Melissa meletakan piring kotor yang baru saja dia cuci pada rak piring, suara keramaian masih terdengar dari ruang makan. Para orang tua sudah membubarkan diri, yang tertinggal hanya Erlangga dan sepupu-sepupunya.“Ehm…”“Ibu?” ucap Melissa terkejut saat melihat ibunya yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.“Kau seharusnya bergabung di depan, bukannya di sini dan mencuci piring.” ucap Ibu Melissa.“Sudah terlalu larut.” ucap Melissa. “Sebentar lagi aku akan tidur.” ucap Melissa.“Aku dengar Rio belum ada kabar.” ucap Ibu Melissa. “Ibu harap kau tidak menggunakan kesempatan ini untuk memiliki hubungan yang lebih dalam lagi dengan Erlangga–”“Tenanglah, ibu. Aku bukan gadis seperti itu. Sejauh ini kami hidup seperti teman, tak ada benih-benih cinta di antara kami. Secepatnya setelah Marissa kembali aku akan meninggalkan Erlangga.” potong Melissa cepat sebelum dia menjadi begitu muak dan emosi dengan semua ucapan ibunya.“Bagus,” ucap Ibu Melissa. “Ibu harap tidak ada yang tersakiti lagi.
“Setelah itu, arahkan ke arah cahaya, perhatikan warnanya. Kemudian nikmati aromanya.” Ucap Erlangga. Melissa mendekatkan gelas ke arah hidungnya lalu menghidu aroma wine yang menguar dari gelasnya.“Aromanya manis.” Ucap Melissa.“Lalu sesap dengan perlahan, jangan meminumnya dengan sekali teguk. Kau harus meminumnya dengan perlahan.” Ucap Erlangga.Melissa menganggukkan kepalanya, dia lalu mulai menyesap wine di gelasnya. Erlangga melakukan hal yang sama, matanya terpaku pada ekspresi Melissa.“Ahh…” Melissa mendesah begitu cairan merah itu masuk ke dalam kerongkongannya.“Bagaimana?” tanya Erlangga penasaran.“Ini lezat sekali.” ucap Melissa. Erlangga hanya menyeringai mendengar jawaban Melissa.“Lagi?” tawar Erlangga.”Hmm!” angguk Melissa bersemangat.Erlangga kembali menuangkan wine ke dalam gelas Melissa, gadis itu lalu meneguk wine tersebut.“Kenapa aku baru meminum ini sekarang?” ucap Melissa.“Memangnya Rio tidak pernah mengajakmu meminum wine?” tanya Erlangga.“Rio tidak su
“Kenapa kau tidak pernah mencoba membuka hatimu untukku? Kenapa kita tidak bisa melangkah saja ke depan sebagaimana suami istri pada umumnya?” tanya Erlangga.“Karena aku tidak mencintaimu–” Ucap Melissa.Erlangga membungkam bibir Melissa dengan sebuah ciuman. Tak ada penolakan seolah Melissa tak sadar Erlangga sedang menciumnya. Dia sudah terlalu lelah dan mulai tak sadarkan diri.“Apa yang bisa aku lakukan supaya kau bisa mencintai diriku?” tanya Erlangga.“Tidak ada.” balas Melissa. “Kau tidak ditakdirkan untukku.” ucap Melissa.Erlangga menarik Melissa dengan paksa lalu kembali memagut bibir gadis itu. Disesapnya bibir mungil gadis itu seolah tak peduli mereka akan kehabisan napas, aroma wine yang menguar dari bibir Melissa membuat Erlangga semakin bergairah.“Tapi bukankah kau tahu takdir bisa diubah?” tanya Erlangga.“Hanya bila kedua pihak mau berusaha untuk merubahnya.” ucap Melissa.Ucapan Melissa berhasil menyulut ego di dalam diri Erlangga, seolah dia ingin membuktikan pada
Halte BusMelissa duduk di halte sambil menunggu bus datang. Gadis itu menengadahkan kepalanya dan menatap langit biru yang cerah tapi tampak begitu mengintimidasinya. Melissa ingin menyangkal semua yang terjadi semalam tapi tubuhnya tidak bisa menyangkalnya. Dia merasakan perbedaan yang sangat besar. Dia tidak bisa membohongi dirinya bahwa tidak terjadi apa-apa. Terus terang saja bayangan ibunya, kakaknya dan Lee Rio berputar-putar di dalam kepalanya terus-menerus. Seharusnya dia bisa menjaga diri dan tidak membiarkan dia dan Erlangga larut dalam perbuatan bodoh semalam.“Wine.” bisik Melissa.“Bodoh!” ucap Melissa lalu menjambak rambutnya sendiri dengan kesal.“Siapa yang bodoh?”Sebuah suara yang tak asing membuat Melissa dengan cepat menolehkan kepalanya dan betapa terkejutnya dia begitu mendapati RIo berdiri dengan senyum simpulnya seperti biasanya seolah tak pernah terjadi apa-apa.“Rio!?” ucap Melissa lalu berdiri dari kursi halte. Dia mengamati Rio dari atas sampai bawah. Tak
