“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.
Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.
Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.
“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”
“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”
“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.
Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang, penemuan testpack dan usaha Delia yang tak kenal lelah untuk meminta nafkah batin. Bahkan Delia terus berusaha meminta meski dirinya beralasan sakit, sungguh bukan sesuatu yang biasa.
Akhirnya Firman paham, semua itu Delia lakukan agar bisa menghilangkan jejak perselingkuhannya. Kalau Firman sampai terkecoh, mungkin sebulan lagi, istrinya akan mengabarkan bahwa dia hamil, hasil hubungan mereka hari ini. Luar biasa licik rencana Delia.
“Seriusan Mas mau balik sekarang? Katanya libur tiga hari?” Nada protes mulai Delia lancarkan.
“Loh kan memang ini sudah hari ketiga, maksudnya tiga hari itu dihitung sama perjalanan balik ke Jakarta.”
“Ooh ….” Delia mulai mendekat. Menyentuh Firman dan berkata, “Yuk, Mas … sempatkan kita saling melepas rindu. Sepuluh menit aja kan bisa.”
Firman tertawa lagi. “Ngawur, yang nganter Fa sekolah siapa? Lagian badanku masih agak lemes, takut dipaksakan malah ambruk lagi.”
Delia mulai berkaca-kaca, jurus andalan perempuan itu agar Firman menuruti kehendaknya. Jika biasanya Firman langsung memeluk dan berusaha menenangkan Delia, kemudian menuruti apa pun yang dia inginkan. Namun tidak sekarang ini. Keadaan sudah berbeda, Firman sudah mulai mencium kecurangan di belakang sikap istrinya yang selalu manis.
“Maaf, Del, kayaknya kita mesti tunda dulu. Kamu yang sabar ya, bulan depan Mas usahain minta cuti lagi,” kata Firman, yang tentu saja hanya bualan belaka.
Tangis Delia pecah langsung. Perempuan dua puluh empat tahun itu menjatuhkan dirinya ke ranjang sambil sedikit meraung.
Firman keluar kamar.
“Bapak, Ibu Delia nangis? Kenapa?” tanya Faisya polos. Dia sedang sarapan seorang diri.
“Iya, katanya sakit perut.”
“Jangan-jangan ketularan Bapak. Kemarin kan Bapak juga sakit perut, eh Bapak udah sembuh?” Faisya bicara bertubi-tubi. Membuat Firman tersenyum.
“Iya, alhamdulillah Bapak udah sembuh, hari ini Bapak balik ke Jakarta.”
Faisya mengangguk.
Setelah selesai sarapan. Firman sengaja mengajak Faisya ke kamar menemui Delia, menyuruh anak kandungnya itu pamitan.
“Bu, jangan nangis lagi, biar cepat sembuh,” kata Faisya seraya mengelus pipi Delia. Delia pun tersenyum, namun senyumnya hilang saat melihat Firman yang berdiri di sebelah Faisya. Lelaki itu telah memakai jaket dan topi.
“Aku juga pamit ya, Bu,” ucap Firman. Dia terpaksa menunduk dan mau tidak mau mengecup kening istrinya. Melihat itu Faisya tersipu malu, kemudian berlari keluar.
“Maafkan aku ya, Del. Tapi aku janji akan pulang secepatnya untuk kita melepas kangen, aku juga sebenarnya kangen banget sama kamu.” Dengan berat hati Firman membuat janji palsu. Sesaat tadi dia tersadar bahwa anak kandungnya hidup bersama Delia. Ada rasa takut jika dia membuat hati Delia sakit, nanti Faisya kena imbasnya.
“Mas bisa pulang dua minggu lagi enggak?” Mata Delia yang basah memancar penuh harapan.
“Untuk istri Mas yang cantik, pasti Mas usahain yang terbaik.” Firman membuat janji palsu lagi.
Delia tersenyum.
“Udah, kamu istirahat aja, biar aku antar Faisya ke sekolah, naik taksi sekalian aku ke stasiun.”
Delia mengangguk.
Taksi datang, Faisya dan Firman segera naik.
“Fa, mau beli jajan dulu enggak? Bapak sekalian mau beli minum,” kata Firman sesampainya mereka di sekolah Faisya.
Tentu saja Faisya mengangguk. Mana ada anak kecil ditawarin jajan tidak mau. Bapak dan anak itu pun melangkah ke warung Galang.
