Seorang security bertubuh atletis berujar dengan pongah.“Nyonya Ratih tak mungkin mengundang gelandangan datang ke sini. Dia adalah pemilik restoran ini. Silahkan keluar sebelum aku menyeret kalian semua dengan paksa!” ancam security tersebut dengan menarik sudut bibirnya. Seringai keji terlukis jelas di wajahnya.Embun bergidik ngeri mendengar ucapannya yang omong kosong. Dia teringat Ratih, wanita tua tersebut akan merasa senang jika dia datang ke sana. Seperti halnya Zaara, dia juga memiliki hati yang lembut, dia tak tega jika membuat Ratih bersedih karena undangannya tidak dipenuhi.Adapun Zaara mengepalkan ke dua tangannya hingga urat-urat hijau menyembul, menampakkan diri. Namun dia tak ingin membuat keributan. Dia hanya khawatir pada Embun—yang pasti merasa bersedih karena tidak bisa masuk ke dalam restoran mewah tersebut.Embun mengerjapkan matanya, teringat sebuah kartu yang diberikan oleh Ratih padanya tempo hari.“Ah, ya, Zaara, aku punya kartu akses masuk restoran,” kata
Suara gelas-gelas pecah terdengar sehingga mencuri atensi pengunjung restoran. Namun suara gesekan biola kembali membuat mereka melanjutkan aktifitas mereka, makan malam dengan khidmat.Mereka tidak menyadari sebuah drama perundungan telah terjadi di ruangan yang lain.“Mbak, saya mohon maaf atas keteledoran saya menyenggol pelayan sehingga membuatnya menumpahi minuman pada pakaian Mbak,” ucap Embun dengan sedikit tergeragap. Dia terjebak dalam situasi yang pelik. Ternyata berurusan dengan orang yang menyandang status sosial kelas atas sangatlah rumit. Perkara pakaian yang terkena noda saja bisa seperti perkara pidana di mana dia seolah dianggap telah melakukan kesalahan yang fatal.Beberapa teman gadis itu berbisik pada gadis—yang pakaiannya terkena cipratan minuman, mengomporinya untuk memberi hukuman pada Embun.“Mbak, saya akan membersihkan pakaian Anda,” seru pelayan wanita yang menggantikan pelayan pria tadi. Dia mengamati betul pakaian yang terkena noda yang cukup pekat tetapi
“Aku sudah sangat lapar,” keluh Haikal yang baru saja telah menyelesaikan meeting ke tiganya dengan para investor asing.“Di depan ada restoran Eropa. Terkenal menu yang sangat lezat dan service yang memuaskan,” seru Zul sembari memegang kemudi dengan begitu lihai. Sesekali matanya yang tajam menyapu jalan.“…”Haikal memijit pangkal hidungnya sebab merasa pusing gegara jam biologisnya dilanggar hanya karena kesibukannya hari itu.“Nah, itu dia tempatnya,”Zul memasuki area parkir restoran dan langsung membukakan pintu keluar untuk Haikal.Melihat kedatangan mereka, security menyambut mereka dengan penuh keramahtamahan, berbeda saat menyambut dua orang gadis miskin tadi.Bukan Haikal namanya jika tidak mengundang atensi para gadis yang menatapnya lapar. Entahlah, pemuda yang dingin justru menjadi incaran para gadis.Haikal langsung berjalan menuju meja yang sudah di-reservasi sebelumnya oleh Zul. Dia hanya tinggal duduk manis diam di sana, membaca menu hidangan makan malam. Tak butuh
“Dasar gadis buta sialan, nyalimu cukup berani,” seru Ayana seperti seekor singa betina.Kini dia menatap puas Zaara yang tersungkur ke lantai dengan tangan dan kaki terikat serta mulut yang disumpal.Amarahnya sudah memuncak. Namun semarah-marahnya dirinya dia tidak punya cukup nyali untuk menghabisi Zaara secara langsung.Temannya dengan sukarela yang akan melakukannya. Seringai ambigu terpatri di wajahnya. Sepertinya dia menyimpan dendam terselubung pada Zaara di mana tak ada seorang pun yang tahu. Dia terhubung dengan masa lalu Zaara.Indera penciuman Zaara begitu sensitif sehingga dia bisa mengenali orang dari parfum atau aroma tubuhnya. Zaara bisa menghidu parfum gadis itu menyatu dengan aroma tubuhnya. Dia adalah teman Evelyn sepupunya, pikirnya.“Habisi!” seru Ayana pada teman di sebelahnya setelah sebelumnya menarik pashmina Zaara dengan paksa hingga terlepas dari kepalanya. Zaara sampai meringis sebab beberapa helai rambutnya yang indah ikut tertarik bersama pashminanya. Na
