"Semuanya, kepung dia!" seru si pria di samping Bram.Segera saja, anak-anak buahnya yang baru masuk itu melangkah maju, mengepung Morgan dari berbagai sisi.Mereka tampak berani, tentu karena saat ini Morgan tak mengeluarkan aura Dewa Perang-nya.Tetapi haruskah dia melakukannya lagi?Kembali, Morgan menatap istrinya yang berdiri jauh di belakang. Dia tak tahu apa yang dipikirkan wanita itu sekarang. Yang dia lihat: istrinya itu tampak bingung.Kemudian dia melihat tamu-tamu undangan lain yang kini juga berada jauh di belakang, yang masih menatapnya dengan penuh penghakiman seolah-olah mereka tahu betul apa yang tadi terjadi. Sayangnya memang, tak satu pun dari orang-orang itu mengenalnya; Morgan belum lama menjadi pemilik Charta Group dan belum sempat berinteraksi membahas bisnis dengan orang-orang ini.Sekarang dia agak menyesali keputusannya untuk tak mengajak Felisia. Kalau wanita itu ada, mungkin dia bisa mencoba menyadarkan orang-orang ini kalau mereka telah diperdaya.Morgan
Yang baru saja berteriak itu adalah Ethan Weiss. Sosok kharismatiknya langsung mengubah suasana ketika dia masuk ke restoran.Dan dia tak sendiri. Bersamanya ada seseorang yang sangat familier bagi Morgan: Jenderal Yudha.“Apa maksudnya semua ini? Bukankah yang kau adakan malam ini di sini adalah gala dinner, Bram? Kenapa aku melihatnya berbeda?”Ethan Weiss mengatakannya sambil menghampiri Bram, adiknya. Bram tampak terkejut, dan bingung.“Ethan, si barbar itu menghajar anakmu sampai kakinya patah. Sekarang kita akan menghukumnya. Apakah itu salah?” protes Bram.Bram menatap Morgan yang berdiri di tengah kepungan setengah lingkaran itu. Tatapannya sulit diartikan.“Benarkah itu, Anak Muda? Kau yang menghajar Jonathan dan membuat kakinya patah?” teriak Ethan, lantang.Tanpa dia meminta, orang-orang yang mengepung dan akan menghajar Morgan itu memberi jalan bagi Ethan. Kini Ethan dan Morgan bisa saling menatap satu sama lain tanpa terhalangi siapa pun.“Benar. Aku yang melakukannya,” k
Tak lain dan tak bukan, yang berteriak itu adalah Henry. Tadi setelah Morgan membawa Agnes keluar dari restoran, dia pun cepat-cepat menyusul.“Agnes, ayo kita pulang! Jangan lagi kau bicara dengan si pengacau ini!” ujarnya.Kemunculan Morgan, dan apa yang dilakukan menantu sampahnya itu, telah membuat malamnya kacau.Situasi di gala dinner sudah tak memungkinkan baginya untuk benar-benar menjalin relasi dengan para pebisnis top seperti yang dia rencanakan.Kini, dia hanya ingin membawa putrinya itu pulang.“Lepaskan tanganmu dari putriku, Keparat!” bentaknya saat dia sudah cukup dekat dengan mereka.Selanjutnya dia meraih tangan putrinya itu, menariknya ke arah tadi dia datang.Namun, baru juga dua langkah, putrinya itu tiba-tiba berhenti dan menarik tangannya.“Papa, bisakah Papa sekali saja tak membentak-bentak Morgan seperti itu? Bagaimanapun dia itu suamiku, Pa!” kata Agnes.Henry menatap Agnes dengan mata membulat. Dia lalu menatap Morgan dengan kebencian yang menyala-nyala.“Sa
Morgan meluncur ke apartemennya Vivi. Tadi dia dan wanita itu sempat saling berbalas chat. Dari apa yang dikatakan Vivi, agaknya dia sedang berada dalam bahaya.Malam sudah cukup larut saat Morgan tiba di apartemennya Vivi. Karena tak punya kartu akses, Morgan terpaksa menunggu di lobi tower setelah memberitahu Vivi kalau dia sudah tiba.Sekitar lima menit kemudian, Vivi muncul, mengajaknya masuk.“Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali. Lingkar hitam di matamu juga terlihat jelas. Kau kurang tidur belakangan ini?” cecar Morgan saat mereka berada di lift.“Begitulah. Aku terus-terusan diteror beberapa hari ini,” kata Vivi.“Diteror? Oleh siapa?”“Herman.”Morgan menghela napas. Rupanya begitu. Meski tempo hari dia telah memberi pelajaran kepada orang-orang suruhannya Herman, si dokter arogan itu ternyata belum kapok.Kalau dipikir-pikir, Morgan memang punya urusan yang belum selesai dengan Herman. Haruskah dia menyelesaikannya sekarang?Di unit apartemennya Vivi, Morgan dan Vivi dud
