“Jadi Fa bobo di sini?” Mata Faisya membulat. Dia mengedar pandangan lagi, entah sudah yang ke berapa kali.
Sejatinya gadis kecil itu sudah melihat-lihat rumah Mbah Barid dengan detail tadi, bahkan sampai masuk ke kamar Mbah Barid. Jika tidak akan tinggal di sini sudah pasti Delia akan melarang Faisya, sebab itu sangat tidak sopan. Namun Delia membuat pengecualian kali ini supaya Faisya merasa lebih nyaman.
“Bobo-nya sama Ibu kan?” tanya Faisya lagi.
Delia tersenyum. “Iya dong, kita bobo sama-sama.”
“Kalau bobo bareng Ibu Delia, aku mau,” sahut Faisya seraya memeluk Delia, lalu menarik tangan ibu tirinya itu agar telinga Delia dekat ke mulutnya. Faisya lantas berbisik, “Rumah Mbah agak horor.”
“Oh iya?” Delia memasang mata jenaka.
“Sst ….” Faisya mengangkat telunjuk ke depan bibirnya yang mengerucut, lalu matanya melirik ke arah luar. Seaka
“Maafkan kami, Bu, Pak Firman tidak bersedia untuk menemui Anda.”Delia merespon dengan anggukan lemah. Matanya bersitatap dengan milik Rena.“Betul kan, Ren? Mas Firman enggak akan mau melihat aku lagi,” bisik Delia sembari melangkah keluar, berjejeran dengan Rena.“Iya, Mbak. Yang penting Mbak Delia udah coba,” hibur Rena.Sejak kemarin sore, Rena memang mengajak Delia untuk membezuk Firman di kantor polisi, tempat lelaki itu ditahan sementara. Delia sudah menolak, sebab dia tahu Firman sekarang sangat membencinya. Perlakuan-perlakuan pada dirinya dan Galang sudah mengindikasikan semua itu.Akan tetapi Rena seperti tidak lelah untuk membujuk kakaknya menjenguk sang suami, atau sekarang sudah mantan? Ah entahlah. Yang pasti, akhirnya Delia berangkat juga ke kantor polisi setelah mengantar Faisya ke sekolah. Lagi-lagi Rena yang memaksanya.“Delia!”Spontan kakak beradik itu menoleh
“Ayo, Del!” Mbah Barid menarik tangan Delia.“A-aku takut kalau nanti jadi ribut, Mbah,” jawab Delia pelan. Langkahnya sudah terhenti sedari tadi, sebelum akhirnya seperti sekarang, ditarik-tarik oleh Mbah Barid.“Kan ada Mbah di sini. Ayo!”Delia terpaksa melangkah lagi. Mengekor sang nenek yang jalan di depan, memasuki halaman rumah Astuti. Jenasah Galang sudah dimakamkan semalam, dan rumah Astuti menjadi lebih sepi. Konon kemarin sore pun tidak banyak pelayat yang datang. Hanya beberapa kerabat dan sedikit warga sekitar.Astuti sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia terlihat kaget saat mendengar salam dari mulut Mbah Barid, apalagi setelah melihat ada Delia di belakang orang tua itu. Astuti spontan berdiri, badannya siap siaga. Entah mengapa kedua tangannya terkepal kuat.“Mau apa kamu ke sini, Del? Mau mensyukuri musibah yang Bibi terima?
