Share

Bab 5 - Penjara Mewah

"Pascal!"

Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan.

"Pascal..."

"Jawab!" bentak Pascal.

Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan.

"Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.

Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!

"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.

Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk.

"Pascal! Kau salah paham! Pascal! Buka pintunya!" Teriakan Petra tidak diindahkan Pascal yang melenggang pergi dengan kemarahan di dada.

"Sial!" geram Petra menendang meja, seketika dia meringis sakit pada kakinya.

"Dia menghancurkan ponselku, di kamar ini juga tidak ada benda elektronik, dan jendelanya di tralis! Bagaimana aku bisa kabur?" Petra merosot terduduk lemas di lantai. Selain hanya ada ranjang dan satu set meja kursi, ada pintu lain di sudut ruangan yang tak bukan adalah kamar mandi.

"Kuharap mereka selamat." Kekhawatirannya membayangkan Liam dan tim di sana.

Petra duduk memeluk lututnya dan bayangan masa lalu teringat kembali di kepalanya. Tentang pertemuannya dengan Pascal tiga tahun silam.

"Kau dikejar para orang-orang berjas hitam itu kan? Ayo ikut aku!" Petra menarik tangan Pascal, teman kelas di kampus. Mereka berlari melingasi gang gelap lalu masuk ke dalam salah satu flat di sana, tempat tinggal Petra.

"Duduklah, aku akan mengobati lukamu," ujar gadis itu. Mengambil kotak medis lalu duduk di samping Pascal di sofa.

"Tahanlah mungkin ini akan sedikit sakit." Kapas alkohol siap ditempelkan ke luka memar di wajah pria itu.

Sesaat membuat Pascal meringis perih. Tatapannya terus memperhatikan wajah serius Petra yang sedang mengobatinya.

"Petra, kenapa kau menyelamatkan diriku?" tanya Pascal. "Kita bukan teman dekat. Bahkan kita hampir tidak pernah bertegur sapa di kampus." Keheranan Pascal membuatnya bertanya-tanya.

"Apa yang salah dari menolong orang yang membutuhkan bantuan?" balas Petra.

Pascal tak berkedip menatapnya. "Petra, apa kau sudah punya pacar?"

Pertanyaan tiba-tiba itu menghentikan tangan Petra, lalu membalas tatapan mata Pascal sejenak. "Aku tidak memiliki pikiran seperti itu. Beberapa minggu lagi ujian kelulusan. Aku hanya fokus pada tugasku sebagai mahasiswi. Kenapa kau bertanya begitu?" ujar Petra seraya menempelkan plester di bawah mata Pascal.

"Jika kau punya pacar, aku tidak ingin kekasihmu melihatku di rumahmu berdua. Bisa terjadi kesalahpahaman di antara kita nanti," jelas Pascal.

"Suatu saat, aku akan kembali lagi padamu untuk kedua kali setelah hari ini." Pascal berucap serius.

"Kenapa? Berhutang budi karena sudah kuselamatkan? Tidak perlu~" Petra mengibaskan tangannya.

"Tidak. Ini bukan hutang budi. Tetapi keinginan yang tumbuh di dalam hatiku." Pascal merangkum wajah Petra kemudian mencium bibirnya dengan lembut.

Suara kunci dibuka seketika melenyapkan bayangan masa lalu. Petra menoleh pada seseorang yang masuk.

"Apa kau tidak tidur?" tanya Pascal berdiri diambang pintu. Dia melihat Petra hanya duduk di dekat jendela, sementara langit sudah cerah.

"Bagaimana aku bisa tidur dengan nyenyak kalau kau marah dan mengurungku di sini," balas Petra.

Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat samar. Petra hanya sempat tertidur beberapa saat sebelum terbangun lagi dengan perasaan gelisah.

"Makan," perintah Pascal. Meletakkan nampan itu ke meja bundar.

"Aku belum ingin mati hari ini," tekan Petra.

"Apa kau berpikir aku mencampurkan racun ke dalam makananmu?" tebak Pascal. Diamnya Petra membuat Pascal mendengus.

"Kau tidak akan mati untuk sekarang. Jadi, makanlah dan habiskan." Setelah mengatakan itu, Pascal bersiap keluar dari kamar. Namun suara Petra di belakangnya menghentikan tubuh Pascal.

"Apa kau sudah mengetahui apa yang kau cari?" tanya Petra.

"Di tunggu saja. Kau akan tahu apa yang akan terjadi padamu setelah ini," ucap Pascal tanpa menoleh, kemudian menutup pintu keluar.

"Pascal!" kesal Petra, diabaikan.

