Share

Ketemuan

“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.

Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.

Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.

“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.

Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.

“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya.  “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”

Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?

“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandungnya. Yang lebih berhak mengasuh dia daripada kamu. Eh, kewajiban ya. Iya, kewajiban aku mengasuh anakku.”

Delia masih menunduk. Ucapan Septi bagai duri-duri sedari tadi, tajam menusuk … sama sekali tidak ramah. Apa ini hanya dilontarkan kepada dirinya, atau memang aslinya begini? Baru sekali ini dia bercakap dengan Septi.

Ibu kandung Faisya ini jarang berkunjung ke rumah, bahkan bisa dikatakan nyaris tidak pernah. Selama dua tahun pernikahan Delia dengan Firman, Septi baru dua kali ke rumahnya. Itu pun terkait pembagian harta gono gini yang memang terlambat dibicarakan antara dia dan Firman.

“Aku sebenarnya mau nitipin Faisya ke Mbak Septi, mungkin tiga harian … aku mau nyusul Mas Firman sebentar ke Jakarta. Ada perlu.”

“Iya. Mau kapan?” jawab Septi cepat.

Membuat Delia terperangah. Septi setuju tanpa banyak bertanya, sehingga Delia tergagap-gagap berkata, “Mung-mungkin aku berangkat besok pagi.”

Septi mengangguk. “Udah?”

“Hah?”

“Kalau udah, aku mau istirahat.”

Delia mengangguk, belum sempat dia mengucap salam, pintu telah ditutup. Perempuan itu menghembus napas kasar, sedikit menjadi kesal.

Delia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Hatinya masih gundah meskipun dia sudah punya solusi untuk permasalahannya. Melihat sikap Septi tadi, Delia menjadi ragu untuk menitipkan Faisya kepadanya.

“Aduh, jangan-jangan memang benar ucapan Mas Firman, kalau Septi itu tidak sayang sama Fa,” desis Delia.

Sampai di rumah dia menelepon Galang, dan bercerita tentang sikap Septi kepada dirinya.

“Aku jadi galau, Bang. Nanti kalau Fa ada apa-apanya gimana? Mas Firman bisa marah besar kalau sampai terjadi apa-apa sama Faisya.”

“Tenanglah, Del, Septi itu kan ibu kandungnya Faisya—“

“Tapi Mas Firman itu pernah cerita kalau Septi enggak sayang sama Faisya. Sedari Faisya bayi, dia enggak becus mengurusnya. Maka itu Septi diceraikan Mas Firman.”

“Halah, itu kan cerita Firman. Laki-laki kalau udah enggak suka sama perempuan ya pasti punya seribu satu alasan untuk pergi.”

Delia terdiam. Bagaimana pun dia sayang kepada Faisya sebagai anak tiri, sebagai anak-anak, sebagai sesama manusia … ya, pokoknya yang seperti itulah. Delia benar-benar tulus menyayangi anak Septi itu. Dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Faisya.

“Kalau Faisya dititipkan di situ aja gimana, Bang?”

“Di situ di mana?”

“Di rumah Abang—“

“Heh, ngawur!” ceplos Galang spontan.

“Loh Abang sama Bibi kan masih saudara sama Mas Firman, ya wajar kan kalau Faisya menginap di rumah Abang.”

“Aduh, nanti orang-orang malah curiga. Kita ini mau menyelesaikan masalah, Del, kok malah jadi menambah masalah.”

Delia menggigit bibirnya.

“Kalau titip ke ibumu, Del?”

“Ah, Abang kayak enggak ngerti. Ibuku kan enggak merestui pernikahan aku sama Mas Firman, Ibu benci sama Mas Firman.”

“Mertuamu?”

“Dia juga enggak suka sama aku.”

“Tapi kan Faisya itu cucu mereka sendiri.”

Delia menepuk dadanya yang terasa sesak. Kok jadi seruwet ini. “Abang sih enggak pakai pengaman waktu itu, sekarang kita jadi kalang kabut begini.”

Galang terdiam. Dia tidak akan terpancing dengan kalimat kekasih gelapnya itu. Mereka sudah pernah bahas hal ini berkali-kali, bahkan berdebat panjang. Mau dibahas, mau didebat ribuan kali juga menjadi percuma.

“Solusi paling baik adalah kamu gugurkan kandungannya. Sudah, beres.”

Delia segera menutup teleponnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status