"Kenapa kau ada di sini?" tanya Petra.
"Aku kebetulan sedang lewat sini. Oh ya, kenapa kau ada di sana? Keluar dari toko bunga?"
Petra terhenyak. Toko bunga? Ah, tepat di samping gang itu ada toko bunga. "Ya, aku hanya melihat-lihat bunga di sana. Tapi tak ada bunga yang aku cari," kata Petra berbohong.
"Bunga apa yang kau inginkan? Aku bisa membelikannya untukmu sekarang," kata Pascal.
"Bunga Jasmine pink." Petra hanya asal bicara. Dia ragu apakah ada jenis bunga Jasmine berwarna pink? Haha. Rasanya dia ingin terkekeh saat ini. Menyenangkan bisa membodohi pria yang dihormati banyak orang itu.
"Baiklah. Aku akan memerintahkan Varios untuk membelinya sekarang." Ponsel dikeluarkan dari saku jasnya. Perkataan Pascal sontak mengejutkan benak Petra.
Petra mendadak cemas. Bagaimana kalau bunga jenis itu betulan tidak ada? Bisa-bisa Pascal akan menaruh curiga padanya. "Tidak! Jangan, itu tidak penting lagi." Dia langsung menahan tangan Pascal yang akan mendial nomor Varios.
"Kenapa? Kau menginginkannya kan?" tanya Pascal.
"Sekarang sudah tidak setelah bertemu denganmu. Tidak bisakah kita menghabiskan waktu bersama hari ini?" goda Petra mengalihkan atensi Pascal.
"Kencan? Ide bagus!" Pascal berseru senang. "Tapi, aku sedang dalam perjalanan untuk menghadiri acara penting di hotel. Karena kau sudah di sini, kau harus menemaniku. Kita akan mampir sebentar ke butik. Pilihlah pakaian yang bagus di sana."
"Acara apa sebenarnya?" Ini baru pertama kali sejak menikah dengan Pascal, Petra diajak ke sebuah acara penting.
"Acara itu dihadiri para pebisnis dari berbagai sektor. Momen yang bagus untuk menjalin hubungan kerja sama dengan orang-orang baru."
***
Mata Petra memperhatikan para tamu dengan cermat. Banyak wajah dari para tokoh pebisnis terkenal di sini. "Ini adalah istri saya." Pascal mengenalkan Petra pada rekan bisnisnya. Mereka berdiri berdampingan dengan anggun.
"Oh! Kau sudah menikah? Selamat!"
"Halo, perkenalkan namaku Hans. Senang bertemu denganmu nyonya." Hans menyalami Petra dengan ramah. Seorang pria berumur empat puluhan, merupakan pemilik kasino terbanyak di kota ini.
"Aku rekan bisnis Pascal selama lima tahun belakangan ini."
"Terima kasih sudah percaya berbinis dengan suamiku."
"Oh ya, ngomong-ngomong sejak tiba di sini, aku tidak melihat Joel Madden. Biasanya dia tak pernah absen dalam pertemuan ini." Hans bicara dengan Pascal.
"Mungkin dia sibuk," ujar Pascal tersenyum manis. Sedangkan Petra tampak mematung syok.
Sebab nama yang disebutkan barusan adalah nama putera gubernur yang tewas secara misterius. Misi rahasia Petra untuk menemukan pelakunya.
"Siapa Joel Madden itu?" tanya Petra berpura-pura.
"Dia putera seorang gubernur. Meskipun masih muda, dia pandai berbisnis," kata Hans.
Jadi, putera gubernur, Joel Madden aktif dalam perkumpulan ini? Petra merasa tidak boleh ketinggalan informasi dari tempat ini.
"Apakah kalian saling kenal dengan akrab dengannya?" tanya Petra.
"Kami sering pergi minum bersama." Hans menjawab.
"Hans kami harus pergi," potong Pascal, menarik tangan Petra.
"Pascal, kita belum selesai bicara dengannya. Apa kau tidak suka pria itu?" Petra menaruh curiga atas sikap Pascal. Seolah-olah pria ini menyembunyikan sesuatu yang tak ingin Petra ketahui.
"Dia terlalu banyak bicara hal-hal yang tidak penting. Itu buang-buang waktuku saja," jawab Pascal. Ekspresinya terlihat dingin menatap ke depan.
"Pascal, aku ingin ke toilet."
"Baiklah. Aku tunggu di sini."