Cocoa CafeMelissa mengaduk es coklat di hadapannya dengan tidak semangat. Pagi ini dia meminta izin pada Raga untuk tidak bekerja. Dia sudah berjanji akan menggantinya dengan kerja lembur nanti, atau bila Raga akan memotong gajinya sekalipun dia tidak peduli. Yang ia butuhkan sekarang adalah menyendiri dan membuat pikirannya tetap waras. Cocoa Cafe terlintas begitu saja di kepalanya. Dia suka dengan situasi kafe ini.“Bagaimana ini?” gumam Melissa. Bagaimana bisa dia dan Erlangga melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan.Melissa melipat kedua tangannya lalu menenggelamkan kepalanya. Seketika wajah ibunya, Marissa, dan Rio muncul seolah mengintimidasinya. Dia seharusnya bisa menjaga dirinya. Dia tidak bisa mempercayai Erlangga mulai saat ini.Drrt Drrt DrrtMelissa tidak mengacuhkan getaran ponselnya. Sejak tadi kalau bukan Rio pasti Erlangga yang menghubunginya terus menerus. Sial, dia bahkan ingin sekali membanting ponselnya agar tidak terus bergetar dan membuatnya semaki
Perusahaan Keluarga ErlanggaErlangga berulang kali menghubungi ponsel Melissa tetapi yang ia dapatkan ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi. Erlangga sudah meminta Jun untuk mencari keberadaan Melissa tetapi sampai detik ini Jun belum juga melapor padanya di mana keberadaan Melissa.Tok Tok TokErlangga mengangkat kepalanya, dia lantas menyimpan ponselnya di atas meja. “Masuk.” Ucap Erlangga.Pintu terbuka kecil, tubuh mungil Nari sekretaris Erlangga muncul dari balik pintu.“Selamat siang Tuan Erlangga, istri anda ingin bertemu dengan anda.” Ucap Nari.Dahi Erlangga berkerut bingung. Melissa tidak pernah datang ke perusahaannya, Erlangga juga ragu gadis itu tahu alamat kantornya walaupun perusahaan milik keluarga Erlangga sangat terkenal. Sejauh ini dia yakin tidak ada hal penting yang bisa membuat Melissa datang ke perusahaannya.“Ya.” balas Erlangga dengan anggukan.Nari membuka pintu semakin lebar dan sosok yang ia sebut sebagai istri Erlangga berdiri di ambang pintu. Erlangga m
Cocoa CafeMelissa menyalakan ponselnya setelah seharian ini dia mematikannya. Puluhan panggilan dari Rio dan Erlangga memenuhi layar ponselnya. Dia tidak terkejut sama sekali. Gadis itu memilih untuk mengabaikannya. Dia lalu menatap jam tangannya, sudah hampir jam sepuluh malam. Dia harus pulang. Seketika tubuhnya menjadi tidak bersemangat. Dia malas membayangkan bila nanti bertemu dengan Erlangga.“Selamat malam nona,”Melissa menolehkan kepalanya dan terkejut melihat sosok pelayang kafe yang berdiri di hadapannya.“Kafe kami akan tutup sebentar lagi, maaf bukan tidak sopan tetapi–”“Ah… aku mengerti. Tidak apa-apa, aku akan pulang sekarang, terima kasih tidak mengusirku sejak siang.” Ucap Melissa dengan candaan.“Kami tidak akan mengusir anda. Datanglah lagi besok bila anda berkenan.” Ucap pelayan tersebut dengan ramah.“Aku pasti akan datang, tempat ini sangat menyenangkan.” Ucap Melissa.Melissa lalu berdiri dari kursinya, dia menyiapkan uang untuk membayar pesanannya. Rasanya be
“Hallo, ibu?” sapa Erlangga.“Oh? Erlangga? Di mana Melissa?” tanya suara dari seberang telepon.“Melissa sudah tidur, ada yang perlu disampaikan? Aku akan memberitahu Melissa kalau dia bangun.” ucap Erlangga.“Ah tidak apa-apa. Besok pagi saja aku menelpon lagi, terima kasih Erlangga Lanjutkan istirahatmu.” Ucap Ibu Melissa.“Iya,” balas Erlangga lalu mematikan ponsel.Erlangga lalu memasukkan kembali ponsel Melissa ke dalam tas. Erlangga lantas duduk di atas ranjang. Ingatannya berputar pada pertemuan singkatnya dengan Marissa tadi di kantor.“Ibunya menelpon malam-malam begini sudah pasti ada kaitannya dengan kembalinya Marissa.” Ucap Erlangga. Wajahnya berubah dingin seketika. Aneh rasanya bahwa dia bahkan tidak senang sedikit pun dengan kehadiran Marissa.Lima belas menit berlalu. Melissa belum juga keluar dari kamar mandi, apakah gadis itu baik-baik saja?Ceklek!“Aku sudah selesai, kau mau mandi?” tanya Melissa yang baru saja keluar dari kamar mandi.Erlangga mengangkat kepalan