Tiba-tiba ide muncul di kepalanya saat menatap nampan makanan di meja. "Aku bisa keluar dari sini selama ada benda yang bisa dijadikan senjata," gumam Petra, matanya menyiratkan percaya diri.

Alih-alih menghabiskan makanan itu, Petra menggunakan sendok untuk mencongkel pintu. Dia masih ingat cara menggunakannya, sewaktu pelatihan di institusi.

Bahkan maling kelas rendahan pun bisa melakukan hal seperti ini. Petra membuktikan kemampuan sederhananya dan berhasil terbuka.

Dengan menyelinap hati-hati keluar kamar, Petra pergi menuju pintu belakang yang lebih dekat untuk keluar.

Tapi sial, pintu belakang dikunci rapat. Saat mencoba mencongkelnya lagi menggunakan sendok di tangan, Petra merasakan sesuatu mengawasinya.

Petra tahu tidak ada cctv di sini, kendati kemungkinan saat dirinya berjalan keluar dari kamar tadi terlihat dalam jangkauan cctv.

"Sepertinya burung kenari ini ingin terbang di luar."

Petra membeku. Sekujur tubuhnya merinding. Tepat di belakangnya adalah Pascal yang menatap tajam bak hantu di kegelapan.

"Berbalik!" Suaranya menitah dingin.

Petra dengan ragu-ragu memutar perlahan tubuhnya. "Biarkan aku pergi, okey?" pinta Petra setengah memohon.

"Pergi kemana? Rumahmu di sini." Pascal seketika menyentak tangan Petra, dan membuat sendok itu terpelanting ke lantai.

"Aw, sakit, Pascal!" Cengkraman di pergelangan tangan terasa kuat dari pria itu. Seolah-olah tangannya akan dihancurkan dalam genggaman Pascal.

"Pascal lepaskan tanganku!" rengek Petra menggeliatkan tangannya. Sontak tubuhnya tersentak maju saat Pascal menariknya mendekat.

"Kau..." Pascal genggam rahang Petra dengan satu tangannya yang bebas. Tatapan setajam elang itu menusuk ke mata Petra yang resah.

"Siapa kau sebenarnya?" Pascal berusaha mencari jawaban di dalam sorot mata Petra.

"Apakah benar data yang aku dapatkan bahwa kau sebenarnya seorang polisi yang sedang menyamar menjadi istriku?" Ucapan Pascal sudah diduga-duga Petra.

Karena bagaimanapun, rahasia yang disembunyikan seapik apapun akan terungkap juga. Tapi Petra tidak menyangka akan ketahuan secepat ini.

Bagaimana jika dia menyanggah tuduhan Pascal? Kira-kira seperti apa reaksi pria itu?

"Pascal, kau tahu kalau aku menikahimu karena aku mencintaimu. Kenapa kau berpikir sejauh itu?" Petra berkilah secara halus. Memanfaatkan cinta kasih Pascal kepadanya yang tulus.

"Aku telah menangkap salah seorang di antara penyusup di kantorku. Dia masih bungkam tapi aku yakin suatu saat dia akan mengungkapkan semuanya."

"Apa maksudmu?" kaget Petra, matanya membulat cemas.

"Hmm siapa tadi namanya ya? Liam?" ucap Pascal seakan-akan sedang mengingat-ingat.

"Jangan sentuh dia!" bentak Petra.

Pascal terkejut melihat responnya. Namun dia tetap terlihat tenang, justru menyeringai. "Oh, apakah dia saudaramu?"

"Aku pernah dengar kalau kau hidup sebatang kara, tanpa orang tua dan sanak saudara sejak kuliah. Nenekmu sudah meninggal sebelum kita lulus kuliah. Lalu setahun kemudian seorang pria bernama Liam datang kepadamu. Saudara sepupu jauh yang akhirnya membuatmu tidak hidup sendirian lagi."

Pengetahuan Pascal terhadap semua itu cukup mengesankan bagi Petra. Pria itu tidak ada bedanya seperti stalker.

Namun demikian, dengan kecepatan informasi yang Pascal miliki menggunakan teknologi canggih, memudahkannya untuk mencari semua latar belakang seseorang dalam hitungan menit.

"Aku sekarang tahu alasanmu menikahiku. Kau ingin mencari bukti atas kejahatan yang telah aku lakukan terhadap putera gubernur itu bukan? Bagaimana hasilnya?" kata Pascal menantang.

"Bajingan!" desis Petra.

"Kau telah menyembunyikan identitas aslimu sebagai polisi dengan sangat baik sehingga berhasil membuatku percaya padamu. Namun hari ini, semua usahamu harus gagal, sayang. Kau takkan bisa pergi kemana-mana lagi."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status