Aqiqahan Atthaya Ghaazi digelar di rumah tante Moza yang sekarang ditinggali oleh mertuaku. Rumah yang berhalaman luas itu disulap oleh jasa tim dekor, menjadi jauh lebih semarak dan hangat dibanding melaksanakan dengan Fullday di hotel.
Pada hari lahirnya ke empatpuluh keluarga besar suamiku menyambut hadirnya putra kami, kecuali Feysa yang sedang studi di luar negeri.Melewati waktu zhuhur tamu undangan yang menyaksikan acara pokok aqiqah dan pemberian nama sudah pulang, hanya tamu keluarga dari pihak Erland dan keluarga-kerabatku yang masih mengalir, juga beberapa rekan kerja suamiku yang silih berganti.""Boleh ku gendong, Al?" Restu minta izin melihat Atthaya Ghaazi yang nampak anteng dalam gendonganku."Bisa, kamu?" Kutersenyum mencandai, tapi kuulurkan bayiku ke tangan Restu yang menyambutnya sedikit kaku."Dengan Om Restu dulu ya Nak, mama lapar lagi ini,"Perutku sudah keruyukan lagi padahal pukul tujuh sudah sarapan,Matahari di ufuk timur menyembul malu-malu, sehabis hujan dini hari. Udara segar yang berhembus menyentuh kulit terasa sejuk kuresapi diantara ayunan kaki mendorong stroller baby Ghaazi perlahan di tracking paving blcok pedestrian.Beberapa remaja tanggung meluncur di atas skateboard ditingkahi tawa dan celoteh tak jelas terbawa angin. Satu-dua pasangan terlihat mengayun langkah santai mengitari ruang terbuka hijau di area cluater.Kuhentikan langkah buat memastikan putraku masih nyaman, siapa tahu topi kupluk rajutnya bergeser terlalu dekat ke mata. Aih, si penakluk hati tersenyum dengan manisnya.Tiiin.Tiiin.Mobil Inova yang sangat kukenali menepi. Restu turun dari pintu pengemudi dan memutari belakang mobil. Mengenakan kaos dan slack-pants warna biru navy, lelaki itu terlihat begitu segar. Dengan cekatan mengeluarkan baby Ghaazi dan menyerahkan padaku."Pagi, babby-boy? Hari ini temani om,ya?" "Kita kemana, Res?" bertanya bingung
"Kamu saja yang ke sana, Al? Aku harus ke kantor, banyak invoice terbengkalai kutinggal pergi lima hari?" ucapan Erland menyahuti ajakanku mengunjungi Arumi pagi ini."Temani Ghaazi bentar, kusiapkan sarapan." kuletakkan putraku di tempat tidur, agak ketengah. Khawatir dia akan berguling walaupun berapa hari ini masih tahap ancang-ancang.Sambil menyiapkan roti selai dan sosis panggang di oven, kupertimbangkan usulan suami untuk mengunjungi Arumi tanpa ditemani. Jika Ghaazi kubawa serta tentunya akan menghibur Om Jiwo dan tante Mia, karena setahuku baby Saloom Almeraa dan papa-mamanya sudah balik ke kota domisili mereka.Erland muncul di ruang makan menggendong Ghaazi yang terkekeh senang khas bayi dicandai papanya."Bagaimana kalau kesana ditemani sama mama? Kutelponkan beliau...""Tidak usah Mas, mama biar istirahat dulu. Sudah lima hari kami merecoki beliau?" tolakku cepat. Lima hari Erland pergi ke luar negeri maka selama it
Sepanjang obrolanku dengan tante Mia, jarum waktu barangkali sudah melampaui satu jam. Arumi masih betah berinteraksi dengan putraku, baby Ghaazi pun anteng saja.Percakapan ringan seputar maraknya kedua bayi sepantaran, Ghaazi dan Saloom yang menggemaskankami, kabar mertuaku yang pindah ke kota ini dan kondisi kesehatan bunda pun sempat ditanyakan oleh tante Mia. Baby Ghaazi yang mulai rewel segera kutitipkan ke assisten Arumi, sementara aku permisi ke tolilet BAK sekaligus untuk memompa ASI. Susu Formula juga kucadangkan karena bayi lelakiku belum kuberi MPASI. "Biar sebentar denganku?" Arumi berucap ketika baby Ghaazi kusodorkan ke arah Assistennya. Sejenak kuragu, tetapi tante Mia bergerak cepat ke samping Arumi."Tante di sini, kok?" ucapnya meyakinkan. Bukan apa-apa, aku khawatir Arumi tak bisa mengimbangi bobot bayiku bila memegangnya dengan tanggung."Baby Ghaazi lumayan berat lho, mama Arumi?" ucapku kikuk, meminta pengertian t
Putra Erland nampak menggemaskan di pangkuan Arumi. Awalnya aku tak mengenali, sedikit bingung melihat bayi selain Saloom Almeera begitu menggerakkan hati Arumi."Aih gemasss, siapa namamu baby boy?" kutowel pipi bayi yang bergerak kecil menendang udara. "Atthaya Ghaazi Satrio, mamanya sedang pompa ASI. He, mama Arumi kuat juga mangku kamu toh?" mamanya Fakih yang menjawab. Satrio. Bukankah itu nama belakang Erland? Hh, kenapa jumpa lagi dengan Alia disini? Padahal baru dua hari lalu melihatnya di ceremoni Ekspo Mom and Baby & Kid yang harus kulaporkan penyelenggaraannya ke redaksi. Beberapa foto bahkan sempat kubidik jarak jauh dengan lensa kamera. Fotonya tersenyum ditujukan ke Restu. Foto lain yang merekam bentuk perhatiannya menyodorkan kotak sarapan. "Hai," Sapaannya terdengar sopan dan hangat. Kuulas senyum tipis saja menanggapinya. Mama Fakih meninggalkan kami dan Arumi pun berkata ingin beristirahat. Assistennya meng
