Share

Bab 4 - Hukuman

"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal.

"Apa!"

"Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"

Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal.

"Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya.

"Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung.

"Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan.

"Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu."

"Tapi, kau ingin dihukum dengan apa sayang?" tanya Pascal memojokkan Petra di kursi mobil. Dia menolehkan dagu Petra sekali lagi.

Tatapan mereka bertemu dengan sorot bertolakbelakang. Petra yang selalu waspada, sedangkan Pascal menyiratkan ancaman.

"Pascal... Aku tidak suka dihukum terlalu keras. Memangnya apa rencanamu atas hukumanku?" sahut Petra ingin tahu isi pikiran pria itu.

"Kau akan menikmatinya." Pascal menyeringai misterius. Petra menegang kaku hingga sulit menelan ludahnya sendiri.

***

"Aw! Pascal!"

Petra menggertakan giginya. Petra pikir, Pascal hanya kejam pada orang lain. Namun salah.

"Kau harus tahu bahwa setelah kita menikah, seluruh tubuh dan hidupmu adalah milikku!" Sebuah cambuk mendarat lagi di pinggang Petra. Senyum miring Pascal mengiringi dengan tatapan penuh hasrat.

"Inilah hukumannya jika pria lain menyentuh tubuhmu, istriku," bisik suara Pascal tepat di telinganya.

"Lepaskan tanganku. Kau pikir aku penjahat yang diborgol?" dengus Petra. Meskipun hanya dua cambukan di belakang tubuhnya yang terbalut kemeja, Petra masih bisa merasakan sedikit nyeri di sana.

"Apakah sakit?" tanya Pascal dengan raut khawatir. Ekspresinya berubah begitu cepat seperti aktor di depan kamera. Namun, sorot matanya menunjukkan ketulusan saat menatap Petra.

"Tidak ada seorang pun yang menyukai rasa sakit, Pascal," ucap Petra setelah kunci borgolnya dilepas pria itu.

Tiba-tiba dering ponsel mengusik mereka berdua di kamar. Pascal menjawab panggilan telepon dari bawahannya segera.

"Apa! Penyusup? Aku akan ke sana." Pascal menutup panggilan tersebut.

"Kau mau kemana? Ini sudah larut malam," kata Petra saat Pascal bersiap pergi.

"Ada hal mendesak. Kau istirahat saja. Aku akan kembali segera."

Seketika Petra menahan lengan Pascal. Pascal menoleh kepadanya dengan bingung. "Katamu, kau berjanji akan memprioritaskan diriku agar aku tidak kesepian? Tapi sekarang kau sudah mau pergi lagi tanpa melihat waktu."

Bagaimana bisa pria ini beraktivitas seharian penuh tanpa lelah begitu?

Kesibukan Pascal benar-benar gila. Hampir dua puluh empat jam pria itu tidak berada di rumah, dan hal ini terus berlangsung selama pernikahan mereka.

"Pascal, jika masalah itu bisa ditangani bawahanmu, maka biarkan saja. Kau harus istirahat. Kau itu manusia, ingatlah." Walau telah dicambuk olehnya, Petra tetap memberikan perhatian manis pada Pascal.

Namun sebenarnya, Petra tahu permasalahan di luar sana yang membuat Pascal akan pergi. Bahwa seharusnya sekarang salah satu rekan timnya sedang mencuri data di kantor.

Saat di pub tadi, Petra sempat melakukan pertemuan singkat dengan Avelino. Merencanakan untuk menyabotase perangkat elektronik di kantor Pascal secara langsung, setelah percobaan meretas dari jarak jauh tidak berhasil.

"Sayangku, maaf aku telah lupa dengan hal itu." Pascal berucap murung.

"Kau lupa karena kau kurang istirahat." Dibelainya pipi mulus Pascal dengan sayang. "Sebaiknya kita tidur sekarang," ajak Petra.

Pascal pun luluh.

Mereka berbaring di ranjang dengan berhadapan wajah. "Jangan pernah tinggalkan aku apapun yang terjadi," gumam Pascal mengantuk, lalu terlelap dalam.

