“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.
Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.”
Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”
“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”
Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”
“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”
“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”
“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”
“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”
“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos mengaji hari ini?”
Delia menimbang sebentar, akhirnya mengangguk. “Tapi Fa keluar dulu boleh? Ibu mau nelpon sama Bapak.”
Setelah Faisya keluar dari kamarnya, Delia segera bangun. Nomor kontak Firman jelas yang menjadi tujuannya. Namun hingga dering ketiga habis, lelaki itu tidak juga merespon panggilannya.
(Mas, aku mau bicara).
Delia mengirim pesan, dan langsung terlihat bahwa tulisannya telah terbaca. Namun hingga detik-detik berlalu Firman tidak ada tanda-tanda membalas. Hati perempuan dua puluh empat tahun itu kebat kebit gelisah.
Sambil menahan rasa tak karuan, dia mencoba melakukan panggilan lagi kepada suaminya. Berdering lama sebelum akhirnya mati. Delia tidak berputus asa, dia coba menelepon sekali lagi.
“Halo ….”
Hati Delia menjadi lega begitu mendengar suara Firman.
“Mas, tadi Fa menelpon kamu ya?”
“Iya. Kenapa memangnya?” Suara Firman bernada kasar.
“Aku ….”
“Kamu pengen nyusul ke Jakarta, terus minta kita berhubungan supaya kamu bisa bilang bahwa kamu hamil anak aku kan?”
Nging.
Jantung Delia tersirap. Tubuhnya menjadi goyah. Dia perlu mundur dengan berlahan sampai menyentuh kasurnya kembali, dan duduk pelan di sana.
“Apa Faisya bilang begitu?”
Firman tertawa. “Bod*h! Tentu saja anak sekecil Faisya tidak tau apa-apa. Yang sebenarnya aku menemukan testpack di kloset kita waktu aku pulang itu. Aku sudah memata-mataimu, kamu hamil anak Galang kan?”
Spontan Delia menjerit. Dia luruh ke lantai, teleponnya terlepas.
“Ibu!” Faisya datang lagi. Bersusah payah dia berusaha mengangkat tubuh Delia yang sudah ambruk ke lantai. Melihat nama bapaknya di telepon Delia yang masih menyala, dia berinisiatif bicara kepada Firman.
“Pak, Bapak … Ibu Delia jatuh. Ini enggak bergerak. Bapak ….”
Firman terbengong. Membayangkan anaknya di sana sendirian, kebingungan. Seharusnya tadi dia bisa menahan diri untuk tidak langsung bicara begitu. Minimal menunggu besok, sampai Septi menjemput Faisya.
“Bapak!”
“Iya, Fa ….”
“Eh, ini, Ibu udah melek matanya, Pak.” Faisya meletakkan telepon genggamnya, membiarkan sambungan dengan Firman masih menyala.
“Ibu, Ibu enggak apa-apa?”
“Enggak apa-apa, Fa.”
“Jangan nangis ya, Bu. Nanti Fa bilang ke Bapak suruh cepat pulang.”
Delia meraung kencang. Faisya sigap menepuk-nepuk punggung ibu tirinya. Bukannya membaik, Delia justru bertambah kencang menangis.
Firman yang mendengar hal itu menjadi kebingungan sendiri. Pikiran-pikiran buruk melintas dalam otaknya, bisa jadi Delia berbuat jahat kepada Faisya. Sebab kepada dirinya pun dia tega mengkhianati.
“Halo, Fa, Faisya!”
Tapi sampai suara Firman serak, tidak ada yang menjawab panggilannya. Memang suara tangis Delia begitu kencang, mungkin itu yang menyebabkan Faisya tidak mendengar panggilannya.
Akhirnya Firman mematikan panggilan, setelah itu dia menelepon ulang kepada nomor Delia. Berhasil, suara Faisya hadir lagi di telinganya.
“Fa, bilang sama Ibu, Bapak pulang malam ini.”
“Iya, Mas. Kita bicarakan baik-baik masalah ini.” Suara Faisya berganti menjadi suara Delia.
“Aku hanya minta sama kamu, Del. Jaga Faisya, kalau sampai sesuatu terjadi sama Faisya aku enggak akan mengampuni kamu.”
Delia tidak mampu menjawab, hanya tangisnya yang terdengar lagi.
Setelah berusaha menenangkan diri sendiri dan meyakinkan Faisya bahwa semua baik-baik saja, Delia menutup pintu kamarnya. Kini dia harus memberitahu Galang, namun hingga beberapa kali percobaan panggilannya, gawai itu masih bisu.
“Kemana sih Galang? Kok sekarang jadi susah banget untuk dihubungi. Dulu aja gercep minta ampun.”
