Zee masuk ke dalam sedan Yasmin, lalu menutup pintu, dan membuka jendela, tak lama seorang lelaki bertubuh ranum datang dengan bakinya yang berisi dua mangkok bakso. “Tenks, Bang!” Senyum Zee sumringah, dibalas senyuman dari lelaki paruh baya yang menjadi tukang bakso langganan seluruh penduduk kampusnya.
Ia dan Yasmin melahap makanannya masing-masing, dengan gaya masing-masing. Yasmin mendiamkan mie yang dijepit garpu di atas mangkok hingga dingin, sedang Zee langsung menerkam, garpu hanyalah sebuah perantara sementara.
“Loe tahu? Kata anak-anak Wibi punya cewek baru?”
Yasmin refleks menoleh. “Yang bener?”
Zee sudah menandaskan mie dan baksonya, sedangkan Zee masih mendinginkan suapan pertamanya. “Gue denger tadi Zaski lagi godain Wibi. Katanya ‘lagi jatuh cintrong, nih yee!’ Dan Wibi menjawab, ‘tahu aja!’”
Yasmin meletakkan mienya kembali ke atas kuah bakso, terdiam, memandang jauh ke depan.
“Udah, apa gue bilang. Move on, y
Mohon maaf, lama tidak menulis, semoga masih menunggu kisah ini.
Mahesa tersenyum, memegangi benda putih berbulu yang juga termasuk dalam bungkusan yang diberikan oleh Wibi. Ia menimangnya, memeluk boneka Teddy Bear berukuran sedang itu dengan sangat erat, lalu menjauhkannya dari tubuhnya, memeluknya lagi, dan begitu seterusnya. Setelah puas, Mahesa menyambar benda tipis elektroniknya, lalu mengirimkan pesan. Terima kasih, aku suka Om Bear-nya. Alhamdulillah, semoga kamu suka juga puisinya. Tak menunggu lama, balasan dari Wibi sampai. “Puisi?” Dahi Mahesa berdraperi. Ia melirik boneka barunya, dilihatnya boneka itu memiliki saku berwarna merah di bagian depan. Ia menyimpan gawainya, lalu merogoh saku merah tersebut. Sebuah kertas concorde berwarna merah muda yang dilipat dan dilingkari pita berwarna merah berada di sana. Ia membuka lipatannya, lalu tersenyum. Tahukah kau kasih? Kuberdoa setiap malam Menemui Sang Penguasa alam M
Mata bulat Wibi menangkap suatu stimulus yang bermakna baginya. Seorang perempuan yang siang dan malam dirindui. Ia merasa senang, entah mimpi apa semalam. Ia dapat bertemu Mahesa, padahal ia merasa sedang tidak beruntung. Naik angkutan umum tapi harus diturunkan di tengah jalan, belum lagi hari sedang hujan, celananya harus terkena cipratan dari air kubangan yang disebabkan kendaraan roda empat yang melaju dengan cepat. Wibi harus mampir dulu di sebuah mal, yang berada di sebelah utara kota Bandung karena diancam oleh adik semata wayangnya, kalau tidak membeli CD lagu kesukaannya, dia akan dipecat sebagai kakak. Dengan menekan perasaan malu karena bagian tengah hingga bawah celananya yang basah Wibi melangkah masuk. Dari lobby mal, ia melihat ke arah toko CD dan kaset yang dipartisi oleh kaca, ia melihat Mahesa yang sepertinya sedang mencoba CD sambil menggoyang-goyangkan kepala sesuai irama lagu. Wibi tersenyum dari balik kaca sambil melambaikan tangan, berharap ma
Yasmin memacu mobilnya, masuk ke dalam halaman rumahnya yang luas, membanting pintu lalu berlari ke dalam rumah. “Yaya!” Rima menyambutnya dengan ceria, tetapi anaknya masuk dengan muka memerah dan rambut acak-acakan. “Mama…” Ia mendekati ibunya sambil menangis, suaranya parau. “Mama ….” “Yaya, Sayang, kamu kenapa?” Ia biarkan anaknya menangis di dadanya, sambil terus memeluk dan mengelus rambutnya. Yasmin terdiam di atas ranjangnya. Matanya nyalang memandang entah ke mana. Teringat kejadian sore tadi di jalan raya, Wibi memandang Mahesa dengan mesra di sebuah trotoar rindang di daerah Dago. Meski sangat pelan, suara itu terdengar jelas di telinga. “Pacar.” Yasmin meringkuk, menangis tersedu sedan. Membuat bingung perempuan di usia baya itu. “Yaya! Kamu kenapa, sayang?!” Rima ikut menangis sambil memeluk anaknya. *** Mata Mahesa belum l
Wibi merasa bosan, sudah satu jam Mahesa mengacuhkan. Kekasihnya hanya menegur layar laptop yang berada di hadapannya. Lelaki muda itu melempar sebongkah kertas yang telah dibentuk seperti bola. “Aw!” Mahesa terkejut lalu mengembalikan kertas tersebut kembali ke arah Wibi yang sedang duduk di kursi teras sambil membaca textbook. Lelaki itu kemudian bangun lalu menghampiri Mahesa. “Masih lama?” tanyanya. Mahesa mengangguk sambil mengetik. Wibi lalu menarik laptop berwarna merah tersebut dari hadapan Mahesa. “Wibi, ah!” Lalu Mahesa menepuk lengan Wibi. “Aku kan udah bilang kalau hari ini aku mau kerja, aku enggak bisa nemenin kamu.” Wajah Mahesa memperlihatkan mimik menyesal. Wibi melekatkan kepalanya ke kaca jendela, lalu memperhatikan foto keluarga yang ditaruh di atas meja. Ia kemudian masuk ke dalam rumah, kemudian mengambilnya. Dalam foto itu ada Mahesa, Zaenal, Rima, Aini dan pastinya Yasmin. “Foto ini diambil kapan?” tany