Tanpa diminta oleh Morgan, Vivi meraih tangan Morgan yang lain, mengarahkannya ke buah dadanya yang satunya lagi.Morgan kesulitan untuk menahan dorongan liarnya itu, sehingga dia menurut saja.Kini, dengan kedua tangannya, dia meremas-remas buah dada Vivi, membuat wanita itu mendesah dan terus mendesah sambil memejamkan mata.Morgan tahu, jika dia tak melakukan apa pun dan membiarkan dorongan liarnya itu menguasainya, interaksinya dengan Vivi ini akan semakin intens, dan pada akhirnya mereka akan berhubungan badan—sesuatu yang tak dikehendakinya.Maka Morgan pun melakukan perlawanan di dalam dirinya, mencoba menekan dorongan liarnya yang sudah semakin kuat itu, sebisa mungkin mendorongnya balik.Tapi tentu itu tidak mudah, apalagi Vivi, di hadapannya, sudah benar-benar hilang kendali karena dia mabuk berat.Desahan-desahan Vivi mulai diiringi oleh gerakan-gerakan yang membuat tubuh mulusnya itu tampak lebih menggiurkan.Ketika wanita itu membuka mata dan menatap Morgan, dia menjulurk
Herman seperti baru saja melihat hantu. Padahal, sosok yang muncul itu adalah manusia.Tapi memang, si manusia ini saat ini tampak begitu menakutkan.“Tempo hari di bar aku sudah memberi orang-orang suruhanmu pelajaran. Kenapa kau masih belum kapok juga? Apakah aku harus menghajarmu seperti aku menghajar mereka?”Morgan, si manusia yang membuat Herman ketakutan itu, mengatakannya sambil berjalan mendekat.Herman berjalan mundur. Kakinya terantuk ujung sofa dan dia pun jatuh.“K-kau? Bagaimana bisa kau masuk ke rumahku? Aku tak mendengar bunyi alarm atau apa pun!” cetus Herman.“Pentingkah itu? Menurutku, daripada memikirkannya, lebih baik kau memikirkan keselamatanmu. Saat ini tak ada seorang pun yang bisa menolongmu,” balas Morgan.Morgan sudah semakin dekat. Herman yang ketakutan tak sempat berdiri, kini hanya bergerak mundur dengan bokong menempel di lantai.“A-apa yang mau kau lakukan? Kau mau membunuhku? I-itukah yang ada di benakmu, Kriminal?” serang Herman.Meski saat ini dia j
Setelah mengemasi barang-barangnya, Agnes pergi meninggalkan kediaman Keluarga Wistara. Henry melarangnya menggunakan mobil keluarga, sehingga Agnes memesan taksi online. Kini, taksi itu membawanya ke sebuah hotel tak jauh dari kantor Wistara Group. Saat menunggu taksi online tadi, Melisa sempat mencoba membujuk Agnes untuk mengalah kepada Henry. Tentu saja, Agnes menolak. Dia memang telah berubah banyak sejak Morgan kembali ke kehidupannya. Kini, seterjal apa pun jalan yang akan dihadapinya, dia siap menempuh jalan itu. Rencana Agnes adalah menginap di hotel selama beberapa hari. Sambil menggarap proyek, dia akan mencari kos-kosan atau rumah kontrakan, atau mungkin apartemen. Meski selama ini dia juga mendapatkan uang bulanan dari Henry seperti anggota-anggota Keluarga Wistara yang lain, nominalnya tidak begitu besar, dan dia pun tak diberi hak untuk ikut menikmati laba perusahaan. Akibatnya kini dia harus benar-benar cermat melakukan perhitungan. Hotel yang dipilihnya itu pun
Sesuatu yang menempel di bawah bagian belakang mobilnya Morgan meledak, mengagetkan para pengemudi mobil lain di sekitarnya. Mobil Morgan itu sendiri sempat terangkat bagian belakangnya, dan kini bagian itu terbakar. Dengan cepat, mobil tersebut keluar jalur, menabrak pagar pembatas jalan dan terguling-guling ke ngarai. Setelah berhenti terguling-guling, ada jeda waktu beberapa menit, lalu mobil itu pun meledak. Ledakan kedua ini jauh lebih hebat daripada yang tadi. Dan kini, yang terbakar adalah seluruh bagian mobil. Di kejauhan, menggunakan teropong, seseorang memindai lokasi ledakan kedua. Karena ledakan itu lumayan besar, asap kini membubung ke udara, menghalangi pandangannya. Dia masih terus memindai, mencari-cari sesuatu di antara asap tebal dan api yang berkobar itu. Tak juga menemukannya, dia menyerah, meletakkan teropongnya. Kemudian dia melakukan panggilan telepon. "Bos, mobilnya sudah hancur karena ledakan, tapi aku tak melihat sosok orang itu," katanya. [Pastika