Share

Pertemuan Tak Terduga

Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua.

"Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya.

"Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan.

"Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut."

"Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalanya.

"Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ..." Wiratama mengambil sikap duduk bersila, dia kemudian mengikuti semua petunjuk yang pernah dikatakan kakeknya dulu. Namun, setelah cukup lama berusaha, wajah Wiratama mulai memburuk karena tak ada yang terjadi pada tubuhnya.

Sebagai cucu dari ketua Lembah Siluman yang merupakan perguruan terkuat di dunia persilatan, Wira sebenarnya dimanjakan oleh kitab-kitab kanuragan terbaik yang bisa membuatnya menjadi pendekar terkuat.

Namun karena sifatnya yang urakan dan membenci dunia persilatan, Wira tak pernah benar-benar mempelajari ilmu kanuragan itu. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perguruan Lembah Siluman untuk memasak, satu-satunya hal yang paling disukainya karena dengan memasak, Wira bisa mengingat sosok ibunya yang tewas secara misterius.

"Sial, andai saja saat itu aku sedikit mendengarkan ucapan kakek, mungkin saja ... " Wira yang hendak merebahkan kembali tubuhnya ditanah, tiba-tiba dikejutkan dengan jatuhnya sebuah kitab dari balik pakaiannya.

"Kitab Pedang Matahari?" Wiratama mengernyitkan dahinya saat membaca halaman depan kitab itu, dia merasa pernah mendengar nama itu di suatu tempat.

"Tunggu, bukankah kitab ini milik Kakek tua itu?" Disambarnya kitab berwarna coklat tua itu dengan penuh semangat.

"Jika ini adalah kitab kanuragan, seharusnya ada bagian-bagian yang menjelaskan cara untuk mengendalikan tenaga dalam."

Wiratama mulai membuka halaman demi halaman kitab Pedang Matahari dengan penuh semangat, hingga akhirnya dua bola matanya tertuju pada tulisan yang berada di tengah kitab itu.

"Pedang Matahari memiliki delapan gerbang tingkatan dewa, dan masing-masing tingkatan membutuhkan kontrol tenaga dalam Ledakan Matahari yang sempurna untuk membukanya.”

"Tenaga dalam Ledakan matahari?!" Wiratama mulai membaca tahapan demi tahapan yang tertulis di dalam kitab itu sebelum memejamkan matanya. Dia mencoba menarik energi yang ada di dalam tubuhnya sesuai petunjuk kitab itu.

"Sang surya yang menjadi pusat alam semesta bercahaya tak pernah berasa.

Bergerak lembut dan cepat tiada tara

Sebagai Energi kehidupan manusia. Tertunduk dan berputar dalam raga. Di waktu malam tetap ada, Di waktu siang jadi pelita. Itulah salah satu cara untuk merasakan aliran energi didalam tubuh.

Cukup lama Wira mencoba mengikuti semua petunjuk yang ada di dalam kitab itu, hingga akhirnya dia sadar jika semua tak semudah bayangannya. Wira bahkan menghabiskan satu hari penuh hanya untuk memahami arti dari merasakan aliran energi dalam tubuh.

Satu hal yang membuat Wiratama bingung adalah kitab itu seolah menjelaskan sesuatu yang saling bertentangan. Dibagian pertama jelas tertulis, jika syarat utama untuk mempelajari kitab Pedang Matahari adalah menguasai tenaga dalam ledakan matahari terlebih dahulu.

Sedangkan di bagian akhir, kitab itu menjelaskan jika ingin mempelajari tenaga dalam Ledakan matahari, Wira harus melatih tubuhnya terlebih dulu dengan cara berlatih jurus Pedang Matahari.

Dua penjelasan yang bertentangan itulah yang membuat Wira bingung harus memulai dari mana agar bisa menguasai tenaga dalam dewa matahari.

"Ah persetan dengan semua penjelasan kitab ini, aku hanya perlu menarik energi tersembunyi di dalam tubuhku .... " Wiratama yang merasakan sakit dikepalanya semakin menjadi kemudian memutuskan untuk menabrak semua aturan yang ada di dalam kitab itu.

"Yang terpenting saat ini adalah meredam sakit di kepalaku terlebih dulu," Wiratama kembali memusatkan konsentrasinya, dan ketika percikan energi mulai muncul dari tubuhnya dia kembali membuka matanya.

"Tunggu, apa itu Cakra Mahkota?" Ucap Wiratama polos sambil meraih kembali kitab pedang Matahari untuk mencari penjelasan tentang Cakra Mahkota.

"Cakra Mahkota adalah Cakra ketujuh atau cakra terakhir manusia yang terletak di bagian atas kepala, yang berfungsi sebagai "jembatan" untuk menyalurkan tenaga ke seluruh tubuh.

Titik cakra terakhir ini menjadi kunci utama untuk mempelajari tenaga dalam. Kosongkan pikiranmu dan atur nafas secara perlahan untuk membuka gerbang Cakra Mahkota."

"Bagian atas kepala? Lalu bagaimana aku bisa tau cakra mahkota milikku sudah terbuka atau belum," Wiratama meraba kepalanya sebelum memejamkan matanya kembali.

Waktu terus berlalu dan tidak terasa pagi kembali datang. Wiratama yang masih duduk dalam posisi bersila dengan mata terpejam tidak menyadari jika tubuhnya kini sudah sedikit terangkat ke udara.

"Ringan sekali ... Apa ini yang sering mereka sebut dengan tenaga dalam?" Ucapnya dalam hati.

Wiratama kemudian membuka matanya dan betapa terkejutnya dia, saat melihat goresan-goresan panjang di dinding gua seperti terkena tebasan pedang.

"Goresan apa ini? Sepertinya tadi belum ada? Apa mungkin .... " Wira baru saja hendak menyentuh goresan di dinding gua itu saat terdengar suara langkah kaki dari kejauhan.

"Itu pasti si Tua bangka!!" Wiratama memasukkan kitab pedang matahari ke dalam pakaiannya dan bergegas lari keluar, namun betapa terkejutnya dia ketika tubuhnya terasa begitu ringan hingga dalam hitungan detik sudah berada di luar gua.

Bersamaan dengan keluarnya Wiratama dari dalam gua, seorang wanita tiba-tiba muncul dari dalam hutan dan berlari ke arahnya.

"Nona, apa yang sedang kau lakukan di hutan ini...." Belum sempat Wira menyelesaikan ucapannya, wanita itu sudah melompat dari atas pohon dan menggunakan wajahnya sebagai pijakan untuk melewati sebuah sungai yang berada tak jauh dari gua.

Tubuh Wiratama langsung oleng dan tersungkur kedalam sungai, begitu kaki wanita itu menginjak wajahnya.

"Hei bodoh!! apa kau sudah gila?! Cepat pergi dari sini atau dia akan membunuhmu!" teriak gadis cantik itu sebelum pergi tanpa menunggu jawaban Wiratama.

"Wanita sialan! Ingin melarikan diri setelah menginjak wajah orang lain? Jangan bermimpi!" Ucap Wira sebelum bergerak mengejarnya.

Wanita cantik itu terus bergerak lincah menembus hutan lebat sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Dasar bodoh, semoga saja dia tidak dibunuh oleh para pendekar itu!!" wajah wanita itu berubah lega saat melihat gunung tinggi yang menjadi tujuannya mulai terlihat.

"Syukurlah, aku selamat, kakek pasti akan.... " Ucapan wanita itu tiba-tiba tertahan saat merasakan sesuatu mendekat dengan sangat cepat dari arah belakang.

"Ti.... tidak mungkin, aku sudah menggunakan ajian Langkah kaki Dewa Angin, bukankah seharusnya mereka tidak bisa mengejar lagi," gadis itu memutar tubuhnya cepat dan betapa terkejutnya dia saat melihat Wira sudah berjarak beberapa jengkal darinya.

"Gawat, cepat menghindar. Aku tidak bisa menghentikan langkahku!" teriak Wira sebelum tubuhnya menabrak gadis itu hingga keduanya terjatuh.

"Maaf Nona, aku .... "

"Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!!" Menggunakan jurus tapak, gadis itu melempar Wiratama yang ada di atas tubuhnya.

"Hei, tunggu. Aku benar-benar tidak sengaja..." Wiratama tersentak kaget ketika merasakan sesuatu menghantam tubuhnya keras, sebelum terlempar dan membentur salah satu pohon besar yang ada di sekitarnya.

"Hei, apa kau sudah gila? Setelah menginjak wajahku seenaknya sekarang kau ingin membunuhku?" Teriak Wira kesal.

"Maaf, aku ... " Gadis itu menatap pemuda berwajah bodoh yang ada di hadapannya bingung. Walau dia tidak menggunakan seluruh tenaga dalamnya, tapi seharusnya Tapak Dewa Naga yang tidak sengaja digunakannya tadi sudah cukup untuk melukainya.

“Oh ... Jadi kau diam saja karena merasa bersalah ya? Baik, aku akan menginjak wajahmu dan menganggap semuanya impas," Wiratama berjalan mendekat dan mengangkat kakinya tinggi.

"Kau berani menyakiti wanita lemah sepertiku?" Sebuah pukulan kembali menghantam tubuh Wiratama.

"Wanita lemah katamu? Apa pukulan mematikan ini pantas disebut lemah? Kau benar-benar membuatku marah!" Wiratama mengepalkan tangannya dan bersiap menyerang, namun tiba-tiba sesosok bayangan dengan aura membunuh yang besar melesat dari belakang menginjak kepalanya.

"Apa kau pikir bisa melarikan diri dariku gadis nakal?" Pendekar itu melesat dengan kecepatan tinggi sambil melepaskan serangannya.

"Tapak memindahkan Langit dan Bumi!"

"Gawat, dia berhasil mengejarku," sadar tidak akan bisa menghindar, gadis itu kemudian menggunakan Tapak Dewa Naganya kembali sambil memejamkan matanya untuk menyambut serangan tiba-tiba itu.

"Duar!!"

Sebuah ledakan tenaga dalam yang sangat besar terjadi ketika kedua telapak tangan mereka berbenturan.

"Ledakan energi ini...." Gadis itu memberanikan diri membuka matanya dan menemukan lawannya terlempar cukup jauh.

"Tapak memindahkan Langit dan Bumi milik perguruan Harimau Merah? Besar sekali nyali kalian berani menyerang Cucuku di wilayah kekuasaan Taring Rajawali," hardik seorang pria tua yang berdiri di belakang gadis itu.

"Kakek .... " Ucap gadis itu lega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status