Share

Usul Galang

“Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.

Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk  ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.

“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.

“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.

“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”

Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.

“Terus kamu belum gituan sama dia?”

“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”

Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya dengan cemas. Bagaimana tidak cemas kalau nanti dia harus bertanggung jawab? Sedang dia tidak betul-betul suka dengan Delia. By the way, tidak akan ada lelaki waras mana pun yang akan sudi menikah dengan istri orang, apalagi yang gampang sekali diajak berzina kan?

“Tadi sih Mas Firman janji mau balik dua minggu lagi, semoga aja benar,” ucap Delia. Perempuan itu melirik Galang, jelas sekali wajah pacar gelapnya itu terlihat sedikit lega.

“Ya, masih ada waktu itu, besok pas lairan kan bisa berdalih kalau lahir prematur. Kayak artis-artis itu loh.” Entah mengapa Astuti tertawa kencang. Sedang Delia dan Galang tidak merespon ucapannya.

“Kalau feeling-ku Firman itu kayak udah tau tentang kita, Del.” Galang bersuara, lirih sekali. Tampak nadanya terselimut kekuatiran.

“Kalau itu enggak mungkin lah, Bang. Aku tau betul Mas Firman, dia orangnya polos. Dan aku tau dia itu cinta mati sama aku. Soalnya aku kan beda dari istri pertamanya. Itu juga Mas Firman sendiri yang bilang ke aku,” jawab Delia. Emosinya sedikit memercik.

“Iya, Gal. Kamu parno berlebihan. Tadi juga Firman biasa aja kok, enggak ada gerak gerik mencurigakan,” tambah Astuti.

Galang menghela napas.

“Eh, Del, Bibi buatkan jus mangga ya, tapi kita pindah ke teras aja yuk! Jam segini biasanya ibu-ibu murid kelas satu pada jajan jus juga di sini. Jangan sampai mereka curiga, nanti malah lebih gawat.”

“Aku mau beli beras sama telur kok, abis itu pulang,” Delia menjawab dengan bersungut. Dia jadi tersinggung karena merasa diusir.

“Eh, ini jus mangganya gratis, buat cucu Bibi,” bisik Astuti. Bisikan yang membuat Delia dan Galang kompak cemberut.

“Del, apa sebaiknya kamu gugurkan saja—“

“Apa?” Delia melengking mendengar usul Galang.

Astuti yang sudah melangkah ke depan menjadi setengah berlari masuk ke dalam. “Ada apa, Del?”

“Yang bener aja, Bi, masa Galang nyuruh aku menggugurkan kandunganku. Aku ini kan belum punya anak, kalau sampai kandunganku rusak dan enggak bisa punya anak lagi, gimana? Lagian kan menggugurkan itu taruhannya nyawa. Iya kan, Bi?” cerocos Delia panjang.

Astuti menghela napas. “Kenapa kalian berdua panik gitu sih? Sabarlah, pasti ada jalan keluarnya kok.”

“Tapi kalau Firman baru pulang dua bulan lagi gimana, Bu?” tukas Galang. Lelaki itu menoleh kepada Delia. “Memang kamu yakin, Del, kalau Firman beneran mau pulang dalam waktu dekat?”

Delia terdiam. Ingatannya dia gali kembali. Benar apa kata Galang, suaminya tidak pernah bisa cuti secepat itu. Firman hanya supir pribadi dari seorang bos besar, jadwal kerjanya serupa asisten rumah tangga yang nyaris tidak punya jadwal cuti yang tetap.

Delia pernah mendengar cerita Firman jika sebenarnya bosnya itu baik, tetapi Firman sering tidak enak sendiri jika sering meminta cuti sebab teman sejawatnya yang sama-sama bekerja di situ akan saling menggantikan pekerjaan salah satu dari mereka yang pulang kampung. Dan kebiasaan di antara mereka adalah mengambil cuti dua bulan sekali selama tiga atau empat hari.

Jadi benar analisa dari Galang, Firman tidak mungkin pulang dalam waktu dekat. Delia menutup wajahnya. Berarti kemarin itu sang suaminya hanya mengucap janji kosong.

“Del, kalau kamu yang ke Jakarta aja gimana?” usul Galang.

“Wah iya, itu, Del. Kamu susul Firman saja ke Jakarta. Kamu pernah ke rumah majikan Firman kan?” sahut Astuti.

Delia mengangguk ragu-ragu. “Tapi Faisya gimana? Dia kan masih sekolah.”

“Ya, tunggu dia libur. Hari sabtu kan tinggal dua hari lagi,” jawab Astuti.

“Ya gimana mau gituan kalau Faisya ikut,” decak Galang. “Kenapa enggak kamu titipin ke ibunya aja? Septi juga kan ada di desa yang sama dengan kita.”

Mata Delia bergerak gelisah. Firman tidak suka jika Faisya berlama-lama dengan Septi, meski dia ibu kandung Faisya sendiri. Menurut Firman, Septi itu bukan ibu yang bertanggung jawab. Intinya Firman tidak percaya kepada pengasuhan Septi.

Jika nanti Faisya dia tinggal dengan Septi, apa tidak akan menimbulkan masalah baru?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status