Dengan perasaan tak karuan, Delia beralih untuk menghubungi Astuti. Untungya ibu Galang ini langsung merespon.
“Bi, Galang kemana?”
“A-ada kok di toko. Lagi agak ramai tokonya hehe, kenapa?” Astuti mengurai tawa palsu.
Delia mencebik. “Loh emang Bibi ini di mana?”
“Bibi lagi nonton TV.”
“Kok kalau toko ramai Bibi bisa nonton TV?”
“Eh, itu ….”
“Udahlah, Bi, jangan bohong. Aku itu pusing, harusnya ini ditanggung bersama sama Galang, kan aku hamil juga gara-gara dia. Kalau emang Galang mau lepas tanggung jawab, bilang aja terus terang, enggak menghindar begini.”
“Eh, Del … jangan gitu dong. Bentar ya Bibi panggilin Galangnya, dia tadi lagi—“
“Enggak usah, Bi. Udah enggak mood aku. Sampaikan aja, kalau Mas Firman udah tau. Dia mau pulang malam ini.”
“Hah! Terus gimana?” Suara Astuti berubah menjadi kalut.
“Aku pasrah, Bi.”
“Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.
Firman tertawa menggelegar. “Ngelawak kamu kan, Sep?”Sementara Delia sudah terduduk lemas di salah satu kursi terdekat.“Bu, kok lama?” Faisya akhirnya muncul. “Loh ada Ibu Septi juga?”Ketiga orang dewasa di situ saling melirik satu sama lain.Faisya berlari mendapatkan Delia. “Bu, udah siang nih, nanti kalau Fa terlambat sekolah gimana?”Delia melirik Firman. Lelaki itu terpekur, jelas sekali dia menahan beban yang maha berat. “Ayok, Ibu siapkan air hangatnya ya.”Faisya bersorak. Dia menarik tangan Delia untuk pergi ke belakang.“Kamu mau tau siapa bapak Faisya yang sebenarnya?” Septi dengan nada tercampur tawa, bertanya. Di telinga Firman terdengar begitu mengejek.“Omong kosong apa kamu, Sep. Kamu itu hanya ingin memperkeruh suasana, iya kan? Seneng melihat aku makin terpuruk.”Septi mengumbar tawa. “Ya terserah sih kalau kamu enggak percaya. Tapi yang sebenarnya ibumu tau.”Firman tersengat kaget.“Kamu boleh tanya ibumu sendiri, kalau kamu enggak percaya sama aku. Ngomong-ngom
“Mau ngapain kamu seret-seret koper ke sini?” Lasmi, ibu kandung Delia tertawa lebar melihat kedatangan anak pertamanya. Sama sekali tidak ada rasa kasihan melihat wajah putrinya yang sudah bersimbah air mata.“Udah jadi orang kaya kok mau balik ke gubug derita, nanti kudisan kamu,” lanjutnya sambil memiringkan bibir.“Ibu ….” Delia menghambur ke kaki ibunya. “Maafkan aku, Bu.”Lasmi makin kencang tertawa, meskipun dalam hatinya sangat perih. Anak sulungnya ini yang sudah berani melawan perintahnya, bahkan nekat kabur dari rumah lalu menikah tanpa restu. Delia pula yang pernah sesumbar tidak akan lagi balik ke rumah sebab dia sudah hidup dengan layak bersama suami pilihannya.“Kalau ada apa-apa dalam pernikahanmu, sana ke bapakmu, jangan ke sini. Kan bapakmu yang merestui pernikahanmu,” ujar Lasmi seraya menahan tangis. Bagaimana pun hati seorang ibu tidak tega melihat anak kandungny
“Bapak enggak bisa ditelpon ….” Tangis Faisya pecah membahana.Sejenak Delia tercenung. Membayangkan Faisya kebingungan sendirian, ketakutan, mungkin juga dalam keadaan lapar, tetapi untuk balik ke rumah itu lagi dia tidak berani. Kuatir Firman akan mengamuk jika memergokinya.Tadi dia sempat menyuruh Faisya untuk menelepon Firman, barangkali lelaki itu sedang menenangkan diri sejenak di suatu tempat. Pasti dia akan segera kembali ke rumah kalau Faisya yang meneleponnya, sebab ….DENG!Satu pukulan mampir di kalbu Delia. Jangan-jangan Firman tidak peduli lagi pada Faisya, setelah tahu gadis cilik itu bukan putri kandungnya.“Fa … jangan nangis, coba Fa minum dulu ya. Ibu coba telponin Bapak.”“Ibu di mana? Ibu pulang cepet, Fa laper.” Bocah itu terus saja menangis.“Tunggu ya, ini telponnya Ibu matiin dulu.” Delia menguatkan hatinya untuk langsung menutup
