“Hancur semua, Bang. Berantakan … gagal total, padahal tinggal selangkah lagi,” racau Delia. Air matanya bercucuran deras sehingga terlihat begitu menyedihkan. “Aku enggak tau kenapa, tiba-tiba Mas Firman mengeluh sakit kepala pas keluar dari kamar mandi, setelah itu bolak balik ke toilet, katanya perut dia juga sakit.”
“Jangan-jangan keracunan,” ceplos Galang. Dia memandang kepada Astuti, ibu kandungnya, yang duduk dekat Delia.
“Tapi aku dan Faisya kan makan makanan yang sama, masa cuma Mas Firman aja yang keracunan,” tukas Delia.
“Sabarlah, Del, kan masih ada malam ini. Kata kamu kemarin Firman cuti tiga hari kan?” tutur Astuti. “Lebih baik sekarang kamu pulang, rawat Firman, kasih dia perhatian yang penuh biar cepat sembuh. Jadi rencana kita berhasil.”
Galang ikut mengangguk dengan usul sang ibu. Sejujurnya dia juga sama kuatirnya dengan Delia. Jika rencana mereka gagal malam ini, mereka harus menunggu jadwal kepulangan Firman yang berikutnya. Itu berarti paling cepat dua bulan lagi, bahkan bisa lebih. Bukankah perut Delia sudah semakin besar saat itu? Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar.
“Duh, gimana kalau Delia enggak berhasil sampai Firman balik Jakarta ya, Bu?” tanya Galang, tentu saja setelah Delia pergi. Mendadak hatinya berkesiur. “Jangan-jangan Firman sudah tau, terus sakitnya itu cuma alasan buat menghindari ajakan Delia.”
“Ck, malah kamu juga punya pikiran negatif gitu. Udahlah tenang aja. Kita kan udah sama-sama tau kalau Firman itu bodoh. Buktinya selama ini Delia selalu dapat apa yang dia mau dari Firman kan?”
Kalimat mantap dari ibu kandungnya itu sama sekali tidak melunturkan kegelisahan hati Galang. “Aku enggak mau nikah sama Delia, Bu. Aku sama dia kan sebatas senang-senang aja. Mana mau lah aku punya istri licik kayak Delia.”
“Tenang aja, Gal. Itu ada pembeli datang, layani dulu.” Tunjuk Astuti pada warung di depan rumah mereka.
Sementara itu, Delia sudah mencapai rumahnya. Wajah yang sempat basah karena air mata sudah tidak tampak lagi. Tadi sebelum pulang, dia sudah sempatkan mencuci muka dan mengoleskan bedak tipis-tipis.
“Mas ….” Delia melongok ke kamar. Dilihatnya Firman masih meringkuk di bawah selimut, hanya bagian kepala saja yang terlihat.
Firman melirik pelan. “Kok kamu lama, Del?”
“Maaf, Mas. Biasa … ibu-ibu sesama pengantar anak sekolah, kalau anak-anak udah masuk kelas kita ngerumpi dulu. Enggak enak mau nyelonong pergi,” sahut Delia seraya beringsut mendekat. “Maaf ya, jadi ninggalin Mas agak lama.”
Firman memaksa menyungging senyum. Kedua bola mata lelaki itu menjadi waspada ketika Delia makin mendekat, lalu dilihatnya perempuan itu memegang ujung selimut sambil berkata, “Mas, aku kerik sini—“
“Jangan!” Firman melengking hingga telinganya sendiri sebenarnya kaget. Tangannya mencengkeram kuat-kuat selimut yang membungkus tubuhnya.
Delia spontan memegangi dadanya sendiri. “Astaga, kaget aku, Mas. Kenapa kok sampai teriak?”
“Maaf, Del, tadi pas aku mau ngomong tiba-tiba kepalaku cekot-cekot gitu, reflek … jadi kayak teriak, maaf ya.”
Delia menarik sudut bibirnya, berniat tersenyum tetapi ternyata tidak bisa. Tangannya bergerak ke dahi Firman, menempel di sana beberapa saat. Terlihat titik-titik air di wajah suaminya, seperti orang yang kepanasan. “Kok bisa mendadak sakit gini ya, Mas. Atau kita—“
“Del, aku tolong dibeliin bubur, aku pengen makan bubur sumsum,” kata Firman memotong ucapan sang istri dengan sengaja.
