Saat akan menjawab pernyataan Ibu, pintu terbuka lebar. Ingin memaki pria yang pastinya Abian itu, namun mulutku tak bisa berkata-kata saat yang datang justru adalah Mas Akbar.Apa-apaan ini!"Apa yang…""Ada yang harus kita bicarakan.""Akbar, seharusnya kau bisa ketuk pintu terlebih dahulu. Atau setidaknya…""Bu, Tolonglah. Aku ingin berusaha untuk meyakinkan Mawar, bahwa aku ingin meneruskan pernikahanku dengannya. Jadi, Ibu keluar saja dan beri kami ruang Untuk bisa membicarakan ini semua dengan kepala yang dingin."Sania menatap wajahku, aku tak dapat mengartikan ekspresi wajah beliau. Tapi, entah mengapa rasanya hatiku terasa tercubit saat Ibu mertuaku itu mengatakan kebenaran sesungguhnya.Saat Ibu mertuaku sudah keluar, Akbar berjalan ke arah tempat dudukku. Pria itu memilih untuk duduk di tempat yang sama diduduki oleh Ibu mertuaku. Pandangan kami bertemu, kalau dulu aku mengaguminya, kali ini rasa itu sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh perilaku Mas Akbar yang kian menj
"Jangan berani-berani menuduhku melakukan hal-hal diluar batas kemampuanku."Aku tersenyum sinis Mendengar jawaban Mas Akbar. Pria itu masih saja mengelak."Lalu, kalau bukan kau. Siapa Mas?"Mas Akbar mendekat ke arahku. Ingin rasanya untuk menghindari tatapan matanya dan pergi dari tempat dudukku. Tapi, harga diriku melarangku untuk beranjak dari tempat dudukku. Walaupun ditatap tahan seperti itu, aku tak gentar menghadapi suami tak tahu malu seperti Mas Akbar ini.Mas Akbar menggeser meja agar bisa duduk jongkok di hadapanku."Apa aku tidak memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan hatimu lagi?""Tidak, kau sudah mendapatkan semua kesempatan itu. Tapi, tak ada satupun kesempatan yang kau gunakan dengan baik." Jawabku sambil tersenyum menatap wajah pria yang dulu sungguh membuat hatiku berdebar kencang, setiap kali berhadapan langsung dengannya."Tapi, aku sungguh mencintaimu Mawar. Aku bersumpah, bukan aku pria yang ada di dalam video tersebut."Mas Akbar meraih tanganku, lalu dig
Sania menatap wajah suaminya yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya. Setelah bertemu dengan Mawar, Ia memutuskan untuk pergi menemui Sandoro. Berharap suaminya itu mau mendengarkan perkataannya."Apa yang kau inginkan? Untuk apa datang ke kantor?" tanya Sandoro tanpa menatap Sania. Pria itu masih setia fokus dengan dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya "Lebih baik kita menyingkirkan wanita itu. Kau pasti tidak menginginkan sebuah perceraianmu pada rumah tangga Akbar.""Menyingkirkan…Mulan?"Sania mengangguk mengiyakan."Tidak.""Kenapa, Mas?""Apa Mawar bisa bertahan dengan kondisi Akbar? Menantumu itu belum mengetahui secara pasti bahwa Akbar memiliki kelainan seksual. Apa kau belum juga memahaminya! Mulan adalah alat untuk menyalurkan kelainan anak kita. Mulan hanya sekedar boneka, tidak lebih."Sania memejamkan kedua matanya, Ia merasa bahwa selama ini Sandoro terlalu memanjakan Akbar. Sehingga anaknya itu tidak memiliki kompeten dalam hal menyelesaikan sebuah ma
"Jangan bicara sembarangan, Abian! aku akan pulang untuk menemui Mama dan papa. Ada hal yang ingin aku tanyakan pada mereka. Setelah bertemu dengan Ibu mertuaku dan Akbar, rasanya tenagaku habis diserap oleh mereka."Abian mengangguk, tak keberatan jika aku langsung pulang tanpa membantu keadaan Restoran yang sedang ramai pengunjung."Aku akan mengantarkan dirimu, pulang. ""Tidak, aku…""Tidak ada penolakan."***"Apa Mawar telah mengajukan gugatan perceraiannya?"Sania tersenyum seraya menganggukan kepalanya."Kurang ajar! Berani sekali anak itu mempermainkan diriku. Sudah aku katakan, dalam keluarga Sandoro tidak ada yang namanya perceraian. Dia harus diberikan pelajaran, agar tidak semena-mena terhadap anakku."Sania menatap iba pada suaminya itu. Dalam hal ini, seharusnya Sandoro dapat mengerti tentang hal yang dirasakan oleh Mawar, menantunya itu pasti merasakan sakit hati luar biasa karena kesalahan Akbar yang telah berselingkuh pada Mulan. Namun, nyatanya Sandoro justru menyala
