Share

Pertemuan

"Mas, kamu masih ingat kan sama Nisya? Sahabatku yang cantik banget itu, lho," ucap Kania saat tengah menemani Dika makan malam.

Sontak, Dika terbatuk-batuk sampai mengeluarkan sebagian isi mulutnya. Ia pun langsung meminum habis segelas air dingin di depannya.

"Mas, pelan-pelan dong makannya. Sampai tersedak gini." Kania menghampiri Dika lalu menepuk pelan punggung suaminya. "Udah enakan?"

"Mas nggak pa-pa, Dek. Udah enakan. Tadi kamu bilang apa?"

Kania kembali ke tempat duduknya semula sambil mengambil secentong nasi ke piringnya.

"Nisya, Mas masih ingat dia?"

Dika mengangguk pelan. "Memangnya dia kenapa?"

"Dia udah balik lagi ke sini. Kemarin dia datang ke rumah. Aneh deh, Mas, Aksara langsung anteng sama dia. Kayak udah kenal lama. Padahal anak itu kan jarang mau digendong sama orang asing."

Dika seketika melebarkan matanya. Keringatnya mulai menyeruak dan membasahi wajahnya. "Jadi tanpa setahuku, Nisya sudah menemui Aksara? Dasar ceroboh! Gimana kalau Kania curiga?" Dika terus berucap dalam hati. "Ya, ya, pasti karena dia itu sahabat kamu, Dek."

"Iya, sih. Nisya juga bilang begitu. Tapi aku seneng sih, Mas, karena akhirnya dia balik lagi ke sini. Aku jadi nggak kesepian dan ada yang bantuin jagain Aksara."

"Ya su-dah. Tapi kamu hati-hati, Dek. Sahabat kamu itu kan belum punya anak. Mas takut Aksara diapa-apakan sama dia." Dika mencoba mencari alasan agar Nisya tidak sering datang ke rumahnya dan menemui Aksara.

"Maksud, Mas?"

"Ya kayak berita yang ada di tivi-tivi itu."

"Diculik?" Kania tertawa. "Mas ini ada-ada aja. Nggak mungkinlah Nisya menculik Aksara. Dia tidak sejahat itu. Lagian aku juga akan jagain Aksara dengan baik."

"Ya, Mas cuma kasih tau kamu aja biar lebih waspada."

Sejak nama Nisya disebut, jantung Dika berdentum, tangannya pun sudah basah. Beruntung sikap anehnya tidak terlalu diperhatikan oleh Kania yang sedang fokus mengambil makanan.

***

Siang itu Nisya datang berkunjung ke rumah Kania. Tentu saja tidak dengan tangan kosong. Banyak yang dibawanya untuk Aksara: susu, baju, mainan dan aneka hadiah lainnya.

Kania pun merasa terbantu dengan kehadiran Nisya, karena selama ini ia merasa kerepotan mengurus Aksara dan mengurus rumah sekaligus. Sampai suatu hari, saat Kania meninggalkan Aksara berdua dengan Nisya karena ia harus memasak, Kania merasa ada yang aneh dengan kedekatan Nisya dan Aksara. Dari arah belakang, ia memergoki Nisya seperti sedang memberi Aksara ASI. Seketika mata Kania membola. Kania pun lekas mendekati Nisya.

"Nis, kamu lagi ngapain? Kamu ngasih ASI ke Aksara?" cecar Kania dengan mata berkilat.

Wajah Nisya seketika pias. Cepat-cepat ia menutup kancing atas bajunya dan menimang-nimang Aksara yang sudah terlelap.

"Sttss, Kan. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Aksara udah tidur."

Kania menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat mulut. Setelah berhasil menguasai emosinya, Kania mengambil Aksara dari pelukan Nisya. "Sini, biar aku taro dia di boks-nya. Kamu tunggu di sini."

Setelah meletakkan Aksara di kamar, Kania kembali menemui Nisya yang sedang minum air putih.

"Sekarang coba kamu jawab pertanyaanku tadi."

