Barok mengangguk paham. Di padepokan Ajisaka, mereka diajarkan jurus bola api. Siapapun yang berhasil mengembangkan jurusnya hingga menjadi api merah, maka mereka lah yang berhak diangkat menjadi tetua perguruan.
Hal itu berhasil dilakukan Suryo dan Barok seorang. Sedangkan dua tetua lain adalah mantan murid Raden Kusuma saat masih menjadi Pertapa.
Rara menyerahkan pedang itu pada Asoka. Asoka masih tidak percaya ada pedang sebagus ini di tanah Jawa. Keindahan yang dimunculkan Pedang Segoro Geni benar-benar membuat siapapun tertarik untuk memilikinya.
Sayang, Asoka tidak begitu tertarik karena dia sudah memiliki Pedang Kalacakra pemberian Kong, teman akrabnya saat berada dalam jurang tanpa dasar dulu.
Mata Barok berbinar. Dia tidak hanya kagum, melainkan ingin memiliki pedang berpendar biru dengan ukiran ombak di gagangnya. Warnanya sangat memukau.
Rara menyadari ketertarikan mereka berdua. Tapi dia menangkap keraguan dalam benak Asoka. Di pinggang
Rekso menerima laporan bahwa serangan diundur sampai tengah malam. Artinya, empat jam dari sekarang mereka harus bersiap.Para pasukan pemanah menurunkan panah mereka. Busur beracun dikembalikan kembali ke tempatnya. Sementara panah yang sudah terlanjur dibakar api, dipadamkan, lalu dibuang agak jauh untuk menyamarkan bau.Ratusan pendekar aliran hitam yang mengelilingi padepokan Ajisaka tidur satu per satu. Joko berjalan ke arah Barat untuk menemui Rekso dan berdiskusi singkat.“Bagimana ini? Mereka tidak boleh tahu keberadaan kita di sini.” Joko seperti ketakutan. Wajahnya pucat mengingat adanya Langkir Pamanang di padepokan.Rekso menepuk pundak rekannya. Dia meyakinkan kalau misi ini akan berjalan lancar. “Kita sudah dilatih tuan Wusasena untuk menekan energi. Mereka pasti tidak tahu. Tenang saja, kita akan menyerbu kalau mereka lemah.”“Tapi, yang kita hadapi orang-orang terkemuka Ikatan Pendekar Nusantara. Apalag
Rara membuka peti dan menyingkirkan pakaian biru di dalamnya. Setelah berucap dengan bahasa yang tidak dipahami Asoka dan Barok, peti itu memancarkan cahaya kebiruan dan bergetar. Sedetik kemudian, peti itu kembali normal. Rara tersenyum. Dia meraih sesuatu di dasar peti. Ada sebuah kitab yang memang disembunyikan sebelumnya oleh Bhagawad Gita. Itu adalah kitab tentang dasar latihan untuk menjadi seorang pendekar pedang hebat. “Di dalamnya juga terdapat beberapa jurus Pedang Segoro Geni yang mungkin akan berguna di lain hari.” Rara berucap sambil tersenyum dan menyipitkan mata. Asoka menerima kitab itu. Sampulnya hampir sama dengan kitab kuno yang ia temukan di goa, namun warna kitab ini agak kebiruan. “Baiklah, aku akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.” “Mmm, sepertinya agak sulit untuk pemula. Tapi jika kalian bekerja keras, pasti pedang itu bisa dikuasai.” Rara menatap Barok tajam. Dia tahu kalau Barok belum pernah belajar tentang ilmu pedang
“Awas depanmu, Soka!” teriak Barok yang ternyata masih belum meninggalkan Goa Kalong.Asoka menoleh ke belakang dengan wajah merah. Dia sangat murka kepada Barok. “Kau pergilah lebih dulu! Biarkan aku yang menyelamatkan Pedang Segoro Geni.”“Tapi nyawamu lebih penting, Soka,” lirih Barok dengan wajah nanar.“Pergi atau kau kuhempaskan dengan kekuatan anginku!?” Asoka serius dalam hal ini. Matanya makin merah menyala, hingga membuat Barok gemetar ketakutan.Barok memutar badan. Dia berlari meninggalkan Asoka sendirian dalam goa. Yang ada di benaknya hanyalah, sebuah harapan agar Asoka bisa keluar dengan selamat, tak kisar apa dia berhasil menyelamatkan Pedang Segoro Geni ataukah tidak.Sambil menyingkirkan rumput tinggi di mulut luar goa, Barok menitikkan air mata. Dia sangat kesal terhadap sahabat barunya. Bagaimanapun juga, Asoka sangat egois.“Andai saja aku memiliki ilmu meringankan tu
