“Maafkan kelakuan putraku. Dia memang nakal dan nakalnya itu sampai besar,” ucap Adipati Banting Akar kepada keempat putra mendiang Nyai Wetong yang dia undang datang ke kediamannya.Awalnya, Codet Maut pulang melapor kepada Adipati Banting Arak tentang keberadaan keempat putra mendiang Nyai Wetong. Mengetahui itu, Adipati berinisiatif mengundang keempatnya, tentunya dengan jamuan.Pada pertemuan itu, tanpa sungkan Adipati Banting Arak meminta maaf atas kesalahan Anoman dan dua rekannya. Permintaan maaf itu membuat Teguk Permana dan ketiga adiknya agak terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa seorang adipati sudi merendah diri kepada mereka yang jauh lebih muda.“Aku mendapat laporan dari Codet Maut bahwa kalian mencari Iblis Jelita. Apakah ini terkait dengan dendam Keturunan Darah Emas?” tanya Adipati Banting Arak.“Benar, Gusti. Kami adalah keempat putra Pendekar Tabur Bunga dan Nyai Wetong,” jawab Teguk Permana.“Jadi kalian mencari Iblis Jelita untuk membalas dendam atas kematian ib
Dengan menggunakan obor, Ardo Kenconowoto menyisir setiap sudut gelap bangunan usang yang ada di sisi belakang bangunan tiga lantai.Dia berusaha seteliti mungkin dalam mencari. Sejengkal demi sejengkal dia lihat dengan mendekatkan cahaya obornya agar bisa terlihat jelas. Menemukan kitab batu adalah perkara yang sangat penting. Jadi, bagian-bagian kecil dari bangunan itu harus dipastikan tidak luput dari pemeriksaan.Bangunan itu memiliki lantai batu yang sudah berlumut dan lembab. Itu karena genteng bangunannya sudah banyak yang bocor.Kedetailan cara pencarian Ardo membuatnya lama. Malam pun semakin larut. Namun, waktu tidak memengaruhi Ardo. Dia benar-benar sabar. Pendidikan selama dilatih oleh Iblis Jelita mengajarkan dirinya menjadi orang yang bisa sabar.Namun, setelah tengah malam, Ardo menyadari sesuatu yang berbeda dari apa yang telah dia temukan selama pencarian. Hal yang berbeda adalah semua lantai di ruangan dalam bangunan yang cukup luas itu berbahan batu, kecuali satu
Ternyata benda yang menyala hijau itu adalah sebuah benda tipis yang agak asing, tetapi memiliki lima lubang seperti lubang-lubang untuk memasukkan lima jari tangan. Intinya, itu seperti sesuatu yang dipasang di tangan. Kata enaknya adalah sarung tangan.Ardo Kenconowoto lalu membungkuk dan mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh benda yang setipis kulit bawang.Zerzz!Ardo terkejut, tapi tidak menjerit seperti banci kaleng, ketika jarinya yang menyentuh benda itu tersengat aliran listrik sinar hijau. Sontak Ardo menarik tangannya. Namun setelah itu, Ardo menyadari bahwa sengatan sinar listrik hijau itu hanya seperti rasa kesemutan.Ardo kemudian memutuskan untuk memungut langsung benda itu.Zerzzz!Listrik sinar hijau kembali menjalari tangan Ardo. Rasanya tangan itu seperti ditumpuki oleh umat semut, tapi tanpa menggigit. Karena hanya membuat tidak nyaman, Ardo mau melihat lebih jelas benda itu.“Ini pasti benda yang menyerangku,” batin Ardo sambil mengamati benda yang terus meng
Panggilan hati nurani Ardo Kenconowoto membuatnya memutuskan bermalam di lingkungan bekas Perguruan Tinju Bara. Dia harus memastikan bahwa wanita gila yang tertendang kuda tidak mati.Ardo pun memutuskan tidur sambil menunggu pagi. Dia tidur di dekat Surami. Biarlah tidak ada wanita di sisi, kuda betina pun jadi.Singkat waktu.Hari akhirnya pagi dan terang. Ardo terbangun. Rasa kesemutan di tangan kanannya sudah lenyap. Namun, dia tidak teringat tentang tangannya yang kesemutan.Itu karena Ardo langsung teringat dengan wanita gila yang pingsan. Ketika dia pergi melihat, ternyata wanita itu belum sadarkan diri.Rasa iba menghinggapi hati Ardo, apalagi melihat wanita itu bertelanjang badan karena gilanya. Ardo lalu berinisiatif membuka bajunya. Ardo bukan mau melakukan hal tidak senonoh terhadap wanita gila itu, tetapi dia ingin memakaikan bajunya kepada si wanita. Namun, Ardo terkendala dengan rambut gimbal yang keras dan panjang.“Mumpung dia belum bangun,” pikir Ardo.Ardo yang suda
Nini Lanting yang punya julukan menggentarkan lawan, yaitu Siluman Sepuluh Nyawa, berdiri seorang diri di atas tebing yang menghadap ke air terjun. Rambut dan ujung pakaiannya berkibar-kibar tertiup angin. Namun, terlihat sangat jelas bahwa raut wajah tuanya sedang memendam kemarahan yang sangat.Nini Lanting baru saja mendapat kabar duka bahwa adiknya telah tewas dibunuh oleh murid dari Iblis Jelita dan Iblis Sirih, yaitu Ardo Kenconowoto. Adiknya tidak lain adalah Aki Sumpat yang berjuluk Pendekar Pedang Kayu.Sesss!Tiba-tiba kedua tangan Nini Lanting bersinar putih menyilaukan seperti lampu led. Namun karena itu di siang hari, maka silauannya kurang memukau. Akan berbeda jika di malam hari, akan jauh lebih indah.“Hiaaat!” teriak Nini Lanting keras dengan suara serak dan tuanya.Blarb lar blar…!Ketika Nini Lanting menghentakkan kedua lengannya dengan telapak menghadap ke atas, tiba-tiba terjadi ledakan di bebatuan di sekitarnya, padahal sinar tetap bercokol di tangan dan arahnya
Ardo Kenconowoto terus berlari mengiringi kuda yang ditunggangi oleh Tulina yang selalu tersenyum selama perjalanan. Senyum Tulina bukan karena merasa lucu dengan wajahnya yang hitam, tapi karena dia merasa bahagia. Sepertinya dia tahu bahwa bahagia bukan hanya milik orang cantik.Badan Ardo yang tidak berbaju, sudah banjir oleh keringat tanpa membuatnya tenggelam. Namun, itu tidak membuatnya letih dalam berlari.Ternyata mereka sedang menuju ke Desa Guling. Dan ketika baru saja memasuki batas desa, mereka berdua berpapasan dengan Ki Rojak dan putranya Jumadi bersama dua anak buahnya yang pernah dihajar oleh Ardo.Pertemuan itu membuat Ardo berhenti berlari dan menghentikan Surami. Jalan desa yang tidak terlalu lebar membuat mereka saling berhadapan, seperti dua kubu yang siap bertarung.Pertemuan itu membuat Ki Rojak dan putranya langsung memasang mimik permusuhan di saat Ardo tersenyum ramah dengan napas terengah-engah.“Paman Rujak!” panggil Tulina tiba-tiba yang mengejutkan Ardo,
Pembunuh Jauh datang menghadap kepada Adipati Banting Arak yang sedang memerhatikan kerja sejumlah prajurit membuat kandang ayam besar di halaman belakang.“Lapor, Gusti. Keempat putra Nyai Wetong telah pergi ke arah Kadipaten Babatoto,” kata Pembunuh Jauh.“Pimpin dua ratus prajurit, jangan ada yang mengenakan seragam atau tanda keprajuritan. Bergabunglah dengan pasukan Pendekar Pedang Kilau yang dipimpin oleh Wanduro dan Sologeni di Hutan Bangkai!”“Baik, Gusti,” ucap Pembunuh Jauh.Pendekar pengawal pribadi Adipati Banting Arak itu lalu pergi untuk menyiapkan dua ratus prajurit dari Pasukan Kadipaten.Benar laporan Pembunuh Jauh bahwa keempat putra mendiang Nyai Wetong sedang menuju ke Kadipaten Babatoto.Teguk Permana dan ketiga adiknya sedang berkuda kencang di dalam wilayah Kadipaten Babatoto.Setelah bertanya-tanya kepada warga arah menuju ibu kota Cupokota, keempat bersaudara itu akhirnya tiba di ibu kota Kadipaten Babatoto.Namun, mereka mendapat hadangan dari beberapa prajur
Pasukan kadipaten jadi terpojok. Selain harus menghadapi keempat pendekar berpedang hebat, mereka juga harus menghadapi serbuan pasukan asing yang jumlahnya menjadi lebih banyak, karena pasukan kadipaten telah banyak yang tumbang.Set set!“Aaakk!” jerit Komandan Jenjeng saat dua sabetan cepat Pedang Terang Buta milik Sambar Anuk akhirnya mengukir dalam di tubuhnya.Di sisi lain.Bak bak!Meski pertarungan antara Rawa Kujang dan Suratin menggunakan pedang, tetapi dua serangan yang masuk kepada dada Suratin adalah dua tendangan yang rapat. Suratin jatuh terjengkang.“Adik, kita pergi!” teriak Teguk Permana kepada ketiga adiknya.Di saat pertempuran terjadi sengit antara dua pasukan, Teguk Permana dan adik-adiknya segera mencari jalan untuk mendapatkan kembali kudanya.Tidak sulit bagi keempat bersaudara itu untuk mendapatkan kudanya. Para prajurit lebih memilih membiarkan keempat pendekar muda itu, mereka lebih baik bertempur dengan pasukan yang seimbang.Saat sudah berada di punggung