendah. Aku yang semula merasa berarti, kini bagai kehilangan diriku sendiri. Tak pernah lagi aku mengirimkan pesan cinta atau permohonan maaf kepada Arsyl. Padahal, sebelum ini, aku tak sabar menunggu pagi hanya karena ingin mengirimkan pesan kepadanya. Sekadar bertanya: kamu sudah di rumah sakit, kamu pulang jam berapa, dan sebagainya, tetapi aku merasa berarti ketika melakukannya. Akan tetapi, semua berubah sekarang. Entah mengapa, aku merasa lelah untuk mengiba. Semua yang kulakukan terhalang kata sia-sia. Bukan karena rasa untuknya telah berkurang, tapi aku tak ingin cinta yang baru bersemi ini patah begitu saja. Aku telah patah bekali-kali, bahkan oleh ayahku sendiri. Namun, bila kali ini rasa untuk Arsyl terpatahkan lagi, maka aku takut hati ini benar-benar akan mati.Itu sebabnya, aku memutusk
Setelah percakapan pagi itu, aku selalu tidur di kamar Raya, menemaninya menjaga anak-anak yang masih sering rewel di malam hari. Bukan semata-mata karena perhatian, aku menemani Raya dengan sedikit keegoisan. Bahwa aku bisa melupakan segala yang menjadi dukaku sendiri dengan menjadi penyembuh dan penyemangat untuk orang lain. Sementara itu, Arsyl ... entah apa yang dilakukannya sekarang. Mungkin, dia masih tetap menjalani rutinitas membawa Alya berjalan-jalan di pagi hari. Mungkin juga, dia disibukkan dengan banyak hal dari siang sampai malam, lalu melupakan aku. Akan tetapi, tak peduli apa yang dilakukannya sekarang, aku masih di sini, menunggunya. Aku menunggu dia seperti seorang putri mendamba pangeran berkuda. Hal yang sedari dulu tak pernah kulakukan ketika kami sepakat untuk hidup bersama. Hari-hari selanjutnya, Raya terlihat berbeda. Dia yang semula sering menangis dan selalu menampilkan wajah muram, menjadi lebih segar. Wajahnya tak sembab lagi ketika aku menemuinya di pag
Hariku masih kuhabiskan di rumah Ibu. Dalam sepi dan ketidakpastian. Entah Ibu mulai curiga atau bagaimana, aku sama sekali tak ambil pusing. Kecurigaan Ibu kepadaku berakhir ketika Raya berkata bahwa Arsyl-lah yang memintaku menginap di sini. Sungguh, itu adalah sebuah kebetulan yang membuat aku bebas bungkam tanpa menjelaskan apa pun.Sementara itu, Raya sudah kembali ke rumahnya dua hari yang lalu. Setelah sang suami dan mertua datang kala itu, dia memang tidak langsung pulang. Hanya mertuanya saja yang pulang, Dika memutuskan menginap selama semalam. Adik iparku itu juga mengucapkan banyak terima kasih, karena aku dianggap mengambil peranan penting dalam menjaga Raya dan anak-anaknya. Tanpa semua orang tahu, bahwa aku di sini karena tak diinginkan oleh suamiku. Tuhan seperti mengirimkanku banyak perisai sebagai tempat berlindung. Keberadaan Raya yang semula menjadi pikiran Ayah, Ibu, dan kami semua, siap sangka malah menjadi tameng untuk menyelamatkan mukaku. Aku malah mendapat b
Aku pikir kamu sudah pulang.” Kak Amy berkata lagi. “Terlalu lama biarkan masalah kalian sampai berlarut-larut tanpa penyelesaian, aku malah takut nantinya jadi bom waktu.” Aku diam, tetapi dalam hati membenarkan kalimat Kak Amy. Apa pun itu masalahnya, bila dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi masalah besar. Apalagi yang aku alami sekarang. Aku dan Arsyl benar-benar diam di tempat tanpa sebuah penyelesaian. Aku menyugar rambut, menopang dagu pada satu tangan yang tertumpu di meja. Mengapa hariku ini sungguh berat? Setelah obrolan dengan Ibu yang membiaskan kecewa di hati kami masing-masing, kini aku harus terlibat pembicaraan dengan Kak Amy. Memang, Kak Amy tak berpihak kepada siapa pun. Dia selalu menunjukkan dukungan untuk aku dan Arsyl secara berimbang. Kak My tak pernah berat sebelah, meski tahu aku ada dalam posisi bersalah dan menyakiti hati adiknya. Namun, ini lebih memberikan tekanan mental untukku. Bagaimana bila aku gagal bertahan? Masih bisakah Kak Amy mengangga
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku sekarang, maka tidak ada yang bisa kuungkapkan sebagai jawabannya. Semuanya campur aduk. Bahagia, canggung, malu, gempuran rasa itu mendekapku dalam satu waktu. Namun, yang paling terasa dari semua itu adalah lega. Sebab, Arsyl sudah menerima dan memaafkan aku. Saat ini, adakah yang lebih baik dari itu?“Sekarang masih kangen?” tanya Arsyl sembari mengusap punggungku.Kubiarkan tanya itu tak terjawab, dan lalu membenamkan wajah semakin dalam ke dadanya. Setelah mengabaikanku dan membuat jarak di antara kami, aku tak ingin beranjak sedikit pun darinya.Mungkin, sebagian wanita mengalami rasa canggung ini di malam pertama pernikahan mereka. Aku pun tak tahu bagaimana mereka membuka percakapan setelah bercinta. Ah, bercinta? Aku bahkan tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Saat ini, aku terlalu malu untuk berkata-kata. Jangankan berbicara dengan baik, mengatur deru napas saja rasanya sulit sekali. Apakah bercinta itu memang begini