Share

Kecurigaan Kania

Nisya masih membeku saat Dika memandangnya tajam. Lelaki itu seolah berkata, Kenapa kamu datang ke sini nggak bilang aku dulu?

Beruntung Kania segera memutus tatapan tajam Dika dengan menyambut Nisya. Istri dari Dika itu lekas memeluk Nisya. Kania menganggap Nisya sudah memaafkannya atas tuduhannya kemarin.

"Nis, aku seneng kamu dateng. Sorry ya atas sikapku tempo hari," kata Kania dengan ceria. Ia bahkan tidak menghiraukan sikap Nisya dan Dika yang masih mematung. Di pikiran Kania hanya ingin segera membuat Aksara lekas sembuh, dengan bantuan Nisya.

"I-ya, Kan. Enggak pa-pa," ucap Nisya sambil terus melihat ke arah Dika. Namun, Nisya lekas beralih ke arah Kania saat sahabatnya itu kembali mengajaknya bicara.

"Untung kamu dateng sekarang, karena tadinya aku yang mau ke rumah kamu. Aksara, Nis."

"Emang kenapa, Kan? Aksara baik-baik aja, kan?"

kata Nisya dengan nada khawatir.

Kania tidak langsung menjawab. Ia malah melihat ke arah Dika.

"Kan, cepet jawab."

"Aksara lagi sakit, Nis. Demamnya nggak mau turun padahal udah dikasih obat. Dia juga rewel terus dan nggak mau makan." Kania melepas pelukan Nisya lalu menarik tangan Nisya ke kamar Aksara. Sedangkan Nisya yang masih terkejut dengan ucapan Kania hanya terpaksa mengikuti. Begitu pula dengan Dika yang mengekor di belakang keduanya.

Sebenarnya jika tidak ada Kania, Dika ingin langsung mengusir Nisya pulang. Tapi saat itu tidak mungkin Dika melakukannya. Lagipula ia juga berharap agar Nisya bisa membantu menyembuhkan Aksara.

Di kamarnya, bocah satu tahun itu masih tidur dengan gelisah. Nisya pun berinisiatif langsung menggendong Aksara. "Hai, Aksara ganteng. Tante Nisya kangen banget, deh."

Mendengar ucapan Nisya, seketika Aksara terbangun dan langsung tersenyum hingga membuat Kania melebarkan mata.

"Kayaknya dia kangen sama kamu, Nis. Tuh lihat dia tiba-tiba senyum. Padahal dari semalam nangis terus."

Dika yang melihat Nisya tengah menggendong Aksara seketika pucat. Ia pun lalu mengajak Kania keluar dan meninggalkan Nisya.

"Dek, sebaiknya kita tinggalin aja Aksara sama temen kamu."

"Kenapa, Mas? Aku kan masih mau bersama Aksara. Lagian aku mau lihat cara Nisya menenangkan Aksara."

Nisa yang wajahnya sama pucatnya dengan Dika melirik Dika. Ia pun juga berusaha untuk mengusir Kania dari kamar Aksara. "Iya, Kan. Kamu keluar aja dulu. Nanti kalau Aksara udah tenang aku bawa Aksara keluar."

"Ya udah kalau gitu, ayo Mas kita keluar," ucap Kania sambil menggandeng tangan Dika.

Tanpa diketahui oleh Kania, Dika sempat melihat ke arah Nisya dan memberinya kode dengan mata, sedangkan Nisya hanya mengangguk.

Sepeninggal Kania dan Dika Nisa langsung menutup pintu kamar dan menyusui Aksara. Sontak Aksara begitu lahap dan bahagia. Demamnya pun perlahan turun.

Di ruang tamu, Dika masih gelisah mengetahui kenyataan bahwa sekarang Nisya tengah ada di rumahnya bersama dengan Aksara. Kania yang melihat gelagat aneh Dika sejak Nisya datang tadi tak bisa menyembunyikan penasarannya. Ia pun langsung bertanya pada sang suami.

"Mas, kenapa wajahnya pucat gitu, sih? Kamu sakit?" ucap Kania sambil memegang dahi suaminya. "Enggak demam, kok."

"Mas enggak apa-apa, Dek. Mas cuma cemas sama keadaan Aksara."

"Oh, gitu, Mas. Tapi untunglah ada Nisya. Coba dengar, Mas, Aksara sejak tadi tidak menangis. Tapi, Mas ...." Kania menghentikan kalimatnya. Ia masih berpikir apakah akan menyampaikan kecurigaannya mengenai Nisya pada sang suami atau tidak.

"Kenapa, Dek?"

"Nggak jadi, Mas. Bukan apa-apa. Oh iya, Mas nggak berangkat kerja? Kan Aksana sudah tenang."

"Iya, kelihatannya begitu. Ya sudah mas berangkat kerja deh. Kamu baik-baik, ya. Nanti kalau ada apa-apa dengan Aksara, jangan lupa langsung hubungi mas."

"Iya, Mas. Sebentar aku siapkan bekal mas dulu. Kebetulan aku masih punya stok makanan siap saji di kulkas. Tinggal aku panasin sebentar," ucap Kania seraya tersenyum. Ia pun langsung menuju dapur.

Dika hanya mengangguk. "Ya sudah, mas tunggu."

Sepeninggal Kania ke dapur, Dika lekas menemui Nisya di kamar Aksara. Dengan sangat perlahan Dika membuka pintu kamar Aksara yang tidak dikunci itu. Sontak lelaki itu langsung membelalak saat ia melihat Nisya tengah menyusui Aksara. Begitu pula dengan Nisya yang sama terkejutnya.

