"Cayden," panggil Emily lirih. Kepalanya bergerak sedikit, wajahnya mengernyit. Louis cepat-cepat menghampiri. Ia genggam tangan sang adik, berbisik, "Emily?" Bukannya terbangun, air mata Emily malah menitik. Ia kembali terisak. Alisnya tertaut semakin rapat. "Jangan pergi .... Cayden ...." Louis mengelus pipinya yang terasa dingin. "Emily, bangunlah. Kau bermimpi." "Cayden!" Mata Emily akhirnya terbuka. Guratan merah di sekeliling manik abunya kini tampak jelas. Melihat Louis di sisinya, ia buru-buru beranjak. "Bagaimana kondisi Cayden? Dia selamat, kan? Jantungnya sudah kembali berdetak?" tanya Emily serak. Sinar matanya redup, kekurangan harapan. Louis menarik napas dalam. Ia melihat sekeliling. Hanya ada Orion dan beberapa pengawal dalam ruangan. Situasi aman. "Emily, tenang. Jangan panik. Dengarkan aku baik-baik. Cayden—" Emily terkesiap. Kepalanya menggeleng cepat. "Tidak, tidak mungkin. Cayden tidak mungkin meninggalkan aku secepat ini. Cayden!" Emily
"Oke, kembali ke topik. Jadi perbincangan kalian sudah sampai mana? Dilihat dari kemesraan kalian tadi, sepertinya Emily belum tahu," ujar Louis sembari bersandar di tepi kasur. "Tahu apa?" timpal Emily dengan tampang polos. Mata Louis membulat. "Jadi kau memang belum tahu? Dia belum menceritakannya kepadamu tapi sudah berani menciummu?" Emily jadi semakin bingung. "Apa yang belum kuketahui?" Belum sempat Cayden membuka mulut, Louis sudah menjawab, "Yang mengalami henti jantung tadi bukan Cayden, melainkan Princeton. Cayden baik-baik saja sejak tiba di kota ini." Emily tercengang. Mulutnya membuka tanpa kata selama beberapa saat. "Maksudmu, Princeton masih hidup? Dia belum mati?" Cayden mau tidak mau mengangguk. "Ya, sebetulnya, dia koma selama ini. Kami takut Seth menargetkannya. Dia tentu tidak bisa melawan. Karena itu, kami terpaksa memalsukan kematianku, sedangkan aku memainkan peran sebagai dirinya." Emily mendesah tak percaya. Bola matanya bergetar sementara otaknya
"Aaak ...." Emily mendekatkan sendok ke mulut Cayden. Melihat kelakuan gadis itu, Cayden mendesah geli. "Aku bisa makan sendiri, Emily. Sungguh. Kau seharusnya pergi makan bersama Louis. Kau juga pasti lapar." Emily langsung mencibir. "Kau lupa? Aku ini sedang bertanggung jawab padamu. Karena itu, kau tidak perlu malu aku menyuapimu. Lagi pula, aku bisa makan nanti." Cayden menatap Emily lembut. Ibu jarinya mengelus tangan Emily dengan penuh kasih. "Aku tidak mau membuatmu repot." "Ini sama sekali tidak merepotkan. Kau tahu? Aku sudah terbiasa melakukan ini. Dulu sewaktu dua nenekku masih hidup, akulah yang paling sering menyuap mereka makan." "Benarkah?" Emily mengangguk dengan tampang lucu. Sambil meletakkan sendok kembali ke mangkuk, tatapannya menerawang. Hatinya mendadak diterpa rindu. "Aku masih tidak percaya Nenek Melanie pergi secepat itu. Mungkin kondisi mental dan obat-obatan yang dia konsumsi memperpendek umur. Setiap dia sedang sakit, aku selalu menyempatka
"Louis, tidak bisakah kau bersikap baik kepada Cayden? Kenapa sejak dulu kau sentimen sekali padanya?" celetuk Emily saat mereka masuk ke mobil. Louis melirik dengan raut menyebalkan. Orion sudah siap mendengar perdebatan si Kembar. Namun ternyata, jawaban Louis di luar dugaan. "Dia bermaksud merebutmu dariku. Tentu saja aku tidak suka padanya." Emily seketika tertegun. Perasaan aneh menggelitik dadanya. "Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanyanya lirih. Louis mengedikkan bahu. "Pikiran itu muncul sejak dia bertemu denganmu dulu. Aku merasa kalau kau dekat dengannya, kau tidak mau lagi bermain denganku. Kau akan lebih menyayanginya dan lebih dekat dengannya. Kau bisa saja melupakan aku." Emily tercengang. Ia tidak tahu ekspresi apa yang cocok untuk ditampilkan. Ia merasa gemas terhadap Louis, dan juga iba. "Louis, kita masih sangat kecil saat itu. Sekarang kita sudah dewasa. Kau masih cemburu padanya?" Bibir Louis mengerucut. "Awalnya aku juga berpikir kalau itu hanyalah p
"Jadi kau rela mempertaruhkan nyawa? Demi cinta pertamamu?" Sosok itu tertawa mengerikan. "Emily Harper, ternyata kau hanya gadis bodoh biasa!" Kerongkongan Emily tersekat. Matanya gemetar melihat pria yang memain-mainkan pisau di hadapannya. “K-kamu bukan Cay—” Ucapan Emily tertahan oleh kilatan mata pisau yang meluncur menuju perutnya. Ia berusaha menghindar, tetapi tubuhnya terlalu tegang. Ia malah terdiam. Detik berikutnya, darah mulai menetes mengotori lantai. Emily hanya bisa terkesiap, ternganga dengan tatapan nanar. Kilasan memori bergulir cepat dalam benaknya. Ketika terhenti, sebuah pertanyaan bergema. Tepatkah keputusannya untuk mempertahankan cinta yang mendatangkan petaka? Beberapa saat yang lalu .... Breaking news! “Emily Harper, nona pewaris dari Savior Group, dikabarkan telah menghilang. Sejak menolak lamaran Brandon Young pada Sabtu malam lalu, ia tidak lagi terlihat.” “Banyak pihak berspekulasi bahwa ia kabur untuk menghindar dari publik. Ada j
Dengan santai, Emily kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Louis sedang menghujaninya dengan beragam pertanyaan dari seberang sana. “Emily, apa yang terjadi? Apakah seseorang menyerangmu? Kau baik-baik saja? Emily? Jangan membuatku semakin khawatir.” Bukannya merasa bersalah, Emily malah mendesah lelah. “Aku baik-baik saja, Louis.” Louis mendengus. “Jangan membohongiku! Aku jelas-jelas mendengar keributan tadi.” “Itu hanya seorang wanita tua yang mendadak hilang keseimbangan. Mungkin dia tidak begitu sehat. Yang jelas, tidak terjadi apa-apa padaku. Orang-orang di sini bahkan tidak mengenalku. Kau tidak perlu khawatir, Louis. Apakah kau lupa? Aku bisa bela diri. Aku bisa mengalahkan musuh." "Kalau hanya satu," sambung Louis. "Bagaimana kalau dua atau lebih? Kau pikir dirimu Supergirl yang bisa mengalahkan mereka? Belum lagi kalau lawanmu kuat dan lebih besar. Kau tidak aman di sana seorang diri." Emily mendengus. "Kau meremehkan aku. Kau ingat bagaimana aku mengalahkan Russel sa
Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya. "Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...." Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat. "Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?" Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria! "Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?" Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan. "Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa." Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah teras
Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay. "Pertanyaan macam apa itu?"Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu.""Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan.Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku." Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?"Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir. "Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu