Mendengus gusar Putri Budukan mendengar rentetan kata yang penuh makna sindiran itu. Sekali lagi, dia mengedarkan pandangan. Dan, terkesiaplah dia ketika melihat seorang lelaki setengah baya tengah berdiri tegak di dekat tubuh Dewa Geli.
"Heran aku... " kata Putri Budukan dalam hati.
"Bagaimana orang itu bisa muncul tanpa sepengetahuanku? Apakah dia yang telah mencederai bahu kananku?"
Terbawa rasa penasaran, bergegas Putri Budukan meloncat ke hadapan sosok lelaki yang baru muncul. Ditatapnya sekujur tubuh lelaki itu penuh curiga.
"Hmmm.... Menilik garis-garis wajahmu, aku seperti pernah mengenal dirimu...," ujar Putri Budukan, lirih seperti menggumam.
Lelaki yang berdiri di dekat Dewa Geli tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang terayun-ayun dimainkan hembusan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap dan mengenakan pakaian putih-putih dengan sabuk pinggang kain biru. Berwajah tampan rupawan. Dan, kulit tubuhnya pun tampak putih bersih seperti kulit
Sambil menggembor keras, Putri Budukan menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua larik sinar hijau kemerahan yang amat menggidikkan melesat cepat ke arah Ksatria Seribu Syair!"Manusia jahat pasti akan menerima buah kejahatannya!" Seru Ksatria Seribu Syair. Lelaki yang diam-diam telah mempersiapkan ilmu 'Pembalik Tenaga Lindungi Jiwa' itu menarik kedua tangannya ke belakang sejajar pinggang, dan langsung dihentakkan ke depan. Seberkas cahaya putih kebiruan tiba-tiba melesat, memperdengarkan suara mendengung seperti ada ribuan lebah sedang terbang!Lalu....Blarrrr...! Blarrr...!Dua ledakan terdengar menggelegar di angkasa. Paduan cahaya warna-warni menyembur ke mana-mana. Hingga untuk beberapa saat, suasana malam di Puncak Kupu-kupu jadi terang benderang. Namun, di balik keindahan yang sempat tercipta, tampaklah satu pemandangan menggiriskan.Gumpalan tanah dan bongkah-bongkah batu berhamburan ke segenap penjuru. Batang-batang pohon tumb
"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai memutar lidah, Pak Tua," sahut Baraka. "Aku bisa mengerti apa yang kau katakan. Tapi, tentu saja aku tak mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun bersedia menolongku...."Mendengar ucapan Pendekar Kera Sakti yang terus terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian kalinya."Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"Berkerut kening Baraka seketika. Ditatapnya lekat-lekat wajah Setan Bodong yang masih terbaring telentang di cekungan tanah. Karena merasa tak enak hati mendengar sindiran kakek gendut itu, akhirnya Baraka berkata, "Aku bernama Baraka. Kalau ingin tahu gelarku, aku akan mengatakan. Tapi, harap kau tak
Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap lekat wajah Pendekar Kera Sakti. Lalu katanya, "Kau sudah tahu kalau aku bergelar Setan Bodong, bukan? Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi tidak bodong, bukan? Pusar ku biasa-biasa saja....""Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir dengan gelarmu itu?" tanya Baraka, penasaran."Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itulah orang-orang memberi ku gelar Setan Bodong. Tapi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya....""Mencopotnya?" kejut Baraka."Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, seluruh ilmu kesaktianku lenyap....""Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua," dengus Baraka. "Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku yang sudah tak bisa d
Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair yang terasa begitu dekat dengan telinganya....Di antara sesama manusia....tak ada istilah menanam budiApa yang telah kulakukan tak lain darikewajiban di antara sesama umatYang Kuasa menciptakan manusia adalah untuktolong-menolong dan bantu-membantuAndai ada seorang manusia sanggup memberiuluran tangan Tapi tak memberi bantuanBerdosalah orang ituKarena, dia telah lupa pada kodratnyaSebagai makhluk Tuhan yang harus selaluberbuat baik kepada sesamaKenapa tenaga mesti disimpan dan tangandisembunyikan bila ada yang memerlukan"Ketahuilah, Bocah....Merasa berhutang budi itu bagus
Karena rohnya telah lepas dari badan kasarnya, dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena topeng itu sama persis dengan topeng yang dikenakan Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar menyangkanya benar-benar sebagai Hantu Pemetik Bunga."Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar."Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau mempertanggungjawabkan seluruh dosamu itu!""Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap orang itu. Tapi, aku benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!""Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga! Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu itu!""Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga dengan b
"Hmmm...," Baraka tersenyum. "Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Kakek Setan Bodong. Aku akan segera kembali...."Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Baraka berkelebat meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati berdebar. Haruskah dia menyusul."Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Aku percaya pada ilmu kesaktian Baraka. Sebaiknya, aku kembali...."Kemuning berusaha menghilangkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Baraka. Dengan langkah berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu. Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah di cekungan tanah.Sementara itu, Baraka berlari cepat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama 'Kelana Indra'. Baraka tampak tergesa-gesa sekali. Dia memang tak mau kehilangan waktu. Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar dia bersama Kemuning dapat secepatnya
"Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terbalik! Yang harus ditempelkan adalah bagian ujungnya yang besar itu!"Setengah berteriak Setan Bodong memberi petunjuk pada Pendekar Kera Sakti yang telah kembali ke rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani menatap gumpalan daging di tangan Pendekar Kera Sakti karena merasa jijik dan ngeri."Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan Bodong, tak sabaran.Pendekar Kera Sakti yang sebenarnya juga menyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau membuang waktu. Tergesa-gesa sekali murid Eyang Jaya Dwipa itu mengikuti petunjuk yang diberikan Setan Bodong.Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gumpalan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya, Baraka dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tubuh Setan Bodong yang semula kuning pucat berubah merah matang seperti warna buah tomat masak. Warna merah itu menjalar dari gumpalan daging yang telah melekat di tengah perut si kake
Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam."Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru Setan Bodong kemudian.Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh Baraka yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua pergelangan tangannya menekuk dengan jari-jari terkepal. Bunga-bunga es biru langsung rontok."Uh...!"Pendekar Kera Sakti mengeluh pendek. Perlahan dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di atas tanah tempat terbaringnya tubuh Baraka tadi, telah tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru."Itukah batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...?" desis Kemuning.Setan Bodong tak menjawab."Ya, Tuhan...," sebut Baraka seraya memungut sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya. Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemuning. Tanpa sadar dia memeluk dan mencium p