“Eh, enggak ada apa-apa, Fa. Ibu kaget aja, kayaknya kuota Ibu habis,” ujar Delia berbohong. “Boleh pinjam hape Fa untuk coba telpon Bapak?”Faisya tertawa. “Ya ampun, Ibu bikin kaget, ternyata cuma perkara kuota habis.” Gadis cilik itu menggeleng-gelengkan kepala. Entah dia menirukan siapa, kelakuan dan omongan yang lebay begitu. Delia mau tidak mau pun tertawa.Setelah telepon genggam Faisya di tangannya, Delia menelusur kontak Firman. Ya, betul! Sama dengan miliknya, tanda centang dua dan berwarna biru. Berarti Firman telah aktif dan telah membaca pesan-pesan Delia serta Faisya. Kenapa Firman tidak membalas ya? Kalau lelaki itu enggan terhadap dirinya, setidaknya Firman bisa merespon pesan Faisya.Serta merta Delia segera mencoba menelepon Firman. Berdering lama, namun hingga dering itu habis, tidak ada respon apa-apa. Delia mencoba menelepon lagi, ternyata sudah tidak bisa. Dengan hati penuh kegugupan, Delia mencoba menget
“Apa kamu enggak mau menolong Ibu?” Ratri menatap Septi, yang masih berdiri kaku di bibir kamar. Memegang koin dan minyak angin dengan bergetar.Ratri menghembus napas. “Kamu enggak usah mikir macam-macam! Ibu itu terpaksa minta tolong sama kamu, soalnya nih ….” Ratri memperlihatkan tangannya yang penuh luka. Koreng basah yang di beberapa sudut terdapat bintil-bintil bernanah.Septi bergidik melihatnya. Sejak kapan ibu mertuanya begitu?“Nih akibat Ibu salah—““Mau sampai kapan kalian ngobrol di situ!” teriak Eko. Kepalanya tegak dengan kedua bola mata tertancap kepada Septi.Ratri spontan mendorong tubuh Septi agar cepat masuk. “Mijitnya yang agak lamaan, tekanannya yang agak kuat ya, Bapak suka protes kalau mijitnya enggak kuat,” bisik ibu mertuanya. Septi hanya merespon dengan lirikan.Ratri ikut masuk ke kamar, lalu duduk di sisi tempat tidur yang lain. Saat S
“Mas ….” Tangis Septi pecah, meraung kencang.“Man, kamu langsung panggil Mbok Pateh. Ibu takut kenapa-napa sama istrimu!” Ratri mendahului mendapatkan Septi yang tergeletak di lantai. Tangan perempuan itu mengibas kepada Firman, memberi tanda agar Firman segera memanggil tukang urut terkenal di desa mereka.Firman yang kaget melihat kejadian cepat itu, tidak bisa berpikir sempurna. Dia pun langsung pergi meninggalkan Septi meski telinganya sempat mendengar sang istri memanggil-manggil namanya.“Sep, bangun, Sep. Ibu bantu kamu ke tempat tidur ya.”Septi menolak dengan cara mendorong tubuh mertuanya. “Ibu tau kan? Ibu liat kan? Tapi sengaja membuat Mas Firman pergi!”“Sst … jangan menjerit-jerit gitu, nanti tetangga pada ngumpul di sini. Ibu janji, Ibu sendiri yang akan menghabisi laki-laki b3jat itu!”Septi membundar, reflek dia menghentikan tangisnya.&l
“Kopi, Mas?” Seorang perempuan dengan wajah lusuh menampilkan senyum yang sangat lebar.Firman hanya melirik sekilas lalu menggeleng.“Boleh ngajak penjualnya ngobrol juga kok. Ngobrolnya gratis, Mas tinggal bayar kopinya.” Perempuan itu tidak menyerah begitu saja.Firman menghela napas, pedagang di terminal memang tidak pernah membiarkan orang lain berdiam diri dalam kesendirian. Lelaki itu menoleh sebentar ke arah si perempuan penjual kopi. “Maaf ya, Mbak ….”Firman berlalu diiringi sedikit gumaman dari si penjual kopi. Lelaki itu abai saja, dia terus melangkahkan kaki. Meskipun sebenarnya hatinya masih bingung. Siapa dulu yang akan dia mintai keterangan? Septi atau ibunya?Tadi siang Firman sudah sempat berada lama di halaman rumah Septi. Memandang pintu rumah yang tertutup rapat dengan hati penuh gejolak. Dia tahu Septi ada di dalam, tetapi tangannya masih ragu-ragu untuk mengetuk. Fakta yang dikeluark