"Aku tidak berjanji, Pascal," bisik Petra sambil tersenyum mengelus wajah pria itu.

Ponsel miliknya di nakas berkedip-kedip. Petra mengecek dan terkejut karena yang menelepon adalah Liam.

"Kenapa kau menelepon malam-malam begini?" Petra sampai harus berbisik-bisik saat berbicara. Takut membangunkan Pascal yang sedang tidur tepat di sampingnya.

"Kami sudah mencoba berbagai cara untuk masuk ke dalam komputernya. Kami butuh delapan kode password. Apa kau punya ide tentang hal ini? Kau kan kelulusan IT juga, pasti punya ide untuk masalah ini. Cepat!"

Liam dan rekan lainnya sangat sibuk mengetik di komputer. Mereka bekerja sesuai tugas masing-masing.

Ada yang memasukkan virus ke jaringan elektronik kantor, ada juga yang mencari informasi lebih dalam dari bisnis perusahaan Pascal.

Liam sedang mencoba meretas komputer kerja Pascal di ruang kantornya. Tapi layar hanya menampilkan blok kosong untuk diisi sebelum log in.

"Bagaimana dengan tanggal ulang tahunnya? Ulang tahun keluarga?" saran Petra.

"Sudah, sudah! Tidak ada angka yang cocok untuk log in di komputernya. Ayo cepat bantu aku memikirkannya!"

Petra tahu, Liam itu punya kemampuan meretas terbaik di institusi. Liam pun sudah mengerahkan kemampuannya untuk menembus pertahanan jaringan komputer Pascal.

Tidak membuahkan hasil.

Seolah-olah Pascal telah melapisi keamanan perangkatnya ke tingkat lebih tinggi.

Sedangkan tingkat keamanan perusahaan besar lain, tidak seketat ini. Bahkan Liam bisa dengan mudah meretas situs rahasia mereka, para pesohor bisnis gelap sekali pun.

"Kodenya... Apa?" Petra kebingungan sendiri. Otaknya seakan tidak bisa berpikir alias blank.

"Hey! Meskipun aku lulusan anak IT, bukan berarti aku seorang hacker." Pusing, Petra malah balik memarahi Liam.

"Petra, kami di sini tidak punya banyak waktu. Lakukan sesuatu di rumahnya. Mungkin saja dia punya sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk," bujuk Liam.

"Okey." Kemudian Petra beranjak dari kasur. Dia melirik sejenak pada Pascal yang masih memejamkan mata, sebelum keluar diam-diam dari kamar itu.

Petra ke ruang kerja Pascal. Mengobrak-abrik sesuatu di meja kerja, berharap menemukan sesuatu.

"Tidak ada apapun di sini, Liam!" geram Petra. "Kalau pun ada petunjuk, pasti sudah kutemukan sejak tinggal di sini!"

"Kami di sini seperti pencuri tahu kalah kau ingin tahu," keluh Liam.

"Apa kalian memakai topeng?" Petra bertanya heran.

"Tentu tidak! Kami sudah meretas dan memanipulasi cctv di sini." Liam terlihat sedang mencoba berulang kali memasukkan kode dengan sembarangan di komputer.

Petra menatap ke luar jendela. Dahinya mengernyit dalam saat merenungi kejadian ini. Terpikirkan di benaknya sebuah angka yang terasa mustahil. "Mungkinkah..."

"Kodenya adalah hari ulang tahunmu, sayang." Suara serak dan dalam berembus di telinga Petra. Petra tersentak namun tak dapat bergerak.

Melihat dari pantulan jendela, Petra baru menyadari ada kehadiran Pascal di belakangnya. Petra gemetar memegang ponsel.

"Jadi tanggal ulang tahunmu, Petra? Tunggu---Apa!!!" Suara Liam terdengar syok. Sepertinya dia menyadari ada kejanggalan dari suara berat yang barusan dia dengar di telepon.

Wajah Liam memucat, sama pucatnya dengan kondisi Petra saat ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status