Asoka masih tidak percaya. Dia sudah berada di luar goa.Namun, di sana, api merah sudah membakar rerumputan tinggi. Tidak ada waktu lagi untuk bertanya ataupun khawatir. Asoka harus menggunakan ilmu meringankan tubuh dan Ajian Sepuh Angin.Dalam sekejap, dia melayang melewati api merah milik Barok. Dia juga berhasil melewati jembatan gantung yang rapuh. Namun, tenaganya terkuras hebat karena terlalu banyak digunakan untuk Ajian Sepuh Angin.“Di mana Barok?” tanya Asoka kembali. Dia sepertinya lupa kalau menyuruh Barok untuk terus berlari. Yang ada di pikiran Asoka, Barok lari menjauhi Goa Kalong, lantas menunggunya di seberang jembatan.Tapi, yang dipikirkan Barok, bertolak belakang dengan pikiran Asoka.Barok beranggapan, Asoka tidak mungkin selamat dari reruntuhan goa. Belum lagi, api membara yang membakar semak belukar tinggi. Mustahil ada pendekar dengan kondisi energi terkuras, bisa selamat dari dua marabahaya itu, walau sekelas p
Joko bergerak memimpin hampir dua ratus anggota aliran hitam menuju padepokan Ajisaka. Suasana yang gelap gulita tidak membuat mereka kesulitan. Terlihat Joko mengambil lini paling belakang. “Bunuh semua orang yang kalian temui... jangan pernah sisakan satu kepala pun dalam pembantaian!” Mereka semua mengangguk. Sambil berjalan mengendap=endap, mereka sudah berada di dekat padepokan dan merapatkan tubuh ke dinding gubuk agar tidak diketahui keberadaannya. Sementara di dalam aula padepokan, Raden Kusuma akan memberi peringatan kepada seluruh muridnya agar bersiap dan pura-pura tidur. “Apa semua muridku sudah kau beritahu?” Tanya Raden Kusuma. “Semua sudah bersiap. Mereka membawa pedang masing-masing. Untuk pedang kawah putih, aku suruh mereka menyembunyikannya di dalam tanah.” “Kau memang bisa diandalkan, Langkir.” Di luar padepokan, Joko menyuruh anak buahnya berhenti belasan meter dari gerbang. Dia memusatkan tenaga di tanga k
Sesampainya di padepokan, Rekso dibuat terkejut karena separuh dari pasukan Joko sudah tumbang oleh seorang laki-laki. Auranya sangat kuat dan tekanannya terasa sekali. “Akulah lawan kalian sekarang,” ucap laki-laki tersebut. Dia tiba-tiba berdiri di belakang Rekso dan Joko di baris belakang pasukan Elang Hitam. Joko dan Rekso menoleh ke arah sumber suara. “Akhirnya kau keluar juga, Langkir bodoh! Ini adalah pembalasanku pada muridmu yang kurang ajar terhadap perguruan Elang Hitam!” Teriak Joko keras sekali. “Ahh, ternyata kau ditunggangi oleh tikus tengik bernama Wusasena itu ya... tidak buruk. Tapi ingatkah dulu kalian berdua pernah bersujud memohon ampun seperti pecundang?” “Jangan remehkan kami berdua, Langkir! Lima tahun berlalu dan kami sudah lebih kuat dari yang kau pikirkan. Ingatlah, ini adalah hari kematianmu!” Ki Langkir Pamanang sudah tahu kalau dirinya sedang dibidik oleh para pemanah di bagian Timur padepokan. Dia mengalihkan per
Tabrakan energi tersebut menimbulkan gempa, tapi hanya sebentar. Ki Langkir, Rekso, dan Joko sudah kembali dalam posisi kuda-kuda mereka.“Keluarlah, Pedang Kawah Welirang!” Ki Langkir berteriak keras.Dari kejauhan, muncul cahaya putih yang bersinar. Sinarnya menembus gelapnya hutan dan terhenti pada sebuah mustika berbentuk elang yang ada dalam genggaman Ki Langkir.Pedang tersebut melesat cepat dan sejurus kemudian sudah berada dalam genggaman Ki Langkir Pamanang. “Dasar murid tidak tahu diri!” Teriaknya sambil mengacungkan Pedang Kawah Welirang tinggi-tinggi.Joko mendeteksi ancaman yang terjadi. Dia bisa merasakan energi aneh dari pedang yang dipegang mantan gurunya. Semacam energi putih, tapi bukan kekuatan pendekar aliran putih.“Awas, Adik!” Joko mengingatkan Rekso akan Ki Langkir. “Pedang itu adalah pusaka kebanggaan Guru Langkir. Dia bisa memelar dan lentur sesuai perintah empunya.”R
Meskipun sudah lama tidak bermain pedang, Ki Langkir masih menguasai teknik dasar. Pergerakan tangan dan lekukan pergelangannya sangat lincah. Hal tersebut membuat Joko kerepotan.Ki Langkir diam beberapa detik untuk mengatur nafas. Ia pusatkan tenaga di kaki kanan dan melompat untuk melancarkan serangan kejutan. Serangan tersebut mengincari leher Joko namun bisa ditangkis dengan cakarnya.“Sialan! Kau masih terlalu kuat, Guru!” Joko mengumpat kesal.Rekso memperingatkan kakaknya, tapi sayang pandangan Joko sudah dibutakan oleh obsesi balas dendam kepada Ki Langkir. Kepercayaan dirinya menguasai. Dia sangat yakin bisa menang.Mata Ki Langkir menatap celah tersebut dan kesempatan ini dimanfaatkannya untuk menyerang lagi dan lagi. Saat Joko sudah terpojok, Rekso memanah mengincar tengkuk Ki Langkir, tapi sang sang pertapa berhasil menghindar.Ki Langkir meloncat ke atas dan memusatkan “Kekuatan Kawah Welirang!”Serangan