Sania membekap mulutnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berfokus pada gendongannya pada Nathan. Bayi itu nampak tenang, namun dirinya bagaikan kayu jati yang telah dibakar. Panas membara.Kedua matanya hanya mampu menatap wajah Sandoro yang begitu menikmati service yang telah diberikan oleh Jenny. Wanita berwajah cantik itu sudah tak memperdulikan bahwa dirinya telah melakukan hal-hal diluar batas bersama bosnya.Sania terduduk lemas, ingin meninggalkan ruangan Sandoro, tapi kedua kakinya tak dapat digerakkan. Sinyal yang dikirimkan oleh otaknya, tak mampu dilakukan dengan baik.Sania ingin memalingkan pandangannya, namun. Lagi-lagi, otak dan matanya tidak bekerja dengan baik, sehingga ia terus menatap ketika Sandoro menekan kepala Jenny agar maju mundur sesuai dengan keinginannya.Jenny begitu lihai dalam melakukan pekerjaan yang membuat Sandoro mendesah keenakan."Yes, baby. Bersiaplah, aku akan keluar…"Sania menyiratkan sebuah senyuman. Hatinya yang tadinya terluka
"Ayo masuk!""Abian, ini…"aku merapatkan tubuhku pada pria yang berdiri tepat di sebelahku."Kau takut?""Ini rumah tak berpenghuni. Sebenarnya apa sih rencanamu!" kesalku pada Abian saat pria itu masih bersikeras mendorong tubuhku agar masuk ke dalam rumah yang terlihat kotor sekali. Bahkan, di bagian atapnya banyak bersarang jaring laba-laba menghiasi sampai ke pintu."Kau akan menyesal jika tidak masuk ke dalam." bisiknya tepat di telingaku.dengan perasaan bercampur aduk, aku memaksakan diri untuk masuk ke dalam bersama dengan Abian. Rumah ini benar-benar membuatku merinding saat melihat isi rumahnya yang begitu berantakan."Abian, ayo ki…""Mawar. Akhirnya kau datang juga."Kedua netraku membulat sempurna saat melihat sesosok tubuh yang aku kenal."Jimmy?"Pria itu terlihat menyunggingkan senyumnya. Namun, senyumannya itu berbeda dengan Jimmy yang aku kenal. Jimmy yang kukenal memiliki lesung pipi setiap kali tersenyum. Sedangkan pria di hadapanku ini tidak memilikinya."Apa bena
Tubuhku menegang mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Jemmy. Walaupun pria itu terlihat begitu tenang dan santai saat mengatakannya, tetap saja. Kedua matanya yang terpejam membuat diriku merasa pasti Jemmy kembali merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang ia sayangi."Maksudmu…""Ayah mertuamu pelakunya. Jenny hamil, ia hanya menginginkan sebuah status untuk anak yang dikandungnya saat itu. Namun, takdir berkata lain. Jenny harus meregang nyawa di hadapan ibuku."Aku menutup mulutku terkejut bukan main. "Pasti kau bercanda. Mana mungkin, Ayah mertuaku melakukan itu semua. Aku yakin, pasti ada kesalah pahaman antara…" aku tidak meneruskan ucapanku. Sekelebat peristiwa yang menimpa Ayah, Abian dan Siti mengusik ketenangan jantungku yang kian berdebar-debar tak beraturan."Kau tak perlu mempercayai semuanya. Aku hanya ingin berbagi cerita kehidupanku.""Lalu, bagaimana dengan Ibumu?" aku berusaha untuk menenangkan diriku. Walaupun kenyataannya hatiku terasa tercubit
"Kenapa bertanya seperti itu?""Kalau kau hamil, itu bisa saja menjadikan senjata baru untuk Akbar. Ia tidak akan setuju bercerai padamu." Jawab Jemmy."Tidak, aku tidak hamil. Ayo Abian, aku sudah mendapatkan kabar Jimmy. Lebih baik kita pulang saja." Aku bangkit dari tempat dudukku, dan menarik tangan Abian agar mengikuti gerakanku."Apa kau berniat untuk menjalin hubungan dengan pria lain?" kembali Jemmy menanyakan hal yang tak masuk akal."Jangan berani-berani membahas masalah pribadiku."Raut wajah Jemmy kembali menampilkan senyum tipis dan tidak dapat aku artikan."Jangan mencari masalah Jemmy, karena Mawar adalah milikku." Abian menarik tanganku dan digenggamnya begitu erat. Setelah mengatakan hal tersebut, kami meninggalkan Jemmy yang masih setia duduk di sofa.Di lain tempat, Sania memilih untuk pergi ke sebuah Restoran langganannya. Hatinya masih terasa perih mengingat kejadian yang baru saja ia alami. Sandoro harus mendapatkan hukuman setimpal atas semua hal yang ia lakukan