"Aku nggak ngasih Aksara ASI, Kan. Aku cuma ...." Nisya tidak langsung menjawab seraya mencari jawaban. "Aku cuma ngedeketin dia ke dada."

Jawaban Nisya membuat Kania mengerutkan dahi. Tadi, dia memang hanya melihat Nisya dan Aksara dari belakang, tapi ia sangat yakin kalau Nisya sedang memberi ASI pada Aksara. Meskipun ia belum pernah menyusui ia tahu bagaimana posisi seseorang jika tengah menyusui.

"Yang aku tau, anak kecil itu akan sangat nyaman kalau mendengar detak jantung ibunya. Itu bisa bikin dia tenang."

"Tapi, kan, kamu bukan ibunya Aksara, Nis. Yang ibunya itu aku." Kania masih kesal.

Sedangkan Nisya berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam. Ia pun mengepalkan tangan kuat-kuat agar emosinya tidak terpancing.

"Iya aku tau, aku cuma mau bikin anak itu nyaman aja. Kan selama ini Aksara juga nyaman aku gendong. Udahlah. Kamu kenapa si, Kan tiba-tiba marah gitu? Padahal aku cuma mau bantu kamu buat nidurin Aksara." Nada suara Nisya meninggi membuat Kania terkejut.

"Iya tapi ...."

"Alah udahlah. Aku balik."

"Nis, tunggu."

Kania mencoba untuk mencegah kepergian Nisya, tapi Nisya terus melengos dan meninggalkan Kania tanpa pamit.

Setelah kejadian itu, Nisya tidak sering lagi datang ke rumah Kania. Hal itu membuat Aksara lebih rewel daripada biasanya.

"Duh, kamu kenapa sih, Nak? Kan barusan sudah Ibu kasih susu," ucap Kania yang sedang bingung mendiamkan Aksara.

"Kenapa, Dek? Aksara dari tadi rewel terus, ya?" Dika yang mau berangkat bekerja menghampiri istri dan bayinya.

"Iya ni, Mas nggak tahu kenapa. Padahal udah aku kasih susu."

Dika pun lekas menggendong Aksara. "Badannya agak demam, Dek. Pantas aja dia rewel."

Kania terperenyak lalu cepat-cepat menyentuh dahi Aksara. "Oh iya. Tapi tadi dia enggak pa-pa, Mas. Gimana nih?"

"Ya udah. Mas nggak berangkat ke kantor. Kita bawa Aksara ke dokter."

Mereka berdua pun membawa Aksara ke rumah sakit terdekat. Namun, sepulang dari sana Aksara tetap rewel. Meski sudah diberi obat dia tidak juga mau tidur.

Tiba-tiba Kania teringat pada Nisya. "Mas apa kita panggil Nisya aja, ya?"

Ucapan Kania membuat Dika membelalak. "Nisya? Apa hubungannya sama dia?"

Kania pun menceritakan perihal kedekatan Aksara dengan Nisya. Bahkan ia juga menceritakan saat ia melihat Nisya sedang menyusui Aksara.

Sontak, wajah Dika semakin menegang. Dahinya pun sudah berpeluh.

Tanpa disadari oleh Dika, Kania memperhatikan sikap suaminya itu.

Kenapa wajah Mas Dika kelihatan pucat? Apa ada hubungannya dengan Nisya? Kania membatin. Ingatannya tentang Aksara dan Nisya satu per satu muncul di kepalanya. Mulai dari wajah Aksara yang sangat mirip dengan Dika dan kedekatan Aksara dengan Nisya. Ada apa sebenarnya?

Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu. Nisya tiba-tiba sudah muncul di rumah Kania. Ia pun langsung masuk karena mengira Dika sudah berangkat ke kantor.

"Assalamualaikum, Kan, sorry aku langsung masuk. Aku kangen sama Aksara. Mana dia?" Namun wajah Nisya seketika pucat saat ia bertatapan dengan Dika yang tengah berdiri di depan pintu. "Mas Dika?"

Dika pun tak jauh berbeda. Matanya sontak membulat dan refleks ia memelototi Nisya.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si kania instingnya sebagai istri udah mati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status