“Apa yang Ibu lakukan di sini?” Delia berseru melihat Ratri tengah menggedor-gedor pintu kamar mandi sekolah.Sementara anak-anak dan beberapa orang tua murid dan guru telah berkerumun di sekitar Ratri.“Ibu, Ibu Delia!” Faisya segera berteriak saat mendengar suara Delia.“Ya, Sayang. Ini Ibu Delia!” seru Delia.“Fa takut, Bu.”Delia merangsek, mendorong Ratri untuk mundur. “Buka, Fa, enggak apa-apa, ini Ibu.”Pintu kamar mandi segera terbuka. Faisya dengan gesit melesat ke arah Delia. Dia berhasil berkelit ketika tangan Ratri hendak menjamah tubuh kecilnya.“Aku enggak mau ikut Mbah Ratri ke Jakarta, aku mau sama Ibu!” teriak Faisya sembari memeluk pinggang Delia dengan erat.“Faisya, Ibu Delia itu bukan ibumu!” Ratri tak kalah berseru.“Bu, tolong jangan berteriak-teriak di sini. Setidaknya hormati diri Ibu sendiri,&rd
“A-aku terpaksa, a-aku terpaksa demi kamu, Sep,” tutur Ratri terbata-bata. “A-aku memang tidak suka sama kamu, sedari awal Firman mengenalkan kamu … tapi aku bukan perempuan yang jahat, aku tidak akan membiarkan Eko berbuat keji sama kamu.”“Jadi benar kamu bunuh suamimu?” Rahmat melotot tidak percaya.Septi tertawa ringan. “Pergilah kalian dari sini. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku betul-betul tidak peduli dengan Faisya, jadi tolong jangan sertakan aku ke dalam masalah keluarga Anda lagi, Bu Ratri. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa-apa.”“Sep, tunggu!” cegah Ratri saat melihat Septi hendak membalik badan dan menuju ke dalam rumah. “Tapi Faisya itu anakmu.”“Pergilah, Bu, pergilah! Cukup semuanya, aku tidak ingin melihat Faisya, sebab setiap aku melihat anak itu aku selalu terbayang perbuatan bejat ….”“Tapi Faisya itu
“Pokoknya Mas harus pulang minggu ini!” tukas Delia setengah menjerit.Dalam layar telepon genggam Delia, Firman tampak tersenyum-senyum. Berbanding terbalik dengan wajah Delia yang cemberut. Bola mata Delia menatap ke arah lain, tidak mau memandang Firman.Memang begitu setiap kali Delia punya keinginan, tetapi Firman senang membiarkan hal itu lebih lama dengan terus menggoda. Baginya Delia bertambah cantik kalau sedang merajuk, lagi pula lelaki itu tahu jika istrinya hanya sedang berpura-pura marah.“Iya deh, Mas usahain pulang minggu ini ya.” Akhirnya Firman mengucapkan kalimat yang sedari tadi diminta Delia.Seketika senyum Delia merekah, mata bulatnya berbinar menatap gambar Firman. “Bener loh ya, jangan bohong. Pokoknya kalau bohong, aku marah.”“Iya, besok Mas kabari kamu, Sayang. Mas izin dulu ke—”“Ah … pokoknya pulang, Mas. Apa Mas enggak kasihan sama aku?” Delia menukas, tetapi nadanya dibuat manja. “Udah enggak kuat nahan kangen, Mas ….”“Iya, iya, Sayang. Udah larut malam
“Bapak ….”Suara lengkingan Faisya membuat telinga Firman sejuk seketika. Apalagi ditambah senyuman yang rekah, lalu langkah kecil Faisya berlari menyambut dirinya, seakan si bocah sudah tidak sabar untuk berada dalam pelukan sang bapak.“Bapak, Fa kangen sama Bapak,” tuturnya centil. Tangan Faisya yang halus melingkari leher Firman. “Bapak udah lama enggak pulang, apa Bapak enggak kangen sama Fa?”“Aduh, manjanya … padahal kalau enggak ada Bapak, Fa itu pinter apa-apa sendiri loh, Pak,” celetuk Delia. Wajahnya yang memang manis, dia pasang lebih manis lagi. “Fa itu anak pintar dan mandiri.”Si bocah sembilan tahun itu tertawa. Senang dipuji Delia, ibu tirinya.“Pak, mau Fa kasih tau satu rahasia Ibu Delia enggak?”Deg.Delia tiba-tiba tegang. Melihat Faisya menarik leher Firman, kemudian mendekatkan mulut kecilnya ke telinga Firman. Satu telapak tangannya tergelar membentuk kipas, khas orang sedang membisikkan suatu rahasia.“Ibu Delia kangen sama Bapak juga.” Suara Faisya lebih miri
“Hancur semua, Bang. Berantakan … gagal total, padahal tinggal selangkah lagi,” racau Delia. Air matanya bercucuran deras sehingga terlihat begitu menyedihkan. “Aku enggak tau kenapa, tiba-tiba Mas Firman mengeluh sakit kepala pas keluar dari kamar mandi, setelah itu bolak balik ke toilet, katanya perut dia juga sakit.”“Jangan-jangan keracunan,” ceplos Galang. Dia memandang kepada Astuti, ibu kandungnya, yang duduk dekat Delia.“Tapi aku dan Faisya kan makan makanan yang sama, masa cuma Mas Firman aja yang keracunan,” tukas Delia.“Sabarlah, Del, kan masih ada malam ini. Kata kamu kemarin Firman cuti tiga hari kan?” tutur Astuti. “Lebih baik sekarang kamu pulang, rawat Firman, kasih dia perhatian yang penuh biar cepat sembuh. Jadi rencana kita berhasil.”Galang ikut mengangguk dengan usul sang ibu. Sejujurnya dia juga sama kuatirnya dengan Delia. Jika rencana mereka gagal malam ini, mereka harus menunggu jadwal kepulangan Firman yang berikutnya. Itu berarti paling cepat dua bulan lag
“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang