“Pokoknya Mas harus pulang minggu ini!” tukas Delia setengah menjerit.
Dalam layar telepon genggam Delia, Firman tampak tersenyum-senyum. Berbanding terbalik dengan wajah Delia yang cemberut. Bola mata Delia menatap ke arah lain, tidak mau memandang Firman.
Memang begitu setiap kali Delia punya keinginan, tetapi Firman senang membiarkan hal itu lebih lama dengan terus menggoda. Baginya Delia bertambah cantik kalau sedang merajuk, lagi pula lelaki itu tahu jika istrinya hanya sedang berpura-pura marah.
“Iya deh, Mas usahain pulang minggu ini ya.” Akhirnya Firman mengucapkan kalimat yang sedari tadi diminta Delia.
Seketika senyum Delia merekah, mata bulatnya berbinar menatap gambar Firman. “Bener loh ya, jangan bohong. Pokoknya kalau bohong, aku marah.”
“Iya, besok Mas kabari kamu, Sayang. Mas izin dulu ke—”
“Ah … pokoknya pulang, Mas. Apa Mas enggak kasihan sama aku?” Delia menukas, tetapi nadanya dibuat manja. “Udah enggak kuat nahan kangen, Mas ….”
“Iya, iya, Sayang. Udah larut malam ini, bobok yuk!” sahut Firman, lagi-lagi tersenyum lebar.
“Cium dulu dong, Mas …,” Delia mendesah genit, “biar aku mimpiin Mas.”
Firman tersenyum bahagia. “Muach. Udah sana bobok.”
Panggilan video itu ditutup setelah mereka saling memberi salam. Delia melemparkan teleponnya ke atas ranjang, kemudian perempuan berkulit sawo matang itu berjoget kecil untuk beberapa waktu.
“Yes!” Delia meninju udara seraya memekik pelan.
“Del … Delia ….” Terdengar suara lirih memanggil dari kolong tempat tidur.
Eh, iya, karena terlalu senang Delia sampai melupakan Galang. “Keluar, Bang, udah aman,” sahut Delia berbisik.
Sejurus kemudian Galang muncul dengan gerakan pelan, setelah berdiri dia menepuk-nepuk lembut badannya yang bertelanjang dada.
“Ampun … lama banget, sampai aku digigitin nyamuk,” sungut Galang.
“Maaf, Bang, denger sendiri kan, Mas Firman tadi susah dibujuk.”
“Tapi akhirnya mau kan?” Galang bertanya sambil mulai memakai bajunya.
“Ssst, jangan keras-keras, nanti Faisya bangun,” kata Delia sambil melirik ke pintu.
Galang mencebik, tetapi satu tangannya meraih tangan Delia. Sekali sentak perempuan itu sudah berada dalam pelukannya lagi. Ya, sebelum Delia melakukan panggilan telepon dengan suaminya, mereka berdua sedang berpelukan setelah hampir dua puluh menit menyatu. Menggenapi dosa besar yang sering mereka lakukan.
“Kamu belum jawab, Del. Firman jadi pulang enggak minggu ini?” bisik Galang.
“Tenang aja, Bang. Kan udah kubilang suamiku itu bodoh, dia akan melakukan apa pun yang aku minta,” sahut Delia.
Galang menyembur lega. “Syukurlah. Pokoknya jangan buang waktu, begitu dia sampai rumah harus kamu ajak gituan.”
“Iya, Bang, tenang aja kalau soal itu. Eh, kenapa Abang enggak cemburu sih? Berarti Abang enggak cinta sungguhan dong sama aku?”
“Tentu aja cemburu lah, Del,” tukas Galang, “tapi mau gimana lagi. Situasi belum tepat kan? Kita harus sabar dan main cantik.”
Galang melayangkan kecupan kecil, setelah itu dia bergerak melepaskan Delia dari pangkuannya. “Ya udah ya, kayaknya udah sepi, aku pulang dulu.”
