Dzurriya pulang diantar Ryan. Hatinya begitu was-was dengan apa yang terjadi selanjutnya, apalagi Ryan langsung pergi karena ada jadwal operasi sore itu. Dengan sisa keberanian, ia menghela napas panjang dan masuk. Baru sampai di ruang tamu, ia sudah berpapasan dengan Eshan yang menatapnya dalam-dalam. Lelaki itu kemudian menghampirinya. ‘Kamu kira Eshan dan Alexa akan melepaskanmu setelah apa yang kau lakukan tadi?’ suara Ryan bergema dalam pikirannya. Nyalinya bertambah ciut, apalagi Eshan tiba-tiba mengangkat tangannya. Sontak Dzurriya yang ketakutan langsung menutup matanya. Namun, bukannya pukulan atau tamparan, ia malah merasakan pipinya terasa dingin. Dzurriya pun meringis ketika luka sedikit perih yang sedari tadi dirasakannya seperti dioles sesuatu. Dzurriya membuka mata dan menatap wajah suaminya yang tengah fokus menyapu salep di pipinya yang meradang karena tamparan Alexa. Dia terlihat menyesal. ‘Apa dia tak marah? Kenapa dia tak tanya aku dari mana? Apa
“Kak Eshan di sini?”Keduanya langsung menoleh kepada Ryan yang datang dengan penampilan sangat segar. Ia sudah berganti pakaian menjadi setelan formal. Sepertinya ia akan sekalian berangkat kerja.Dzurriya tersenyum manis ke arahnya, sengaja menghindari Eshan. “Masakannya sudah selesai. Kau tunggu saja di meja.”Dzurriya lantas berbalik, memunggungi Eshan yang masih terpaku di sana. Entah wajah apa yang ditunjukkan lelaki itu sekarang, Dzurriya tidak mau tahu. Ia masih sakit hati dengan tamparan itu, apalagi Eshan belum meminta maaf.“Sebaiknya kalian tahu,” suara Eshan terdengar, bersamaan dengan suara langkahnya menjauh dari dapur. “Aku tidak suka ISTRIKU memasak di dapur. Jadi cepat bereskan!”Ryan terkekeh sambil berjalan mendekati Dzurriya dan melihat isi penggorengan, “Apa Kakak yakin tak ingin mencicipinya dulu? Masakan Kak Dzurri lebih enak dari koki kita.” Eshan mengangkat alisnya mendengar panggilan akrab Ryan untuk Dzurriya. Lalu, tanpa memperdulikannya, ia justru beranja
“Dia mantan karyawan kita yang kau pecat waktu itu karena mencuri,” jelas Tikno di tengah laju mobil yang begitu cepat. Eshan tampak tak kaget mendengar panggilan “kau” dari Tikno. Dia hanya tetap fokus menyetir. “Apa kau mau menghadapinya langsung atau diam-diam?” tanya Tikno kemudian. “Kita lihat kondisi nanti,” ujar Eshan dengan begitu tenang, kemudian memacu mobilnya lebih cepat. Mobil itu berhenti di sebuah gudang lama, tempat itu terlihat begitu sepi. Eshan masuk dan mengeluarkan sebuah sepeda motor sport hitam yang terlihat sudah usang dari sana. Sementara Tikno memarkir mobil ke dalam garasi gudang yang kelihatan kumuh itu, kemudian mengganti plat mobil dan menutupnya dengan terpal. Keduanya berboncengan keluar dari area sepi dan kumuh itu dengan cepat, menuju jalan raya besar. Satu per satu kendaraan di sana dilewatinya dengan ngebut. Hari berganti malam. Perjalanan yang cukup jauh tersebut tak membuat mereka berhenti untuk beristirahat. Akhirnya mereka sampai di
“Atau kamu akan meminta orang lain menikahi suamimu lagi, atau kau akan biarkan harta suamimu disumbangkan. Apa kamu bisa hidup miskin?” tanya Ryan kembali, terdengar sedikit menekan.Masih belum ada jawaban yang didengar Dzurriya.“Ini satu-satunya cara, Alexa!” walaupun berbisik, Dzurriya bisa mendengar paksaan dari suara Ryan. “Toh, setelah itu anak itu akan jadi milikmu, bukan?”“T–tapi…” elak Alexa.“Nyonya?”Ketika tengah serius mendengarkan percakapan dua orang itu, tiba-tiba Tikno memanggilnya. Seketika suara dari arah dapur itu berhenti, berganti dengan suara langkah kaki yang berjalan keluar dari dapur.Deg.“Dzurriya?” desis Alexa sinis, kemudian menghampirinya dengan tatapan tajam.Dzurriya sudah beringsut menempel ke tembok, takut Alexa melakukan hal ekstrem kepadanya. Namun, wanita itu hanya mendengus dengan wajah dingin.“Baguslah kalau kau sudah mendengar semuanya,” ucap Alexa, kemudian berlalu dari tempat itu tanpa rasa bersalah.Dzurriya kini memandang ke arah Ryan y
