Share

Galau

“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”

Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.

Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.

“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”

“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”

“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”

Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. 

Firman mengelap keringatnya yang bermunculan. Dia hanya teringat akan Faisya. Gadis ciliknya itu nanti akan hidup dengan siapa, jika tiba-tiba dia mengusir Delia dari rumah.

Sebenarnya ada Ratri, ibunya. Akan tetapi nenek Faisya itu baru menikah tiga bulan lalu. Sangat tidak mungkin Firman menitipkan kepadanya. Lagi pula Ratri tinggal di sini, dan Firman merasa Jakarta bukan kota yang baik untuk Faisya.  Itulah mengapa dia memilih hidup terpisah dengan anak istri, sebab Firman lebih yakin jika sopan santun Faisya terjaga jika tetap tinggal di kampung.

Pikiran Firman melintas kepada Septi. Meskipun Delia jauh lebih baik dalam mengasuh Faisya, tetapi bagaimana pun juga Septi adalah ibu kandung Faisya. 

“Man, Firman.” Abdul menepuk-nepuk pundak Firman. Wajah lelaki itu menjadi ikut prihatin melihat Firman tercenung lama dan seperti melamun. “Kalau istrimu parah, coba dulu bicara sama bos. Siapa tau dikasih ijin.”

“Iya, Dul. Mungkin baiknya aku telpon istriku dulu ya,” ujar Firman sambil beranjak jauh. Mencari tempat yang lebih privasi.

Bukan nomor Delia, melainkan nomor Septi yang dia hubungi pertama kali.

“Apa? Kamu juga mau bilang nitip Fa ke aku? Kalian itu kalau mau pamer kemesraan enggak perlu, aku sama sekali udah enggak ada rasa sama laki-laki macam kamu,” cerocos Septi. Dia bahkan terlupa memberi salam.

Firman menjadi bingung. “Kok kamu tau aku mau nitip Fa?”

“Tadi istrimu ke sini, dia bilang gitu, katanya kalian mau honeymoon di Jakarta. Apa sih maksud kalian? Mau pamer?” seru Septi, diakhiri dengan tawa sumbang. Biarpun tidak ada kata honeymoon keluar dari bibir Delia, Septi sengaja menambahkannya sendiri, supaya mantan suaminya itu tahu bahwa tidak ada secuil rasa pun untuk dia.

“Oh, jadi Delia udah ke rumahmu untuk menitipkan Fa?”

Septi merespon dengan tawa sebal berdurasi tiga detik.

“Tapi sebenarnya kami lagi enggak mau honeymoon—“

“Terserah, enggak perlu kamu kasih tau aku. Kalau mau nitip Fa, nitip aja. Dia kan memang anakku, mau dikasihkan ke aku selamanya, pasti aku terima.”

“Bukan begitu, Sep. Sebenarnya pun ini bukan tentang Faisya, ini tentang Delia ….” Sejenak Firman menimbang, apakah tepat jika Septi menjadi orang pertama yang tahu persoalan dalam pernikahannya sekarang? Namun jika tidak diberitahu, Septi menyangka bahwa dia hanya akan dititipi Faisya dalam waktu yang sebentar.

“Mung – mungkin aku akan menceraikan Delia.”

“Apa?” Lengkingan Septi tidak bisa ditahan. 

“Iya, Sep, begitulah. Aku terlanjur kecewa sama Delia.”

Septi tertawa kencang. “Loh kenapa? Bukannya dia lebih baik dibanding aku? Delia tamatan SMA, aku hanya tamat SMP. Delia karyawan toko yang bersih dan cantik, aku cuma buruh kebun yang berkulit hitam kusam.”

Firman menahan diri untuk tidak terpancing.

“Oh, karena kamu udah ada yang kinclong lagi ya?” Lagi-lagi Septi tertawa.

“Jadi kamu bisa ya, Sep, dititipin Faisya sementara sampai aku ketemu solusinya.”

“Faisya itu anakku, Mas. Biar kata ibumu aku ini enggak becus ngurus Faisya tapi dia tetap anakku.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Firman buru-buru menutup telepon. Dia tidak berminat mendengarkan ocehan Septi.

“Gimana, Man?” Abdul berteriak dari posisi jauh dari Firman. Rupanya lelaki itu masih memperhatikan dirinya. Firman hanya tersenyum tipis untuk merespon Abdul.

Firman masih menimbang-nimbang, apakah sebaiknya dia menceraikan Delia lewat telepon saja atau dia nekat pulang lagi? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status