“Enggak mau nambah?” Tiba-tiba Delia membuat gerakan menggoda. “Mumpung Mas Firman belum di rumah loh.”
“Astaga … emang kamu enggak ada puasnya ya, udah dua kali,” Galang menyahut gemas. Laki-laki berambut ikal itu berjalan ke arah jendela. “Cukup, besok lagi ya, Sayang.”
Delia meringis. Dia memang hanya bermaksud menggoda saja. Galang membuka jendela dan melompat keluar, cara yang sama seperti ketika dia datang tadi.
Delia mematikan lampu dan bersiap tidur. Dua hari lagi suaminya akan pulang. Kalau biasanya Delia yang mengulur waktu untuk berduaan dengan berbagai alasan, khusus lusa dia tidak segan-segan untuk meminta terlebih dulu kepada Firman. Pokoknya dia harus menjalankan rencana Galang, yakni membuat sang suami berhubungan badan dengan dirinya sesegera mungkin.
Ah … Delia menarik napas lega seraya memejamkan mata. Galang memang cerdas. Ketakutannya kini telah sirna, Galang sudah memberikan dia solusi atas masalah yang timbul dan Delia yakin semuanya akan berjalan sesuai rencana. Tanpa sengaja dia mengelus perutnya, meski masih rata, tetapi di dalamnya telah bersemayam benih Galang.
“Bapak ….”Suara lengkingan Faisya membuat telinga Firman sejuk seketika. Apalagi ditambah senyuman yang rekah, lalu langkah kecil Faisya berlari menyambut dirinya, seakan si bocah sudah tidak sabar untuk berada dalam pelukan sang bapak.“Bapak, Fa kangen sama Bapak,” tuturnya centil. Tangan Faisya yang halus melingkari leher Firman. “Bapak udah lama enggak pulang, apa Bapak enggak kangen sama Fa?”“Aduh, manjanya … padahal kalau enggak ada Bapak, Fa itu pinter apa-apa sendiri loh, Pak,” celetuk Delia. Wajahnya yang memang manis, dia pasang lebih manis lagi. “Fa itu anak pintar dan mandiri.”Si bocah sembilan tahun itu tertawa. Senang dipuji Delia, ibu tirinya.“Pak, mau Fa kasih tau satu rahasia Ibu Delia enggak?”Deg.Delia tiba-tiba tegang. Melihat Faisya menarik leher Firman, kemudian mendekatkan mulut kecilnya ke telinga Firman. Satu telapak tangannya tergelar membentuk kipas, khas orang sedang membisikkan suatu rahasia.“Ibu Delia kangen sama Bapak juga.” Suara Faisya lebih miri
“Hancur semua, Bang. Berantakan … gagal total, padahal tinggal selangkah lagi,” racau Delia. Air matanya bercucuran deras sehingga terlihat begitu menyedihkan. “Aku enggak tau kenapa, tiba-tiba Mas Firman mengeluh sakit kepala pas keluar dari kamar mandi, setelah itu bolak balik ke toilet, katanya perut dia juga sakit.”“Jangan-jangan keracunan,” ceplos Galang. Dia memandang kepada Astuti, ibu kandungnya, yang duduk dekat Delia.“Tapi aku dan Faisya kan makan makanan yang sama, masa cuma Mas Firman aja yang keracunan,” tukas Delia.“Sabarlah, Del, kan masih ada malam ini. Kata kamu kemarin Firman cuti tiga hari kan?” tutur Astuti. “Lebih baik sekarang kamu pulang, rawat Firman, kasih dia perhatian yang penuh biar cepat sembuh. Jadi rencana kita berhasil.”Galang ikut mengangguk dengan usul sang ibu. Sejujurnya dia juga sama kuatirnya dengan Delia. Jika rencana mereka gagal malam ini, mereka harus menunggu jadwal kepulangan Firman yang berikutnya. Itu berarti paling cepat dua bulan lag
“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang
“Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.“Terus kamu belum gituan sama dia?”“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya
“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandung
“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep
“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul
“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men