“Oh, oke Mas. Aku beliin dulu ya,” ujar Delia, perempuan itu pun mengurai jarak.
Delia melihat kepada Firman sekali lagi sembari memegang handle pintu. Hati dalam rongga dada Delia menjadi masgul, mendapati suaminya masih bergelung selimut dan merintih sesekali. Sepertinya rencana Galang benar-benar menuju kegagalan, tidak ada tanda-tanda keadaan Firman membaik. Jadi dia harus bagaimana?
Delia bergerak dengan kecewa, dan pintu tertutup sempurna.
Firman pun melirik, lalu telinganya mendengar suara mesin motor Delia menjauh dan semakin jauh. Barulah dia bernapas lega sambil membuka selimut. Sudah barang tentu lelaki itu kepanasan luar biasa, tiga menit sebelum Delia masuk rumah, Firman baru saja berlari untuk mencapai ranjang ini. Kemudian berbaring dan menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Bahkan dia tidak sempat membuka jaket dan sandalnya, demi memuluskan akting yang dia buat.
Padahal sewaktu tadi Delia pergi mengantar Faisya sekolah, sesungguhnya Firman membuntuti mereka menggunakan ojek online. Lelaki itu melihat saat Faisya mencium tangan Delia lalu berlari masuk ke halaman sekolah. Firman juga melihat saat Delia masuk ke sebuah warung di depan sekolah Faisya.
Sayangnya ayah kandung Faisya itu hanya bisa melihat dari jauh, dia tidak ingin mengambil resiko untuk mendekat. Yang jelas Delia berada lumayan lama di dalam sana, lalu keluar tanpa menenteng sesuatu pun. Terlihat juga si pemilik warung memandang Delia begitu lekat ketika perempuan itu hendak pergi.
Firman tahu pemilik warung itu. Bahkan Astuti masih terhitung saudara jauh dari pihak bapaknya. Firman juga tahu Astuti memilik anak laki-laki bernama Galang. Apakah mungkin Galang adalah laki-laki yang menyebabkan Delia ….
Ah, dada Firman terasa terbakar jika mengingat bahwa semalam dia menemukan potongan testpack di lubang kloset. Mungkin Delia ingin menghilangkan barang bukti, tetapi Tuhan berkehendak lain.
Tangan Firman terkepal kuat. Jika benar sekarang Delia dalam keadaan hamil, sudah jelas bukan benih dia yang ada dalam perut Delia. Ingatannya masih begitu kuat, dua bulan lalu saat dia balik ke Jakarta, istrinya itu sedang dalam keadaan menstruasi.
“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang
“Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.“Terus kamu belum gituan sama dia?”“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya
“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandung
“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep
“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul
“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men
“Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.
Firman tertawa menggelegar. “Ngelawak kamu kan, Sep?”Sementara Delia sudah terduduk lemas di salah satu kursi terdekat.“Bu, kok lama?” Faisya akhirnya muncul. “Loh ada Ibu Septi juga?”Ketiga orang dewasa di situ saling melirik satu sama lain.Faisya berlari mendapatkan Delia. “Bu, udah siang nih, nanti kalau Fa terlambat sekolah gimana?”Delia melirik Firman. Lelaki itu terpekur, jelas sekali dia menahan beban yang maha berat. “Ayok, Ibu siapkan air hangatnya ya.”Faisya bersorak. Dia menarik tangan Delia untuk pergi ke belakang.“Kamu mau tau siapa bapak Faisya yang sebenarnya?” Septi dengan nada tercampur tawa, bertanya. Di telinga Firman terdengar begitu mengejek.“Omong kosong apa kamu, Sep. Kamu itu hanya ingin memperkeruh suasana, iya kan? Seneng melihat aku makin terpuruk.”Septi mengumbar tawa. “Ya terserah sih kalau kamu enggak percaya. Tapi yang sebenarnya ibumu tau.”Firman tersengat kaget.“Kamu boleh tanya ibumu sendiri, kalau kamu enggak percaya sama aku. Ngomong-ngom