"Feysa usul kita ke Qatar pas event Piala Dunia. Kamu bisa cuti kan, Mer? Sekonyong-konyong Tyas menyodorkan rencana keren itu sepulangnya dari Singapura dan ketemuan Feysa di sana.Duh, berapa duit harus disiapkan untuk pergi ke negeri padang pasir itu? Tyas tidak masalah merogoh kocek sedalam itu, sedangkan Feysa sangat memungkinkan bila sahabatku itu menodong abangnya Restu dan kakak sepupunya Erland."Nggak ada cuan. Memang kalian mau patungan buat tiket dan akomodasi? Jadi aku cuma mikir uang saku nih?" lontarku meringis."Belum apa-apa dah minta sumbangan, apa nggak bisa kamu bikin proposal atau ngajuin diri meliput berita di sana?" sergah Tyas. "Mana bisa, aku bukan reporter olahraga. Lagian yang dikirim ke ajang bergensi PilDun tuh, pastinya senior yang punya jam terbang tinggi di dunia liputan dan berita ?""Berarti pending sampai kamu siap deh, kamu nabung dulu." Tyas berkata begitu kutanggapi pesimis. "Tyaaas.....mau
"Mau Kemana, Mas? " Alia bertanya melihatku bersiap hendak pergi dengan pakaian formil-atasan kemeja biru muda motif garis tipis."Ke Mercure, Al. Aku juga baru kebaca email dari Iqbal, dia sarankan aku menghadiri kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh kementrian." sahutku sambil memperhatikannya dari pantulan cermin. Alia sedang meletakkan baby Ghaazi pada keranjang tidurnya. "Sampai jam berapa? Kalau pulangnya larut, kunci pintu kau bawa saja. Siapa tahu aku sudah tertidur saat kamu pulang?" "Oke," kuiyakan sambil mengecup pipinya, juga putraku yang sudah intens berinteraksi aktif menggunakan mimik yang ekspresif dan celoteh tak jelasnya. Setengah jam kemudian aku sudah meluncur di jalan raya menuju hotel Mercure. Kucoba lagi menghubungi Iqbal untuk mengkonfirmasi bagaimana akses masukku ke tengah acara, sedangkan aku belum sempat mendaftar workshop secara online terlebih dahulu. Di lobby hotel tidak terlihat meja reservasi pan
Suara mobil yang menderu memasuki halaman terbuka, membuatku menghentikan kesibukan, blender yang sedang melumat buah kumatikan. Nampak pada layar monitor cctv Erland keluar dari mobil. Tak lama kemudian sosok suami sudah membuka pintu dan masuk tanpa harus kudatangi menyongsongnya. Penghuni rumah bisa mengakses melalui sandi sidik jari atau sederet kata kunci yang dicadangkan.Rumah baru yang dilengkapi fasilitas modern ini baru seminggu kami tempati, kehadiran baby Ghaazi membuka keluasan rezeki hingga usia putranya genap setahun Erland menghadiahkan hunian idaman ini."Diminum dulu jus buahnya, Mas?" kuletakkan sebuah gelas berisi melon yg diblender bersama susu segar. Erland langsung asik dengan putranya yang sedang bergerak kesana kemari menggelindingkan kereta jalannya."Boleh kan , Al?" diicipknya setengah sendok ke mulut mungil baby Ghaazi yang lantas berkecap kesenangan."Kalau aneka buah tentu saja boleh, asal tidak terlalu kec
Hari kedua ditinggalkan hanya berdua dengan baby Ghaazi, kuputuskan mengajak putraku keluar rumah. Karena belum memungkinkan membawanya bermain di playground maka kupilih taman kota yang sore ini terasa sejuk.Baby Ghaazi kuangkat dari stroller dan kududukkan di atas rumput beralas tikar plastik daur ulang yang tadi dijajakan penjual. Wajah montoknya antusias tengadah memandangi langit nan cerah. Kusuapkan biskuit bayi untuk digigit merangsang gusi yang mulai menonjolkan gigi susu."Suka main di sini, sayang? Kalau nanti bisa jalan, Egha pasti seru berlarian seperti kakak-kakak itu?" kuajak putraku ngobrol sambil sekilas memperhatikan balita lain yang sudah bisa dituntun atau berlarian di lapangan berumput hijau.Bruukkk. Aaaaarrggh! Papaaaa!Aku sigap mengangkat putraku begitu stroller terjungkang. Kereta beroda tiga itu ditabrak oleh tubuh mungil yang tadi berlari, dan sekarang melengkingkan tangis sambil mencoba bangkit duduk. Baby Ghaazi yang