Pagi yang begitu lama tiba.Dzurriya bangun dengan malas, hatinya terasa membatu melihat perlakuan orang di rumah itu terhadapnya, terutama Eshan. Ia merasa tak ada sisa semangat dalam dirinya.Andai saja suaminya sedikit mencintainya, mungkin semua cobaan itu tidak terasa memberatkan. Kalaupun berat, sesimpul senyum suaminya akan menghapus dan menggantikannya.Dzurriya menghela napas panjang, kemudian menyingkirkan selimutnya dengan malas. Ia bangkit dan berniat untuk mandi. Namun, sebelum membuka pintu kamar mandi, ia mendengar pintu kamarnya diketuk.“Selamat pagi, Nyonya,” sapa Tikno.Dzurriya hanya bergumam lirih mendengar panggilan sopan Tikno, membuatnya terlihat bingung dengan sikapnya. Namun, pria paruh baya itu dengan cepat mengatur ekspresinya, dan segera menyampaikan pesan itu.“Tuan dan Nyonya, menunggu Nyonya di ruang kerja Tuan Eshan, tiga puluh menit lagi,” lanjut Tikno.“Ya,” jawab Dzurriya singkat. Melihat Tikno tidak juga pergi, Dzurriya kembali bertanya, “Apa ada l
Jawaban Eshan itu bagai petir menyambar ubun-ubun Dzurriya di siang hari. Tidak mengapa jika Alexa berkata semaunya tanpa memperdulikan perasaannya, tapi ini jawaban suaminya. Seketika air mata Dzurriya menetes dan langsung ia usap. Ia pun bangkit dan berusaha menyembunyikan kekesalannya. “Dasar tak sopan!” Sayup-sayup terdengar umpatan lirih dari Alexa untuknya. Sedangkan Ryan berusaha mencegahnya. “Duduklah dulu, Kak. Setelah ini, kita akan makan bersama di sini.” “Aku rasa aku tak perlu mendengarkan apa pun lagi. Lagi pula, aku orang luar di sini,” ujar Dzurriya dingin. “Baguslah, kalau kau sadar diri.” Dzurriya tak peduli dengan gumaman Alexa itu. Ia menatap tajam ke arah Eshan, sebelum akhirnya beranjak keluar dan turun ke lantai bawah. Dzurriya berjalan begitu cepat dan langsung masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Air matanya berderai begitu deras. Rasanya seluruh hidupnya telah tergadai untuk menebus dosa itu. Sambil terisak begitu dalam, ia berucap sambi
‘Apa yang hendak dilakukannya?’ Dzurriya sontak membuka matanya dan bangkit, tapi malah itu seperti menyodorkan bibirnya ke bibir Eshan yang berada di depannya begitu dekat tanpa sengaja. Dzurriya membelalak, begitu juga Eshan. Ia langsung mendorong tubuh suaminya sampai kepalanya membentur kaca depan mobil. “Akh!” Terdengar jeritan kecil Eshan yang sedang memegangi kepalanya kemudian kembali bersandar di kursinya. “M–maaf, apa tidak apa-apa?” tanya Dzurriya cemas sambil memeriksa kepala suaminya, tapi Eshan malah terlihat memandangnya dalam-dalam. Dzurriya yang gugup langsung berbalik dan keluar mobil. Ia memegang bibirnya dan tersenyum simpul sambil tanpa sengaja melihat sekeliling tempat itu. Ia agak terkejut karena ia berada di pantai yang sama yang pernah ia kunjungi bersama Ryan. ‘APAKAH INI PANTAI KELUARGA? Kenapa mereka bisa samaan membawaku kesini?’ Dalam keadaan heran tiba-tiba suaminya berdiri di sebelahnya sambil menatap laut luas. “Bagaimana menurutmu?” tanya E
Mobil itu telah melaju pulang dengan sangat cepat.Mereka hanya sebentar saja di pantai itu. Dzurriya terus menatap keluar jendela supaya ia bisa memandang wajah suaminya yang terpantul dari kaca tersebut tanpa ketahuan. “Seandainya kau tau perasaanku sekarang, Mas’ Gumam Dzurriya dalam hati. Eshan berada di sampingnya, namun ia merasa begitu merindukannya. Ia ingin mobil itu melaju lambat selambat-lambatnya, kalau perlu berhenti saja supaya ia bisa terus bisa menikmati saat-saat bersama dengan suaminya. Sayangnya, ia tak mampu mengutarakannya.Kembali, ia usap dan sentuh wajah yang terpantul di kaca tersebut seraya terus menatapnya lebih dalam. Tanpa terasa, wajah itu kini menoleh dan menatapnya sambil tersenyum tipis.“Apakah aku begitu tampan?”Dzurriya mengangguk pelan sambil membalas senyuman itu tanpa sadar.‘Apa yang kau lakukan, Dzurriya?’Sampai akhirnya ia sadar dan matanya membelalak.Langsung ditolehnya sang suami karena kaget dalam sekejap kemudian menatap ke depan lag