Share

Telepon Faisya

“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”

“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.

Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—“

“Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.

“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”

Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”

“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”

Tangis Faisya meledak.

Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.

“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep di sini ya, Bu. Soalnya rumah Ibu Septi horor, Fa takut kalau sore sampai mahrib Ibu Septi belum pulang dari kebun.”

Aduh, spontan Delia memijit pelipisnya. Akan menjadi suatu perjuangan lagi untuk merayu Septi. Kalau jadi begini, Delia jadi menyesal telah berkhianat kepada Firman sampai akhirnya dia hamil sekarang ini. Apa lebih baik dia terima usul Galang untuk menggugurkan kandungan ini saja? Rasanya opsi itu menjadi satu-satunya jalan anti ribet, daripada harus memaksakan diri pergi ke Jakarta.

Tiba-tiba perut Delia menjadi bergelombang. Mual menerpa dan naik perlahan ke tenggorokannya.

Hoek.

Hoek.

Secepat kilat Delia berlari ke kamar mandi.

“Ibu, kenapa, Bu?” Faisya mengikuti Delia. Tangan kecilnya dia gunakan untuk menepuk-nepuk punggung Delia yang berada dalam posisi menunduk.

Delia muntah, sebenar-benarnya muntah. Isi perutnya keluar semua, sudah berupa cairan halus berwarna coklat kekuningan.

“Ibu sakit,” ujar Faisya. Dia sigap menuntun Delia yang kembali berjalan menuju ranjang. “Fa balur sama minyak kayu putih mau, Bu?”

Delia menatap Faisya, tersenyum lemah dan mengangguk. Dia menjadi terharu. Sikap Faisya ini pasti mencontoh dirinya sendiri, sebab Delia selalu melakukan hal itu jika Faisya masuk angin.

“Ibu tiduran di sini,” kata Faisya menepuk sisi ranjang. Delia pasrah, dan memejam saat tangan Faisya naik turun di punggungnya. “Bu, jangan pergi ke Jakarta ya, Ibu sakit … Fa takut nanti Ibu kenapa-napa di jalan.”

Delia mengalirkan air mata. Entah mengapa dia jadi merasa bersalah. Dia sudah mengkhianati kepercayaan Firman, bapak Faisya.  Apakah berarti dia juga telah mengkhianati kepercayaan Faisya?

“Jangan nangis, Bu.” Tangan kecil Faisya kini mengusap pipi Delia. Perempuan itu membiarkan saja kelakuan Faisya itu, meski matanya menjadi terasa pedih karena tangan Faisya masih berlumur minyak kayu putih.

“Fa bikinin teh manis, Ibu mau?”

Masih dengan berlinangan air mata, Delia mengangguk.

“Tunggu ya!”

Faisya mundur dan keluar menuju dapur. Langkah gadis cilik itu terhenti ketika melihat telepon genggamnya. Tiba-tiba dia mempunyai ide.

“Ini demi Ibu Delia, karena aku sayang Ibu Delia,” gumamnya sembari membawa gawai itu ke dapur.

Faisya sabar menunggu hingga dering kedua saat akhirnya Firman mengangkat teleponnya.

“Fa, ada apa?” Suara Firman kentara sekali menjadi kuatir. Meski setiap hari mereka saling memberi kabar lewat telepon, tetapi selalu dia dulu yang melakukan panggilan. Kalau mendadak anaknya yang menelepon duluan …. Pikiran buruk Firman berkelebatan.

“Sst … jangan keras-keras, nanti Ibu Delia denger,” bisik Faisya.

“Ada apa sama Ibu?”

“Bapak tolong bilangin ke Ibu Delia kalau enggak usah nyusul Bapak ke Jakarta, soalnya Ibu sakit, barusan muntah-muntah,” ucap Faisya polos.

“Loh Ibu Delia mau nyusul Bapak?”

“Iya, katanya mau surprise-in Bapak, tapi ternyata Ibu Delia sakit, Pak. Muntah-muntah.”

Firman mendengkus kasar. Dada lelaki itu menjadi bergolak panas. Rupanya Delia masih berusaha untuk mengejar dirinya. Sudah pasti perempuan itu berupaya keras untuk menutupi hasil perselingkuhannya. Kurang aj4r benar dia, sampai tega akan meninggalkan Faisya sendirian di rumah.

“Bapak,” panggil Faisya. “Cepet ya, bilang ke Ibu Delia biar jangan nyusul ke Jakarta. Kasihan Ibu, Pak.”

“I-iya, Fa. Nanti Bapak telpon Ibu Delia ya,” jawab Firman tergagap.

“Jangan lama-lama ya, Pak. Soalnya Ibu bilang mau berangkat besok siang,” ujar Faisya lagi. Pikiran kanak-kanaknya bangga sekali bahwa dia telah berbuat sesuatu yang menyelamatkan ibu tirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status