"Eh, Mas. Kamu ngapain di sini? Gimana kalau nanti Kania lihat?" kata Nisya sambil melirik ke luar. Namun, pipinya tiba-tiba memerah, jantungnya pun mulai berdegup kencang. Keberadaan Dika di kamar Aksara membuat hatinya mendadak berbunga.

"Kania, dia lagi masak sebentar. Gimana Aksara?" Pandangan Dika kini mengarah ke Aksara yang terlihat tenang. Sontak, Nisya cepat mengancingkan kembali bajunya lalu memberikan Aksara pada Dika.

"Nih, Mas. Kamu gendong dia sebentar. Syukurlah demamnya sudah turun."

"Syukurlah." Dika menciumi wajah Aksara lalu memberikan putranya kembali ke Nisya. "Nis, kamu hati-hati. Jangan sampai Kania tahu kalau kamu menyusui Aksara."

"Iya, Mas. Makanya pintunya aku tutup."

Selama beberapa menit kedepan keduanya terdiam. Nisya meski sambil menggendong Aksara tapi pandangan matanya terus menatap Dika yang juga tengah menatapnya.

"Mas Dika kenapa sudah lama tidak ke rumah? Aku kangen. Tujuanku ke sini selain untuk menemui Aksara adalah untuk menemuimu, Mas."

"Stss. Jangan kencang-kencang ngomongnya. Nanti Kania dengar."

"Biar aja. Biar aja dia tahu. Kalau perlu kita bilang aja sekarang semuanya ke dia," ucap Nisya penuh emosi. "Aku kan ingin juga tinggal sama kamu dan Aksara, Mas."

Dika mulai panik karena Nisya malah bicara semakin keras. Ia pun langsung menutup mulut Nisya dengan tangan. "Kamu tenang dulu. Jangan berisik. Maafkan aku, Nis. Aku sedang tidak bisa ke rumah. Tapi nanti aku usahakan segera ke sana. Ingat perjanjian kita. Kamu kan yang menginginkan semua ini. Dan kamu sudah tahu konsekuensi apa yang akan kamu terima."

Mendengar ucapan Dika, Nisya mendadak diam. Ia juga menggigit bibirnya sambil membuang napas kasar. Dulu ia memang memilih jalan berbatu ini hanya demi bisa bersama Dika. Tapi kenapa setelah dijalani rasanya tidak semudah yang ia pikirkan?

"Ya sudah. Aku mau berangkat ke kantor dulu." Dika pun cepat mencium kening Nisya lalu keluar kembali meninggalkan Nisya dan Aksara. Tak lupa ia segera melihat kanan kiri dan mengecek keberadaan Kania. Beruntung istrinya itu masih berada di dapur.

Namun, tanpa disadari oleh Dika, Kania melihat jelas saat suaminya itu keluar dari kamar Aksara. Kania bahkan sempat membelalak dan bersembunyi saat menyaksikan Dika tengah menuju ke arahnya.

Kania mengepal tangannya kuat-kuat. Dadanya sesak. Aneka pikiran buruk sudah memenuhi kepalanya. "Sedang apa Mas Dika dan Nisya di kamar Aksara? Apalagi pintunya tertutup. Apa yang sebenarnya Nisya dan Mas Dika lakukan di belakangku?"

Wajah Kania sontak menegang. Namun ia memutuskan tidak akan gegabah. Ia akan mencari tahu lebih dulu ada hubungan apa antara suaminya dengan sahabatnya itu.

Saat Kania sedang merenung, tiba-tiba saja Dika sudah berdiri di belakangnya. "Dek, kamu kenapa mukanya ditekuk gitu?"

"Eh, Mas. Nggak apa-apa. Kamu udah mau berangkat?"

"Iya nih. Aku berangkat dulu, ya." Dika lalu mencium dan memeluk erat Kania. "Jangan lupa kalau ada apa-apa sama Aksara kamu cepat hubungi Mas, ya."

"Iya, Mas," jawab Kania lesu. Jika biasanya dia bahagia jika Dika memeluknya lama, tidak saat itu. Bahkan ia ingin cepat-cepat melepaskan pelukan Dika.

Setelah Dika pergi, Kania menuju kamar Aksara. Ia hanya mengintip lewat jendela karena khawatir akan membangunkan anak itu. Dada Kania kembali memanas saat melihat Aksara begitu anteng dalam pelukan Nisya. Sejujurnya jika Aksara tidak sedang sakit, Kania ingin sekali merebut bocah itu dari tangan Niisya. Tapi Kania tidak setega itu, karena Aksara pasti akan menangis.

Akhirnya Kania meninggalkan kamar Aksara dan kembali ke kamarnya. Di tengah pikirannya yang kusut, ia mencoba menyalakan televisi seraya berharap agar pikiran-pikiran buruknya segera pergi. Namun beberapa saat kemudian matanya membola. Di layar televisi tampak nama yang sangat familiar baginya. Mahar Putra Bumi. Kania yakin bahwa Mahar yang di televisi adalah teman SMA-nya dulu, karena hanya teman SMA-nya itulah yang mempunyai nama unik seperti Putra Bumi. Perlahan Kania tersenyum saat mengingat bahwa dulu Mahar sempat mengejarnya. Namun Kania hanya menganggap Mahar sahabat.

"Keren kamu, Har. Sekarang udah jadi pengacara," ucap Kania sambil sesekali menggeleng. "Sedangkan aku, yang dulu juara kelas malah cuma jadi ibu rumah tangga begini. Mana suami selingkuh lagi di belakangku." Tiba-tiba Kania terpikir sesuatu. "Apa aku minta tolong Mahar aja ya untuk bantu menyelidiki Mas Dika dan Nisya?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status