Setelah menghapus peluh di wajahnya, pemuda lugu itu merapikan pakaiannya yang kedodoran. Namun mendadak, dia terkesiap. "Astaga! Suling Krishna-ku lenyap!" serunya.
Walau telah memutar pandangan dan mencaricari di beberapa tempat, Baraka tetap tak dapat menemukan senjata andalannya. Maka, menggeram marahlah dia teringat akan sosok Danyangsuli yang telah memasang perangkap terhadapnya.
"Pasti wanita itu yang membawa senjataku!" pikir Baraka. "Aku harus cepat keluar dari tempat ini. Aku harus merampas kembali senjataku sebelum dia menggunakannya untuk tujuan tak baik!"
Karena desakan rasa khawatir, Baraka meloncat mengikuti jalan di lorong gua. Namun tanpa diketahuinya, ada sebentuk benteng gaib yang menahan luncuran tubuhnya. Hingga....
Jder...!
"Argh...!"
Diiringi suara ledakan seperti genderang dipukul keras, tubuh Baraka terpental balik lalu jatuh bergulingan di lantai gua. Walau tak mendapat cedera berarti, tak urung sekujur tubuhnya ter
"Jahanam! Apa yang kau lakukan di sini, Padempuan"!" tegur Danyangsuli, keras menggelegar."Tahan hawa amarahmu dulu, Suli...," sahut Sasak Padempuan, tenang. "Sengaja aku mendatangimu di tempat ini karena ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.""Tapi..., sungguh tidak pada tempatnya bila kau menungguku ketika aku dalam keadaan seperti ini, bukan?" tegur Danyangsuli lagi, duduk mendeprok di dalam air. Namun, tubuh bagian atasnya tetap saja terlihat dengan jelas."Jangan berlagak sok alim, Suli...," cibir Sasak Padempuan. "Aku tahu siapa dirimu. Bagaimanapun, kita pernah menjadi sepasang kekasih. Kita pernah menikmati kebahagiaan bersama-sama. Oleh karenanya, tak perlu kau bersikap ketus macam itu. Kau bukan gadis belia yang akan marah ketika tubuh telanjangnya diintip orang. Tubuhmu memang amat menggiurkan, Suli. Tapi, aku datang bukan untuk mengintip ataupun mencoba menikmati keindahan tubuhmu itu. Ada sesuatu yang memang harus kubicarakan denganmu. Seger
Kemauan keras untuk dapat terus hidup membuat Sasak Padempuan tak sampai jatuh pingsan, walau rasa sakit merejam sekujur tubuhnya. Putaran angin puting beliung membuat tubuh si pemuda berputar-putar terhisap, dan terhempas mengikuti ke mana angin itu membawanya. Bukan saja tulang-belulangnya terasa telah hancur berantakan, Sasak Padempuan juga merasakan kepalanya amat pening bagai dipukuli palu godam. Namun, semangat hidup pemuda itu benar-benar bagai api yang terus menyala, sehingga membuatnya dapat mempertahankan kesadarannya.Meski samar-samar Sasak Padempuan dapat melihat bagaimana keadaan puncak Bukit Silambar yang akan segera menyambut luncuran tubuhnya. Puncak bukit yang terletak cukup jauh dari perkampungan Suku Asantar itu dipenuhi bongkah-bongkah batu besar. Kalau tidak tersangkut di dahan pohon, pastilah tubuh Sasak Padempuan akan hancur berantakan bila jatuh di tanah berbatu-batu itu!Menyadari nasibnya yang akan segera dijemput ajal, tak dapat lagi Sasak P
"Apa yang Sangkuk katakan memang masuk di akal. Tapi, bagaimana dengan Baraka? Kenapa dia turut menghilang? Apakah memang ada orang jahat yang tidak suka melihat kehadirannya di Perkampungan Suku Asantar ini? Dan, bermaksud mencelakakan pemuda itu?""Begitulah kira-kira. Menurut dugaanku, entah didahului dengan peristiwa apa, Sadeng Sabantar dijadikan semacam sandera oleh seseorang yang punya maksud tak baik terhadap Baraka. Silasati yang amat mencintai Sadeng Sabantar dipaksa untuk membawa Baraka keluar dari rumah ini. Lalu setelah Baraka jatuh ke tangan orang jahat itu, Silasati dan Sadeng Sabantar menjadi amat ketakutan karena merasa bersalah telah menjerumuskan seorang tamu terhormat macam Baraka. Dan, karena rasa bersalah itulah mereka tak berani menampakkan diri di Perkampungan Suku Asantar ini. Yang merasa ketakutan itu terutama Silasati. Kalau dia muncul, bukankah kau bisa mengorek keterangan dan memaksanya untuk bicara? Bukankah kau yang menjadi saksi perbuatan Silas
Cusss...!"Akkhhh...!"Memekik parau lagi Sasak Padempuan. Gumpalan sinar merah berbentuk kerucut masuk perlahan ke tubuh Sasak Padempuan. Pada waktu masuk itulah Sasak Padempuan merasakan siksaan yang amat menyakitkan. Sekuat tenaga dia berusaha menahan rasa sakit itu. Karena kalau dia tak tahan dan sampai jatuh pingsan, maka sia-sialah usaha Danyangsuli yang hendak mengembalikan kekuatan ilmu sihirnya."Tahan, Padempuan! Sedikit lagi! Sedikit lagi!" seru Danyangsuli, tetap menyorongkan cincin mustikanya ke arah Sasak Padempuan.Tak ada yang dapat dilakukan Sasak Padempuan kecuali menjerit-jerit dan melonjak-lonjak bagai orang kesurupan. Namun tak lama kemudian, gumpalan sinar merah lenyap. Masuk semuanya ke tubuh Sasak Padempuan. Dan, Sasak Padempuan pun tak lagi tersiksa oleh rasa sakit. Rasa sakit yang semula merejamnya kini lenyap tanpa sisa. Bahkan, tubuhnya malah terasa amat ringan dan segar bugar!Angin yang berhembus di kala mentari bersin
