Asoka membantu Lenong Panama untuk melaut dan mencari ikan. Tiga ekor cakalang berhasil ditangkap. Saat kembali, beberapa warga sudah mengerubungi gubuk milik Kuntasena.
“Keluar kau dukun!” Teriak seorang warga berambut panjang membawa tombak tiga mata di tangan kanan. “Jangan mendatangkan kesialan baru dengan membawa manusia yang berlayar melewati selat Jawa!”
“Cepat keluarkan pemuda itu dari dalam gubuk!” Seorang perempuan yang nampaknya memiliki indera keenam, mengetuk pintu gubuk Kuntasena sangat keras.
Kuntasena keluar dan menenangkan warga di sekitar pelabuhan. Dia coba tenang menyikapi semua ini. Jika terpancing emosi, para warga tidak segan menerobos masuk dan membunuh Ranu.
Protes yang mereka layangkan sangat masuk akal.
Kemarin adalah malam dengan rasi bintang berbentuk serupa sabit dengan gagang panjang, yang berarti, Selat Jawa sedang mengalami fase pasang di mana para siluman akan
Di tengah keributan yang terjadi, datanglah seorang kakek tua dengan jenggot kecokelatan. Tangannya memegang sebuah tongkat.Di ujung tongkat, terdapat sebuah lubang yang tertutup. Lubang itu memancarkan energi kuat, namun tertekan oleh energi dari tongkat. Asoka bisa merasakannya, namun dia memilih diam.“Mmm, sepertinya aku harus menyambung telepati Prabu Wusanggeni, turnamen harus diundur lagi sampai Asoka selesai mengurus urusannya di Dwipa.” Si kakek hanya mengamati dari sisi lain penginapan, hanya duduk, diam, dan mendengarkan keluhan warga.Amarah Asokadisambutnya dengan senyuman.“Sama seperti Seno, energi Bunar Kumbara terlalu meluap dalam tubuhnya, dan itu yang membuatnya mudah terpancing emosi.”Beberapa detik sebelum keributan selesai dan warga bubar, kakek itu tiba-tiba menghilang dan entah pergi ke mana. Semua orang tidak ada yang menyadari keberadaan si kakek, kecuali Kuntasena.Sang dukun tahu jika
“Di mana letak kerajaan itu?” tanya Asokaantusias, dia tidak bisa menunggu lagi, pikiran tentang Ranu selalu menghantui pikirannya. Tidak sedikitpun Asoka ingat tujuan awalnya kemari adalah belajar ilmu baru dari Datuk Lembu Sora.Dia lebih takut kehilangan seorang sahabat baru dari pada melepas gelar juara di Turnamen Neraka Bumi yang diadakan oleh perguruan tempatnya belajar kanuragan, apalagi Ranu juga bersahabat akrab dengan Bayu.Asoka mendekati Lenong Panama, namun lelaki itu tidak memberi jawaban. Menanyakan pertanyaan yang sama pada Kuntasena, akhirnya pemuda itu mendapat jawaban memuaskan.“Dua hari perjalanan kalau kau berangkat dari pelabuhan.”Kuntasena berujar lirih, tapi pandangan matanya tetap melirik hamparan selat seraya memikirkan strategi agar Asoka bisa sampai Ringin Anom tanpa hambatan apapun.Hening berlangsung singkat sebelum Lenong Panama buka suara. “Kita berangkat sore hari nanti!”
“Masuklah, aku sudah menyiapkan makan dan ramuan khusus untuk menambah energi.” Kuntasena mengajak Asoka masuk lebih dulu seraya memilah bekal mana yang harus dibawa dan mana yang tidak perlu.Ramuan yang disediakan tentu satu gelas kopi hitam dengan campuran daun mint beserta empat rempah khusus yang hanya diketahui Kuntasena.Usai makan, mereka bersiap seadanya.Barang-barang bawaan diletakkan di atas kain berbentuk persegi empat yang ukurannya lumayan lebar. Hal itu lumrah terjadi untuk mereka yang tidak mampu membeli tas anyaman dan menggunakan tas kain sebagai alternatif.Di luar gubuk sudah ada dua pemuda menunggu. Mereka mantan awak kapal, murid Lenong Panama beberapa tahun lalu, dan sekarang, keduanyatinggal di sisi lain Dwipa. Mereka datang atas perintah Kuntasena.Berjalan menyusuri malam yang pekat di tengah hutan bakau, lima orang itu sampai di pintu masuk hutan. Lenong Panama dan Kuntasena berjalan di barisan depan, d