Petra masuk ke toilet wanita. Dia hanya bercermin di depan wastafel untuk berpikir.
"Apa kau istri Pascal?" Tiba-tiba seorang wanita keluar dari bilik toilet dan berdiri di sampingnya sambil mencuci tangan.
"Ya... Apa kau mengenalnya?" balas Petra.
"Aku istri Hans. Kami sering bertemu untuk urusan bisnis."
"Kudengar kalian dekat dengan Joel Madden? Bagaimana menurutmu tentang pria itu?"
"Dia pria yang karismatik dan blak-blakan. Rumornya, dia sedang mengalami kebangkrutan dan mencari investor kesana-kemari. Namun, karena sifatnya yang semaunya sendiri, orang-orang jadi harus berpikir dua kali untuk berinvestasi padanya."
"Jadi, di mana biasanya dia berada?" tanya Petra.
"Dia punya pub Rosee. Biasanya dia di sana," ucap wanita itu selesai mengelap tangannya.
"Apa kau ingin bertemu dengannya? Sebaiknya berhati-hati saja. Dia genit pada wanita dan agak sinting." Wanita itu kemudian keluar dari toilet, sedangkan Petra memikirkan rencana baru.
***
Tengah malam, Petra datang ke pub tersebut sendirian tanpa memberitahu Pascal. Pria itu masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Hey, cantik. Kenapa kau sendirian?"
"Apa kau mengenal pria bernama Joel Madden?" timpal Petra.
"Joel Madden itu aku. Apa kau mencariku untuk bersenang-senang?" Pria asing itu menyeringai mesum.
"Tidak! Pergilah!" Petra menolak. Dia tahu wajah Joel Madden. Pria itu sudah meninggal. Namun dia hanya butuh informasi tentangnya di sini.
"Kenapa wanita secantik dirimu tidak mau? Lihatlah di sekitarmu banyak yang bersenang-senang sampai tak sadarkan diri."
Petra gelisah. Pria itu mulai menyentuhnya sembarangan. Merangkul pinggang Petra dengan mesra.
Tiba-tiba tinju melayang ke wajah pria mesum itu. Petra terkejut. Menyadari pelakunya adalah Pascal.
"Berani sentuh milikku, habis kau malam ini!" gertak Pascal marah. Kemudian berbalik menatap Petra dengan sorot mata emosi.
"Pulang!" Pascal menyeret Petra keluar dari pub.
"Pascal! Sakit! Tanganku sakit! Lepaskan!" teriak Petra saat berusaha menyeimbangkan langkah kaki dengan Pascal yang terburu-buru.
Namun dengan kasar pria itu menghempaskan Petra ke dalam mobil.
"Aw! Pascal! Kau kasar sekali pada istrimu!" Pergelangan tangannya sampah memerah.
Pascal merangkak ke atas Petra, sementara pintu mobil tertutup. "Kau pergi tanpa memberitahuku. Kenapa kau pergi ke sana, sayang? Apa kau mencari hiburan dari pria bajingan?"
Posisi Petra terancam. Di dalam mobil hanya ada mereka berdua. "Tidak. Aku tidak mencari hiburan dari pria. Aku hanya ingin minum-minum saja," kilah Petra berbohong sambil menatap ke arah lain.
Tatapan mata tajam namun seksi milik Pascal membuat nyalinya menciut. Meskipun dia membawa sebilah pisau dibalik baju, Petra merasa tidak berdaya dibawah tindihan Pascal.
"Tatap aku, istriku." Pascal menolehkan dagu wanita itu dengan lembut.
"Aku bicara dengan jujur. Bahkan aku belum sampai lima menit di sana, lalu kau datang." Petra berusaha meyakinkan. Dia tatap mata itu dengan serius.
"Aku... Hanya kesepian di rumah. Kau selalu pulang larut malam. Apa kau tahu bagaimana rasanya kesepian huh?" Kali ini Petra mencoba drama.
"Sayang..." Pascal tampak mulai luluh.
***
"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal."Apa!""Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal."Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya."Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung."Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan."Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu.""Tapi, kau in
"Pascal!"Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan."Pascal...""Jawab!" bentak Pascal.Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan."Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk."Pascal! Kau salah paham! Pascal!
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mu
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Pet
"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya."Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal. "Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas."Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung."Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba."Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut."Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala. "Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?""Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua
"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal."Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.Namun Petra justru menegang."Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra."Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?""Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada."Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas.""A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa."Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum."Kau