Entah hanya perasaan Firman saja atau memang kenyataannya begitu. Galang terlihat gugup sekali dalam melayani Faisya dan dirinya. Hal ini membuat kecurigaan Firman bertambah besar.
“Eh, Firman, udah sembuh?” Astuti muncul dari dalam.
“Loh kok Bibi tau aku sakit?” tanya Firman. Dia memang memanggil Astuti dengan sebutan Bibi, karena ibu dari Galang itu masih kerabat dari ayahnya.
“Eh, kan kemarin Faisya dan Delia yang bilang, tiap hari Faisya jajan di sini. Iya kan, Fa?” Astuti memandang bocah sekolah dasar itu dengan mata membesar. Faisya hanya mengangguk sekilas, lalu memilih lagi jajanan yang dia inginkan.
Lidah Firman ingin sekali bertanya macam-macam, tetapi ditahannya saja. Dia tidak ingin membuat Astuti dan Galang curiga. Firman akan mengikuti permainan mereka, sembari memikirkan bagaimana cara menangkap basah perbuatan keji ini.
Setelah membayar, Firman mengantar Faisya sampai gerbang sekolahnya. Kemudian dia kembali masuk ke dalam taksi. Tidak ada yang tahu jika Firman memesan taksi dengan tujuan pasar di dekat sekolah Faisya, dan dari pasar Firman memesan taksi yang lain untuk ke stasiun.
“Pak, nanti lewat SD ya, terus kalau lewat situ tolong bawanya pelan-pelan saja, saya mau lihat anak saya di sekolah,” kata Firman kepada sopir taksi sesaat p4ntatnya menyentuh jok mobil.
Meski merasa aneh, si sopir mengiyakan saja.
Bukan sekolah Faisya yang ingin Firman lihat, melainkan toko kecil di seberang sekolah itu. Hatinya bergetar hebat, ketika tebakannya betul seratus persen. Mata kepala Firman melihat motor sang istri terparkir di depan toko kecil bibinya.
“Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.“Terus kamu belum gituan sama dia?”“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya
“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandung
“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep
“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul
“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men
“Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.
Firman tertawa menggelegar. “Ngelawak kamu kan, Sep?”Sementara Delia sudah terduduk lemas di salah satu kursi terdekat.“Bu, kok lama?” Faisya akhirnya muncul. “Loh ada Ibu Septi juga?”Ketiga orang dewasa di situ saling melirik satu sama lain.Faisya berlari mendapatkan Delia. “Bu, udah siang nih, nanti kalau Fa terlambat sekolah gimana?”Delia melirik Firman. Lelaki itu terpekur, jelas sekali dia menahan beban yang maha berat. “Ayok, Ibu siapkan air hangatnya ya.”Faisya bersorak. Dia menarik tangan Delia untuk pergi ke belakang.“Kamu mau tau siapa bapak Faisya yang sebenarnya?” Septi dengan nada tercampur tawa, bertanya. Di telinga Firman terdengar begitu mengejek.“Omong kosong apa kamu, Sep. Kamu itu hanya ingin memperkeruh suasana, iya kan? Seneng melihat aku makin terpuruk.”Septi mengumbar tawa. “Ya terserah sih kalau kamu enggak percaya. Tapi yang sebenarnya ibumu tau.”Firman tersengat kaget.“Kamu boleh tanya ibumu sendiri, kalau kamu enggak percaya sama aku. Ngomong-ngom
“Mau ngapain kamu seret-seret koper ke sini?” Lasmi, ibu kandung Delia tertawa lebar melihat kedatangan anak pertamanya. Sama sekali tidak ada rasa kasihan melihat wajah putrinya yang sudah bersimbah air mata.“Udah jadi orang kaya kok mau balik ke gubug derita, nanti kudisan kamu,” lanjutnya sambil memiringkan bibir.“Ibu ….” Delia menghambur ke kaki ibunya. “Maafkan aku, Bu.”Lasmi makin kencang tertawa, meskipun dalam hatinya sangat perih. Anak sulungnya ini yang sudah berani melawan perintahnya, bahkan nekat kabur dari rumah lalu menikah tanpa restu. Delia pula yang pernah sesumbar tidak akan lagi balik ke rumah sebab dia sudah hidup dengan layak bersama suami pilihannya.“Kalau ada apa-apa dalam pernikahanmu, sana ke bapakmu, jangan ke sini. Kan bapakmu yang merestui pernikahanmu,” ujar Lasmi seraya menahan tangis. Bagaimana pun hati seorang ibu tidak tega melihat anak kandungny