Dengan peluh bercucuran, tubuh Danyangsuli tergolek lemas di lantai gua. Sedikit malas dia rapikan lagi letak pakaiannya. Sementara, Sasak Padempuan yang telah mengenakan kembali pakaiannya langsung berdiri berkacak pinggang. Tatapannya pada Danyangsuli berubah sinis dan terlihat amat menghina."Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar telah terjadi padamu, Suli?" ujar si pemuda.Perlahan, Danyangsuli beringsut duduk. Dibalasnya tatapan Sasak Padempuan dengan segudang tanda tanya di hati."Jawab pertanyaanku, Suli! Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar telah terjadi padamu?" ulang Sasak Padampuan."Peristiwa apa?" selidik Danyangsuli. "Kenapa sikapmu berubah begini aneh, Padempuan? Baru saja aku menuruti kemauanmu, apakah kau hendak balas kebaikanku ini dengan sikap anehmu itu!""Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padempuan. "Belum pernah aku berjumpa dengan orang tolol sepertimu, Suli!! Kematianmu sudah di pelupuk mata, kenapa kau sam
Mendengus gusar Danyangsuli. Wajahnya yang cantik berubah garang dan tampak penuh nafsu membunuh. Lalu dengan bola mata melotot besar, dia berkata...."Boleh kau menyebut dirimu sebagai Raja Alam Sihir, tapi buktikan dulu kemampuanmu!"Untuk melepas hawa amarah dan kebenciannya, wanita berkulit kuning langsat itu menjulurkan kedua tangannya ke depan. Melihat sikapnya, jelas bila dia hendak mengeluarkan ilmu sihirnya. Hingga terlihat kemudian...."Naga Petinggi Neraka datang! Melumat habis tubuh sialmu itu, Padempuan! Hom asantarnas hawarnas... samlas...!"Aneh! Dari ujung sepuluh jari tangan Danyangsuli mengepul asap putih kemerahan. Kepulan asap itu semakin lama semakin menebal, lalu membentuk wujud seekor naga terbang yang siap mencabik-cabik tubuh Sasak Padempuan!Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, cepat Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangannya ke depan. Dengan bantuan daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa', dia keluarkan salah satu ilmu s
"Sedikit banyak, aku bisa merasakan apa yang tengah kau rasakan saat ini, Baraka...," ujar Danyangsuli, penuh kesungguhan."Jangan heran jika kau melihat keadaanku jadi seperti ini. Ini semua terjadi karena kebodohan dan kecerobohanku....""Kau yang membebaskan aku?" tanya Baraka."Ya," jawab Danyangsuli."Lalu..., kenapa kau terluka? Dan, siapa yang melukaimu? Bancakluka? Bancakdulina?" tanya Baraka lagi, agak tergagap. Iba juga hatinya melihat Danyangsuli yang terus meringis kesakitan. Tapi, haruskah dia memberi pertolongan? Sementara, dia tahu bila wanita itu adalah seorang ahli sihir yang amat berbahaya!"Tentu masih segar dalam ingatanmu, seorang pemuda bernama Sasak Padempuan....""Kenapa dengan dia?""Dialah yang telah membuatku seperti ini!""Dia? Bagaimana bisa? Bukankah kekuatan ilmu sihirnya telah dilenyapkan oleh para sesepuh Suku Asantar?""Ketahuilah..., sebenarnya Sasak Padempuan adalah kekasihku. Dan, sia
Di dalam sebuah rumah panggung besar, Bancakluka dan Bancakdulina duduk bersila dengan hati berdebar-debar. Sudah sepenanakan nasi lamanya mereka menunggu lima orang sesepuh suku yang tengah khusuk bersemadi.Di sisi kanan ayah dan anak itu tampak Bancaksika dan istrinya, yang tak lain dari orangtua Silasati. Sementara, di sisi kiri terlihat sepasang suami istri lain, sebaya dengan Bancaksika dan istrinya. Sepasang suami-istri yang tampak amat gelisah itu mengenakan pakaian bagus, terbuat dari bahan mahal. Yang wanita memakai perhiasan emas berlian di leher dan pergelangan tangannya. Dan, yang lelaki memakai hiasan cemeti emas di dada kiri. Keduanya adalah orangtua Sadeng Sabantar, salah satu keluarga terpandang di Suku Asantar. Mereka semua yang tengah duduk di atas anyaman tikar itu jelas menyimpan rasa tak sabaran. Rasa khawatir yang juga terpancar di sorot mata mereka.Lima orang sesepuh suku yang sedang duduk bersemadi memakai jubah hitam. Mereka bersedia menuruti