Share

Pulang

“Bapak ….”

Suara lengkingan Faisya membuat telinga Firman sejuk seketika. Apalagi ditambah senyuman yang rekah, lalu langkah kecil Faisya berlari menyambut dirinya, seakan si bocah sudah tidak sabar untuk berada dalam pelukan sang bapak.

“Bapak, Fa kangen sama Bapak,” tuturnya centil. Tangan Faisya yang halus melingkari leher Firman. “Bapak udah lama enggak pulang, apa Bapak enggak kangen sama Fa?”

“Aduh, manjanya … padahal kalau enggak ada Bapak, Fa itu pinter apa-apa sendiri loh, Pak,” celetuk Delia. Wajahnya yang memang manis, dia pasang lebih manis lagi. “Fa itu anak pintar dan mandiri.”

Si bocah sembilan tahun itu tertawa. Senang dipuji Delia, ibu tirinya.

“Pak, mau Fa kasih tau satu rahasia Ibu Delia enggak?”

Deg.

Delia tiba-tiba tegang. Melihat Faisya menarik leher Firman, kemudian mendekatkan mulut kecilnya ke telinga Firman. Satu telapak tangannya tergelar membentuk kipas, khas orang sedang membisikkan suatu rahasia.

“Ibu Delia kangen sama Bapak juga.” Suara Faisya lebih mirip seruan daripada sebuah bisikan.

Delia dan Firman spontan tertawa. Delia sampai terbatuk-batuk, akibat meledakkan tawa setelah menahan napas beberapa saat.

“Iya, kan, Bu. Kemarin sore Fa denger kok. Aku juga kangen sama kamu, Bang …. Uhuy Ibu Delia sama Bapak pacaran terus kan?”

Delia melotot, namun sedetik kemudian dia dapat menguasai keadaan. Perempuan itu tertawa. Tawa yang dibuat-buat.

Firman menjadi tertular, dia pun tertawa meskipun agak bingung. Apa telinganya tidak salah dengar? Tadi Faisya mengatakan ‘Bang’ bukan ‘Mas’? Lagi pula sejak kemarin siang, antara dia dan istrinya hanya saling berkirim pesan. Tidak ada panggilan telepon yang terjadi.

Firman melayangkan pandangan dengan jidat mengkerut sedikit. Delia tergeragap, dia memindai tubuh suaminya menjadi tidak nyaman.

“Ah, Fa … Ibu jadi malu. Jadi ketauan kan, Ibu suka ngomong sama foto Bapak,” Delia berkata sembari tertawa. Pandai sekali dia membuat alasan.

Faisya berderai. “Ibu Delia kayak aku ya, Pak, suka ngobrol sama foto Ibu Septi.”

Firman tersenyum lebar. Dia elus rambut anak kesayangannya itu. Faisya terlihat lebih gemuk dan ceria sejak diasuh oleh Delia. Beda saat dia bersama dengan Septi, ibu kandungnya sendiri.

“Ayo, masuk. Masa mau di situ terus?” Delia berkata seraya mendahului masuk.

“Fa, padahal Bapak bawa hadiah. Tumben enggak nagih?” tanya Firman setelah dia duduk. Senyumnya dia lempar kepada istri keduanya itu.

“Hadiah apa, Pak?”

Firman mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna pink. Faisya gegas mendekat, dia berteriak suka cita ketika matanya menumbuk jam tangan berwarna senada dengan kotaknya.

“Bu, jam tangan! Kok Bapak tau, aku pengen jam tangan kayak gini?” Faisya reflek menatap Delia, sedetik kemudian dia berlari memeluk Delia. “Pasti Ibu yang bocorin ke Bapak soal ini. Makasih ya, Bu.”

“Iya, Fa Sayang.”

Delia dan Firman saling melempar senyum.

Setelah Firman membersihkan diri, mereka kemudian makan bersama. Delia telah menyediakan makanan enak, tentu saja hasil dari membeli. Istri yang Firman nikahi dua tahun lalu itu memang tidak begitu pintar memasak. Namun tidak menjadi masalah sebab Delia sayang kepada Faisya, dan mengasuh anaknya dengan baik. Itu lebih dari cukup bagi Firman.

“Mas …”

“Eh, hati-hati, takut Faisya dengar, Sayang. Dia juga baru masuk kamarnya.”

“Tapi aku udah enggak tahan ….”

Firman tersenyum bahagia. Ternyata ucapan Delia saat di telepon bukan omong kosong belaka. Mungkin efek dia sudah dua bulan tidak balik. Liburnya memang tidak pasti, sebab Firman hanya seorang sopir pribadi dari seorang bos. Jatah cuti tergantung jadwal bos.

Berdua mereka masuk ke dalam kamar.

“Aku punya kejutan untuk Mas,” bisik Delia menggoda.

“Apa tuh?”

“Tunggu di sini,” ujarnya genit. Delia setengah berlari ke toilet yang letaknya di dalam kamar. Sebelah tangan perempuan itu menggenggam kain berwarna merah menyala.

Firman paham artinya. Dia pun naik ke atas kasur dengan hati penuh bunga. Inilah alasan lain mengapa dulu dia nekat menceraikan Septi, lalu menikahi Delia. Septi memang pintar memasak, tetapi dia begitu membosankan.

“Halo Mas Sayang!”

Delia keluar dari kamar mandi dengan penampilan begitu menggoda. Alarm di tubuh Firman menyala seketika.

“Aduh, harusnya tadi aku dulu yang ke kamar mandi, Del.” Tiba-tiba Firman melenguh. Dia teringat Delia tidak suka bau rokok. “Aku gosok gigi sebentar ya.”

“Yah …,” sahut Delia memasang tampang kecewa. “Jangan lama-lama loh, nanti aku jamuran.”

Firman terkikik riang.

Lelaki itu menuju kloset terlebih dahulu. Namun keinginan untuk memenuhi panggilan alam dia tunda, ketika melihat benda kecil mencuat dari dalam kloset. Hmm … kebiasaan Delia sering membuang benda ke dalam kloset, padahal sudah sering diperingatkan bahwa ini bisa membuat kloset menjadi mampet.

“Eh, tunggu … bukankah itu … eh.”

Tanpa rasa jijik, Firman mencelupkan tangannya ke dalam kloset.

“Loh bukankah ini ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status