6 Bulan Sebelumnya “Disleksia mempengaruhi kemampuan bahasa, termasuk bahasa lisan dan tulisan seseorang, mereka akan kesulitan mengerti, mengingat, mengorganisasikan dan juga menggunakan simbol-simbol verbal. Hal ini juga mempengaruhi kemampuan dasar membaca dan menulis, mengucapkan kata, tulisan tangan dan matematika.” “Tapi, aku penulis.” Mahesa masih tidak percaya dengan penjelasan dokter berdarah Melayu-Inggris itu, apalagi mendiagnosis Mahesa hanya dari kelakuan Mahesa sehari-harinya. “Disleksia memang membingungkan, bentuknya selalu berbeda-beda, tidak ada profil yang pasti. Ada anak yang punya masalah berbicara, ada yang lancar dalam berbicara, ada yang pintar dalam menulis ada juga yang tidak, ada yang pintar berdansa, tapi ada juga yang membedakan kanan dan kiri saja masih susah, ada sulit mengenal nada tetapi ada juga yang pintar mengenali nada.” Mahesa terdiam, “Lalu apa yang menyebabkanmu mendiagnosis aku sebagai di
Mahesa kesal, berkali-kali menelepon Wibi tidak juga dijawab. Darah di tubuhnya seakan-akan dipanaskan di atas kompor, mendidih, bahkan sudah berada di atas seratus derajat. “Ih! Anak ini kenapa sih?” Mahesa [Kalau kamu nggak mau ngomong ... kita putus aja!] tulisnya dalam sebuah pesan. *** Tak seperti biasa kamar Wibi acak-acakan. Pakaian, buku, poster, semuanya bercampur aduk. Padahal biasanya tersusun rapi. Memang dia anak lelaki, tetapi kecerewetan Aminah soal kebersihan dan tatakrama berhasil membentuk Wibi menjadi berbeda dari lelaki kebanyakan. Hari itu ia hanya di kamar, duduk memetik gitar. Tiba-tiba berhenti, melihat layar telepon yang berkedip-kedip, lalu membuka pesan yang baru saja datang. Dengan sangat kuat ia menarik napas. Untuk sekian kalinya Mahesa memanggil. “Halo ...” sapanya lemas. Hey anak nakal! Anak enggak sopan! terdengar teriakan di seberang, harusnya kamu yang ngehubungin aku duluan!
16 Tahun yang Lalu “Mahesa!” Mahesa tersentak oleh teriakan Zaenal. Memang ia baru saja akan mengambil boneka kesayangannya dari tangan Yasmin yang sedang memeluk Teddy Bear pemberian ibunya. Ia teringat pada hari itu, ia mengantar ibunya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Mahesa memperhatikan sebuah boneka berukuran besar berwarna cokelat. Ibunya datang, tersenyum, lalu membelikannya satu. Itu milikku. “Ngalah dong jadi kakak!” teguran dari bapaknya itu membuat Mahesa tertunduk. Mungkin saat itu hampir setiap hari, setiap saat, ia sering kali diminta mengalah, alasannya karena ia adalah kakak. Begitulah kakak harus mengalah, dan adik harus menang. Apa pun barang yang diperebutkan, makanan, pakaian, bahkan Zaenal dan Rima, bila Yasmin menginginkan, Mahesa harus menyerahkannya. Suatu hari ketika Mahesa mulai remaja, ia memberanikan diri, mengambil sikap. “Berikan!” teriak Mahesa mengambil buku ha
Setelah berkali-kali mempertimbangkan ucapan Zasky yang banyak benarnya. Wibi melangkah menuju ke dalam rumahnya melihat ibunya yang sedang tertidur di sofa. Matanya terasa panas, ia melihat wajah sendu ibunya. Walaupun sedang terlelap, tetapi terlihat banyak beban yang menghimpit pikirannya. Wibi duduk di bawah sofa sambil memandang wajah ibunya, ia membenarkan selimut yang menyelubungi perempuan paruh baya. Lalu ketika ibunya terbangun ia tersenyum. “Wibi?” Aminah memandang anaknya dengan haru. Saat itu juga Wibi mencium kaki ibunya. “Maafin Wibi, Ma ....” “Anakku sayang ...” isak Aminah sambil memeluk anak lelakinya. Sambil memijit punggung ibunya yang terasa semakin keras Wibi bertanya. “Emang, Mama maunya Wibi dapet pacar yang kaya gimana, sih?” Aminah memandang ke atas, “Ya, cantik, baik, salihah, pinter, nurut sama orang tua, mandiri, bijak.” “Kriteria Mama tinggi amet, Wibi juga enggak sebagus itu, Ma ....” Amin