“Anda keluarga pasien bernama Zaara Nadira?” Seorang dokter bertanya pada Haikal yang menghampirinya.Haikal hanya bisa menghela nafas panjang berhadapan dengan dokter tersebut dikarenakan pertanyaannya tak dijawab. Dokter UGD tersebut malah bertanya balik.“Bagaimana kondisi Zaara?” tegas Haikal yang tak senang berbasa-basi.“Dia sudah ditangani. Dia juga bisa pulang tetapi setelah cairan infusan habis. Dia mengalami syok dan dehidrasi. Adapun luka di kepalanya karena terbentur kemungkinan harus diperiksa ke lab, pemeriksaan CT scan untuk mengetahui apakah terjadi cidera pada kepalanya atau tidak. Namun sejauh ini pasien merespon dan bisa diajak bicara. Itu berarti tidak terjadi hal yang serius,” papar dokter tersebut dengan sedikit tergeragap karena melihat rona wajah Haikal yang begitu dingin dan suram.Baru pertama kalinya Haikal merasa mencemaskan seseorang. Dia sosok pemuda yang individualis, terkesan tak peduli dengan orang lain. Namun dia akan sangat protektif pada orang yan
Sekarang Zaara tak terlihat begitu mengenaskan seperti saat dia ditemukan. Pakaiannya robek dan kotor serta pashmina yang entah kemana terlepasnya. Saat ini perawat sudah menggantikan pakaiannya dengan pakaian rumah sakit. Rambutnya juga sudah tampak sedikit lebih rapi, tidak berantakan seperti tadi. Dia hanya mengenakan syal miliknya untuk menutup kepalanya sebab baik dia maupun Embun tak membawa kerudung cadangan.Dalam kondisi tidur sekalipun, gadis itu masih terlihat sangat cantik. Apalagi terlihat rambutnya yang tergerai. Dia memiliki rambut hitam legam, sangat panjang dan lebat. Sangat indah. Haikal tak pernah menyangka Zaara secantik itu saat tak berhijab. Tanpa sadar syal yang dipakainya melorot memperlihatkan keindahan mahkota yang acapkali dia sembunyikan.Pandangannya kembali turun melihat lehernya yang begitu mulus dan bersih. Ingin rasanya berada di sana, maksudnya menghidu aromanya sebentar saja. Bisa-bisanya dia meneguk saliva saat melihat pemandangan paripurna seorang
Embun menutupi rambut Zaara dengan syal. “Tadi kamu mandi?” telisik Embun sebab khawatir jika Haikal melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar mencuci rambutnya tanpa sepengetahuannya. Sepeka-pekanya orang buta tentu tidak akan mungkin menyaingi orang normal yang banyak akalnya. “Ish, kamu daritadi gak nyimak. Kalau mandi belum bisa sebab masih terasa perih sekali. Ya, kamu tahu sendiri keramas doang sama kamu juga ... Kalau tidak dicuci bau sekali. Mereka bener-bener sakit! Mereka sempat-sempatnya menyiramku dengan minuman, bir, tequila … koktail … bikin rambutku rusak,” omel Zaara dengan geram. Syukurlah, Mas Haikal tidak berbuat senonoh. Eh, tapi kalau mencuci rambutnya apa itu tidak senonoh? “Maafin aku sekali lagi, Ra,” lirih Embun dengan perasaan yang bersalah. “Niat hati makan malam dan bersenang-senang, malah kena penganiayaan,” “Ini sudah ke sembilan kali kamu meminta maaf,” desis Zaara dengan sedikit mendecak sebal. “Aku merasa bersalah sampai detik ini.” Embun meng
Zul duduk di kursi yang berhadapan dengan Haikal. Dia meletakkan berkas berisi data tentang pelaku penganiayaan terhadap Zaara. Haikal langsung menyambar file tersebut bahkan sebelum file tersebut mendarat sempurna di atas meja kebesarannya. Matanya bergerak-gerak saat melihat nama-nama pelaku. Sayang, Zul tidak melampirkan fotonya. Matanya berhenti bergerak saat melihat nama dari ketua geng sosialita tersebut. Sebuah nama familiar, Ayana Lathifa. Namun segera dia menyingkirkan file tersebut ke sisi kiri mejanya dan memilih ingin mendengar laporan secara verbal dan langsung dari mulut Zul.Haikal menatap Zul dengan tatapan yang menghunus. Namun Zul sama sekali tak merasa terintimidasi. Edi pernah melakukan hal yang lebih dari itu.“Saya sudah mengantongi rekaman CCTV. Tapi …”Zul berkata dengan begitu tenang.“Berita bagus,” sela Haikal dengan mata yang berbinar.“Tapi … Mas, bukti CCTV hanya menayangkan saat mereka makan di resto dan bergosip. Saat mereka melakukan penganiayaan, ta