Asoka langsung memasang kuda-kudabegitu mendengar teriakan dari balik pohon.Hutan sangat gelap. Tidak ada penerangan kecuali dua lampu oblek bersumbukan kain minyak yang dibawa Karim, itupun hanya bisa menjangkau dua meter di bagian depan dan satu meter di bagian samping. Sisanya gelap total, tidak ada penerangan.“Keluar kalian! Kami tidak takut jika harus berhadapan satu lawan satu!” Kirom turun dari kuda dengan pedang terhunus.“Tuan Asoka, kami akan melindungimu sampai titik darah penghabisan. Kami sudah bersumpah pada Guru Kuntasena, dan seorang pendekar harus memegang teguh sumpahnya!” Karim ikut mengawasi sisi kiri Asoka.“Tidak perlu!” Asoka mencabut Pedang Kalacakra dari sarungnya. “Lindungi diri kalian sendiri, itu jauh lebih baik. Aku tahu kalian tidak tahu di mana keberadaan musuh, dan karena itu, gunakan kuda-kuda bertahan sampai kalian yakin, kalian keluar dengan selamat dari hutan bakau ini.&
Karim dan Kirom berjalan menyusuri gelapnya hutan, mereka tetap waspada, berjaga apabila pendekar misterius menyerang mereka dari segala sisi.“Kirom, kau bisa mendengarnya? Ada suara nafas memburu dari arah sana, kita harus cepat!”Keduanya sampai di dekat petilasan kedua hutan bakau, mereka tertegun karena Asokaberhasilmengalahkan pendekar itu. Mereka berdua mendekat dan bersyukur, Asoka tidak terluka sama sekali.Pedang Kalacakraditodongkan ke leher pendeakr misterius bersyal hitam hingga membuat goresan kecil di bagian kiri.Karimberjalan menuju Asokadan meminta agar pedang itu diangkat sedikit.Berjarak dua meter dari pendekar misterius, Kirommengamati tubuh pendekar tersebut dengan seksama. Sepertinya tubuh itu familiar;dari gagang pedangnya juga sering dia lihat, tapi entah kapandan di mana.“Buka topengnya!” perintah Asokapada Karim.“Jangan terl
Dalam ketegangan yang terjadi, Kiromkembali memohon pada Asoka.Pemuda dengan rambut cepak itu menyetujui hukuman potong tangan untuk sahabatnya, dia tidak bisa melawan lagi karena apabila melawan, Asoka bisa-bisa menghukumnya karena dituduh membela seorang penghianat.“Keputusan sudah bulat, tangan kiri Arya harus dipotong.” Asoka membuat keputusan, dia menoleh ke arah Karim, matanya menatap tajam.Karimmendapat perintah untuk memegangi bagian paha Arya, sementara Kirommenahan bagian lengan.Asokaperlahan melepas pijakannya dari leher Arya. “Tetap pegang dia kuat-kuat, jangan sampai ada ikatan yang lepas. Aku tidak peduli seberapa melasnya dia meminta belas kasih. Hukuman tetaplah hukuman!”Pedang Kalacakradikeluarkan dari sarung, lalu didekatkan ke lengan kiri pemuda itu. Sontak, senyuman Arya membuat Asokatertegun. Senyuman yang aneh, namun penuh misteri.“Pegang yang kuat
Pasukan pleton lima Serikat Zhang Ze bergerak menuju Pelabuhan Hakuma, mereka masuk melalui perbatasan Selatan, melewati beberapa penjaga yang menggunakan topeng samurai menyeramkan.Masing-masing membawa katana di tangan, ukurannya sekitar satu setengah meter.“Lihatlah mereka, perawakan dan pakaian seperti bangsawan. Aku sangat yakin, mereka adalah anggota Serikat Zhang Ze … cih, ada perlu apa mereka masuk ke Hakuma?”“Keberanian mereka patut diacungi jempol. Genderang perang belasan tahun lalu sudah ditabuh, tapi mereka nekat memasuki kandang musuh. Kita harus bersiap sebelum mereka mencari keributan di tengah kota.”“Jangan gegabah, Tuan Shisui belum memberi kita perintah. Mungkin mereka sudah berkirim surat pada Tuan Shisui jauh-jauh hari, dan karena itu mereka berani memasuki perbatasan.”Kapal terus berlayar, Luo Yi tidak memberi izin semua anggota serikat untuk keluar dari dek kapal.Ada ang
Penggalangan kekuatan yang dilakukan Serikat Zhang Ze berjalan lancar tanpa hambatan sekalipun. Mereka kembali dengan senyuman merekah, disambut makanan mewah di puncak Bukit Huan.“Kita tunggu sampai hari itu tiba. Satu tahun kiranya cukup untuk mengkoordinir pasukan besar Negeri Sakura.”“Tuan Meng Khi, apa tidak terlalu lama menunggu sampai satu tahun?” Mirana selaku sekretaris dua serikat menyampaikan pendapatnya. “Nusantara bisa menimbun kekuatan lebih besar lagi jika kita menunda penyerangan lebih lama lagi.”Xin Lumina, empat kader, dan para penasehat serikat mengangguk setuju dengan usulan Mirana, tapi tidak dengan Meng Khi, sang raja tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan.Dia tahu seberapa bahayanya pendekar Nusantara, lebih-lebih sejarah serikat mencatat bahwa Serikat Zhang Ze tidak pernah memenangkan pertarungan dahsyat jika Nusantara sudah terlanjur bersatu.“Negara kecil belum tentu memil